Netanyahu Perintahkan Perundingan Dengan Hamas Harus Tetap Berjalan

- Lebih dari 150 orang tewas dalam serangan Israel dalam 24 jam terakhir, menurut Kementerian Kesehatan Gaza.
- Serangan terjadi di kamp pengungsi Jabaliya dan menewaskan sedikitnya 4 anak serta melukai 7 orang lainnya.
- Ratusan pengunjuk rasa menggelar protes di Tel Aviv, menuntut kesepakatan untuk mengakhiri perang dan membawa pulang semua sandera.
Jakarta, IDN Times - Israel meluncurkan operasi militer besar di Jalur Gaza untuk menekan Hamas agar membebaskan sandera tersisa. Namun, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu memerintahkan para perunding tetap di Qatar untuk bernegosiasi dengan kelompok pejuang Palestina itu.
Menteri Pertahanan Israel Katz mengatakan, Operasi Gideon Chariots dipimpin dengan kekuatan besar. Netanyahu telah berjanji untuk meningkatkan tekanan dengan tujuan menghancurkan kelompok militan yang telah memerintah Gaza selama hampir 2 dekade.
Operasi militer di wilayah Palestina tersebut dilakukan sehari setelah Presiden AS Donald Trump mengakhiri lawatannya ke Timur Tengah tanpa mengunjungi Israel. Ada harapan bahwa kunjungannya dapat meningkatkan peluang kesepakatan gencatan senjata atau dimulainya kembali bantuan kemanusiaan ke Gaza, yang telah dicegah Israel selama lebih dari dua bulan.
Seorang pejabat Israel mengatakan bahwa Netanyahu terus-menerus melakukan kontak sepanjang hari dengan tim perunding di Doha, Qatar, dan utusan AS Steve Witkoff, dan memerintahkan tim tersebut untuk tetap berada di sana.
1. Hamas bebaskan seorang sandera
Hamas, yang membebaskan seorang sandera Israel-Amerika sebagai isyarat niat baik sebelum perjalanan Trump, bersikeras pada kesepakatan yang mengakhiri perang dan mengarah pada penarikan pasukan Israel — sesuatu yang Israel katakan tidak akan disetujuinya.
Tentara Israel mengatakan di media sosial bahwa mereka tidak akan berhenti sampai para sandera dikembalikan, dan kelompok militan itu dibubarkan. Israel yakin sebanyak 23 sandera di Gaza masih hidup, meskipun otoritas Israel telah menyatakan keprihatinan atas status 3 dari mereka.
2. Serangan terbaru Israel tewaskan 150 warga Gaza

Lebih dari 150 orang tewas dalam serangan Israel dalam 24 jam terakhir, menurut Kementerian Kesehatan Gaza. Disebutkan, lebih dari 3.000 orang tewas sejak Israel melanggar gencatan senjata Januari pada 18 Maret.
Pada Sabtu sore, serangan Israel menewaskan sedikitnya 4 anak di kamp pengungsi Jabaliya di utara, menurut Rumah Sakit al-Awda, yang menerima jenazah tersebut. Sebanyak 7 orang lainnya terluka dalam serangan itu, yang menghantam sebuah rumah.
Serangan berikutnya di Jabaliya menewaskan empat orang.
3. Protes keluarga sandera ke pemerintah Israel
Ratusan pengunjuk rasa menggelar protes Sabtu malam di Tel Aviv, beberapa memegang foto anak-anak Palestina yang tewas di Gaza. Sementara yang lain menuntut kesepakatan untuk mengakhiri perang dan membawa pulang semua sandera.
"Saya tegaskan. Seluruh masyarakat Israel, baik kiri, kanan, sekuler, religius, bersatu dalam menyerukan kesepakatan penyanderaan. Melewatkan momen ini demi kesepakatan akan menjadi pengkhianatan terhadap sejarah, noda yang tidak akan pernah pudar," kata Dalia Kushnir-Horn, saudara ipar sandera Eitan Horn, kepada khalayak ramai, dikutip dari CBS News, Minggu (18/5/2025).
Gaza memasuki bulan ketiga blokade Israel tanpa makanan, air, bahan bakar, atau barang lain yang memasuki wilayah berpenduduk lebih dari 2 juta orang. Pakar keamanan pangan mengatakan, Gaza akan dilanda kelaparan jika blokade tidak dicabut.
Awal minggu ini, sebuah organisasi kemanusiaan baru yang mendapat dukungan AS untuk mengambil alih pengiriman bantuan mengatakan, mereka berharap dapat memulai operasi pada akhir bulan, setelah apa yang mereka gambarkan sebagai perjanjian penting dengan pejabat Israel. Yayasan Kemanusiaan Gaza mengidentifikasi beberapa veteran militer AS, mantan koordinator kemanusiaan, dan kontraktor keamanan untuk memimpin upaya tersebut.
Banyak pihak di komunitas kemanusiaan, termasuk PBB, mengatakan bahwa mereka tidak akan berpartisipasi, karena sistem tersebut tidak sejalan dengan prinsip-prinsip kemanusiaan dan tidak akan mampu memenuhi kebutuhan warga Palestina di Gaza.