Prancis Minta Bebaskan Aktivis Lebanon yang Dibui 40 Tahun

- Pengadilan Prancis memerintahkan pembebasan aktivis pro-Palestina, Georges Ibrahim Abdallah, pada 6 Desember setelah dipenjara selama 40 tahun.
- Abdallah dihukum karena keterlibatan dalam pembunuhan atase militer AS dan diplomat Israel pada 1982, serta dianggap sebagai pejuang hak warga Palestina.
- Pengacara menyebut putusan pengadilan sebagai kemenangan hukum dan politik, sementara beberapa pemerintah kota komunis menjadikannya warga kehormatan.
Jakarta, IDN Times - Pengadilan Prancis, pada Jumat (15/11/2024), memerintahkan pembebasan aktivis pro-Palestina asal Lebanon, Georges Ibrahim Abdallah. Pria berusia 73 tahun itu telah dipenjara selama 40 tahun dan menjadi salah satu tahanan terlama di negara Eropa tersebut.
Abdallah, mantan gerilyawan Front Populer untuk Pembebasan Palestina (PFLP), dijatuhi hukuman penjara seumur hidup pada 1987 karena keterlibatannya dalam pembunuhan atase militer Amerika Serikat (AS), Charles Robert Ray, dan diplomat Israel, Yacov Barsimantov, padan 1982 di Prancis.
Pengadilan mengatakan bahwa aktivis tersebut akan dibebaskan pada 6 Desember dengan syarat ia harus meninggalkan Prancis selamanya. Kantor jaksa antiterorisme Prancis mengatakan bahwa mereka akan mengajukan banding terhadap putusan itu, dilansir dari Al Jazeera.
1. Putusan itu dianggap sebagai kemenangan hukum dan politik
Abdallah, yang lahir dari keluarga Kristen di desa Koubayat di utara Lebanon, selalu menyatakan bahwa ia bukanlah seorang penjahat, melainkan seorang pejuang yang memperjuangkan hak-hak warga Palestina. Ia juga tidak pernah menyatakan penyesalan atas tindakannya.
“Jalan yang saya ikuti ditentukan oleh pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan terhadap Palestina,” katanya kepada hakim saat mengajukan permohonan pembebasannya yang ke-11 kalinya.
Aktivis tersebut telah memenuhi syarat untuk mengajukan permohonan pembebasan bersyarat sejak 1999, namun semua permohonannya sebelumnya ditolak, kecuali pada 2013 ketika ia diberikan pembebasan dengan syarat diusir dari Perancis. Namun, Menteri Dalam Negeri saat itu, Manuel Valls, menolak melaksanakan perintah tersebut sehingga Abdallah tetap dipenjara.
Pengacara Abdallah, Jean-Louis Chalanset, mengatakan bahwa putusan pengadilan pada Jumat tidak mensyaratkan adanya perintah tambahan dari pemerintah Prancis. Ia pun menyebut putusan itu sebagai kemenangan hukum dan politik.
2. Abdallah ditangkap pada 1984
Abdallah bergabung dengan PFLP pada 1978 saat berlangsungnya invasi Israel ke Lebanon. FPLP dikenal karena serangkaian pembajakan pesawat pada 1960an dan 1970-an, dan dianggap sebagai kelompok teroris oleh AS dan Uni Eropa (UE).
Pada 1979, Abdallah, bersama beberapa saudara laki-laki dan sepupunya, mendirikan kelompok bersenjata pro-Palestina, yaitu Faksi Revolusi Bersenjata Lebanon (LARF). Kelompok ini menjalin hubungan dengan kelompok bersenjata sayap kiri lainnya, termasuk Action Directe di Prancis, Brigade Merah di Italia, dan Faksi Tentara Merah (RAF) di Jerman.
Sebagai kelompok Marxis anti-Israel, LARF mengaku bertanggung jawab atas empat serangan mematikan di Prancis pada 1980-an. Abdallah ditangkap pada 1984 setelah memasuki kantor polisi di Lyon dan mengklaim bahwa pembunuh dari badan intelijen Israel, Mossad, sedang mengejarnya.
Dalam persidangannya atas pembunuhan dua diplomat, Abdallah dijatuhi hukuman penjara seumur hidup, jauh lebih berat dibandingkan hukuman 10 tahun yang dituntut oleh jaksa. Pengacaranya, Jacques Verges, menyebut putusan itu sebagai deklarasi perang.
3. Pemenjaraan Abdallah yang berkelanjutan merupakan pelanggaran HAM
Selama bertahun-tahun, nasib Abdallah telah menggerakkan aktivis yang dekat dengan Partai Komunis Perancis dan kelompok sayap kiri, yang menuduh pemerintah terus menerapkan taktik untuk menghalangi pembebasan tahanan politik tersebut.
Beberapa pemerintah kota komunis bahkan telah menjadikann Abdallah sebagai warga kehormatan. Protes juga sering kali diadakan di luar penjaranya di Lannemezan, wilayah barat daya Prancis.
"Georges Ibrahim Abdallah adalah korban dari keadilan negara yang mempermalukan Prancis," kata penulis peraih Nobel, Annie Ernaux, dalam sebuah tulisan di harian L’Humanite bulan lalu.
Liga Hak Asasi Manusia, sebuah LSM hak asasi manusia terkemuka di Prancis, juga menyatakan bahwa pemenjaraan Abdallah yang berkelanjutan merupakan pelanggaran hak asasi manusia.