Pemberontak Myanmar Ingin Berdamai dengan Junta

- Kelompok pemberontak di Myanmar, MNDAA, ingin melakukan perundingan damai dengan junta militer untuk memperjuangkan otonomi wilayah Kokang.
- MNDAA akan menghentikan serangan terhadap militer Myanmar dan ingin dialog di bawah mediasi China.
- China menyambut positif keinginan MNDAA untuk merundingkan perdamaian dan menyerukan agar konflik diselesaikan secara damai.
Jakarta, IDN Times - Tentara Aliansi Demokrasi Nasional Myanmar atau Myanmar National Democratic Alliance Army (MNDAA), kelompok pemberontak di Myanmar mengatakan ingin melakukan perundingan damai dengan junta militer pada Selasa (3/12/2024). Kelompok itu berusaha memperjuangkan otonomi yang lebih besar bagi wilayah Kokang di negara bagian Shan.
Myanmar berada dalam kekacauan sejak militer mengkudeta pemerintah terpilih Aung San Suu Kyi pada 2021. Tindakan itu awalnya memicu protes damai di seluruh negeri, tapi kemudian berubah menjadi perlawanan bersenjata.
1. Sekutu MNDAA juga ingin berdamai dengan militer

MNDAA mengatakan mulai Selasa akan akan menghentikan serangan terhadap militer Myanmar dan ingin dialog di bawah naungan China.
"Di bawah mediasi China, kami bersedia terlibat dalam perundingan damai dengan tentara Myanmar terkait isu-isu seperti Lashio," katanya, merujuk pada kota yang direbut para pejuangnya pada Agustus dalam pukulan telak bagi junta, dikutip dari VOA News.
Kelompok tersebut menambahkan siap mengirim perwakilan tingkat tinggi dalam menyelesaikan konflik yang ada melalui politik.
Tahun lalu, kelompok ini dan dua sekutunya melancarkan serangan terhadap militer dan merebut sebagian wilayah Shan.
Pekan lalu, sekutu MNDAA, Tentara Pembebasan Nasional Ta'ang (TNLA) mengatakan pihaknya siap untuk berunding dengan militer. Sekutu lainnya, Tentara Arakan masih melancarkan serangan di negara bagian Rakhine. Wilayah itu merupakan lokasi proyek pelabuhan yang didukung China dan India.
2. China berupaya membantu mengakhiri konflik

Juru bicara Kementerian Luar Negeri China Lin Jian menyambut positif keinginan MNDAA untuk merundingkan perdamaian. Dia mengatakan Beijing mengamati dengan seksama konflik di Myanmar Utara dan meminta pihak yang bertikai menyelesaikan masalah dengan cara damai.
“Secara khusus, mereka tidak boleh membahayakan keamanan dan keselamatan wilayah perbatasan China, warga China yang tinggal di wilayah perbatasan, serta proyek, perusahaan, dan personel China di Myanmar. Kami akan terus melakukan apa pun yang kami bisa untuk membantu dan mendukung proses perdamaian di Myanmar utara," kata Lin pada Rabu (4/12/2024), dikutip dari Associated Press.
Beijing sebelumnya telah membantu menengahi gencatan senjata pada Januari, tetapi gagal karena MNDAA dan TNLA melanjutkan serangan mereka pada Juni, dengan merebut kota-kota strategis dan komando militer di timur laut.
Belum ada tanggapan dari pemerintah Myanmar atas tawaran mediasi tersebut.
Dua minggu lalu, media independen Myanmar melaporkan Peng Daxun, pemimpin MNDAA telah ditahan oleh China saat berobat di sana. Namun, laporan itu segera dibantah Beijing, dengan mengatakan bahwa ia sedang menjalani perawatan medis.
3. Konflik di Myanmar mempengaruhi rencana ekonomi China

Pertempuran yang terjadi dekat perbatasan dengan China telah membuat khawatir negara itu. Beijing sudah berulang kali menyerukan pertempuran dihentikan di negara bagian Shan, mata rantai utama dalam Belt and Road Initiative, sebuah rencana ekonomi China yang bernilai triliunan dolar.
Negara itu menunjukkan ketidaksenangannya terhadap serangan pemberontak dengan menutup penyeberangan perbatasan, memutus aliran listrik ke kota-kota Myanmar dan mengambil tindakan lain untuk mengakhiri pertempuran.
Myanmar adalah rumah bagi sekitar selusin kelompok pemberontak etnis yang telah berperang melawan militer selama beberapa dekade untuk mendapatkan otonomi dan kendali atas sumber daya yang menguntungkan termasuk batu giok, kayu, dan opium.