Netanyahu Siap Gencatan Senjata, Namun Tolak Akhiri Perang di Gaza

Jakarta, IDN Times - Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, mengatakan bahwa ia kemungkinan akan menyetujui gencatan senjata sementara di Gaza, namun tidak akan mengakhiri perang sampai Hamas dikalahkan.
"Hamas mungkin berkata 'oke - kami ingin melepaskan sepuluh lagi.' Tidak akan ada situasi di mana kita menghentikan perang,” katanya saat mengunjungi tentara Israel yang terluka pada Selasa (13/5/2025).
Netanyahu mengungkapkan bahwa Israel hanya akan menerima gencatan senjata sementara yang memungkinkan pembebasan sebagian sandera, kecuali kelompok Palestina itu setuju untuk melucuti senjata mereka.
"Dalam beberapa hari ke depan, kami akan masuk (ke Gaza) dengan kekuatan penuh untuk menyelesaikan operasi. Menyelesaikan operasi berarti menundukkan Hamas. Itu berarti menghancurkan Hamas," tambahnya.
1. Israel kirimkan tim perunding ke Qatar
Pada Senin (12/5/2025), kantor Netanyahu mengatakan bahwa ia telah mengirimkan tim perundingnya ke Qatar untuk membahas kemungkinan kesepakatan gencatan senjata dan pertukaran tahanan dengan Hamas. Delegasi tersebut diperkirakan akan berada di Doha hingga Kamis, bertepatan dengan kunjungan Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, ke negara-negara Teluk.
Dilansir dari The Times of Israel, Netanyahu telah meyakinkan mitra koalisinya bahwa posisinya tetap tidak berubah meskipun mengirimkan tim perunding ke Doha.
Para perunding hanya diberi mandat untuk membahas apa yang disebut perdana menteri sebagai “proposal Witkoff,” yang memungkinkan pembebasan setengah dari sandera yang berada di Gaza dengan imbalan gencatan senjata selama beberapa minggu.
Selama jeda pertempuran, Israel bersedia membahas penghentian perang secara permanen, namun tidak akan menerima kesepakatan apa pun kecuali Hamas setuju untuk melucuti senjata dan melepaskan kendali atas pemerintahan di Gaza.
Hamas mengatakan siap menyerahkan kendali atas Jalur Gaza demi gencatan senjata permanen. Namun, kelompok tersebut menolak syarat pelucutan senjata.
2. Sebanyak 58 sandera Israel masih berada di Gaza
Pada Senin, Hamas membebaskan Edan Alexander, sandera keturunan Israel-AS, sebagai bagian dari upaya untuk mengamankan gencatan senjata dan memungkinkan masuknya bantuan ke Gaza. Kelompok tersebut mengatakan bahwa pembebasan Alexander dilakukan sebagai bentuk itikad baik kepada Trump.
Dilansir dari Anadolu, Israel memperkirakan sebanyak 58 sandera masih berada di Gaza, termasuk 21 orang yang diyakini masih hidup. Sementara itu, perang Israel di Gaza telah menewaskan lebih dari 52.900 warga Palestina sejak Oktober 2023, dengan sebagian besar korban adalah perempuan dan anak-anak.
Pada November 2024, Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Netanyahu dan mantan Menteri Pertahanan Yoav Gallant atas tuduhan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan di Gaza.
Israel juga tengah menghadapi gugatan genosida di Mahkamah Internasional (ICJ) terkait operasi militernya di wilayah Palestina tersebut.
3. Rusia, China dan Inggris tolak rencana AS-Israel untuk penyaluran bantuan di Gaza
Dilansir dari Al Jazeera, serangan militer Israel dan blokade yang terus berlanjut telah mendorong warga Palestina ke ambang bencana kelaparan. Laporan terbaru dari Klasifikasi Fase Ketahanan Pangan Terpadu (IPC) mengungkapkan bahwa seluruh populasi Gaza mengalami kekurangan pangan, sementara satu dari lima orang menghadapi kelaparan yang parah.
Pekan lalu, Duta Besar AS untuk Israel, Mike Huckabee, mengatakan bahwa sistem baru untuk menyalurkan bantuan kemanusiaan di Gaza melalui perusahaan swasta sedang dipersiapkan.
Ia menjelaskan bahwa empat pusat distribusi akan didirikan di Gaza selatan untuk membagikan makanan dan bantuan lainnya kepada 1,2 juta orang, atau kurang dari 60 persen populasi Gaza, pada tahap awal. Israel disebut hanya akan menyediakan keamanan, tanpa terlibat dalam distribusi bantuan.
Namun, lembaga-lembaga bantuan menolak rencana AS-Israel tersebut. Mereka menilai bahwa proposal itu dapat menjadikan bantuan kemanusiaan sebagai senjata perang dan semakin memperburuk pengungsian di wilayah tersebut.
Rusia, China dan Inggris juga menolak sistem penyaluran bantuan yang baru, dan mendesak Israel untuk mencabut blokade yang telah berlangsung selama 2 bulan di Gaza.