Pertama di Sejarah Korsel, Angka Kelahiran di Bawah Kematian

Korsel alami penyusutan jumlah kelahiran bayi

Seoul, IDN Times – Sebagai salah satu negara dengan kekuatan ekonomi terbesar ke empat di Asia, yakni Korea Selatan (Korsel), negara tersebut memiliki masalah fatal yaitu tingkat populasi yang bergerak lambat. Korsel memiliki masalah yang hampir serupa dengan negara tetangganya, Jepang.

Upaya Korsel untuk mengatasi krisis perkembangan populasi tersebut sudah dilakukan selama bertahun-tahun, namun tingkat kesuburan negara Ginseng itu terus menurun dari tahun ke tahun. Menurut data dari Bank Dunia, penurunan angka kesuburan wanita di Korsel terus menurun dari mulai tahun 1960-an hingga saat ini.

Angka kesuburan wanita di Korsel pada tahun 1960 adalah 6,0 anak per wanita. Pada tahun 1990 angka kesuburan itu turun drastis menjadi 1,57 anak per wanita. Pada tahun 2018, angka kesuburan terus menurun menjadi 0,9 anak per wanita. Korsel, selama bertahun-tahun telah mengalami depopulasi.

1. Penurunan jumlah angka kelahiran adalah masalah besar

Pertama di Sejarah Korsel, Angka Kelahiran di Bawah KematianKorsel miliki masak yang hampir serupa Jepang yakni depopulasi penduduk. Ilustrasi (unsplash.com/Kevin Liang)

Pada tahun 2020, Korsel melakukan sebuah sensus dan dari data yang dikumpulkan menunjukkan hasil yang mengkhawatirkan. Kementrian Dalam Negeri dan Keselamatan Korsel merilis pernyataan data sensus tersebut pada Senin, 4 Januari 2021.

Melansir dari laman CNN, selama satu tahun di Korsel hanya ada kelahiran sebanyak 275.815 bayi. Angka tersebut turun 10 persen dari tahun 2019 yang saat itu menyentuh angka 307.764 kelahiran bayi (4/1). Dalam rilis tersebut juga dijelaskan bahwa angka kelahiran telah “menyalip kematian” sebanyak 3,1 persen.

Tidak ada rincian berapa jumlah kematian dan penyebabnya. Wabah virus corona di Korsel telah menyumbang angka kematian sebanyak 981 orang. Itu berarti, jumlah kematian selama 2020 di Korsel jauh lebih banyak disebabkan non-virus corona.

“Penurunan angka kelahiran yang konstan menunjukkan bahwa angka kelahiran yang rendah tetap menjadi masalah besar Korea. Perlu ada perubahan mendasar dalam hal kebijakan pemerintah” kata rilis tersebut.

2. Inisiatif untuk mendorong kelahiran

Pertama di Sejarah Korsel, Angka Kelahiran di Bawah KematianMoon Jae-in, Presiden Korsel. (twitter.com/The Office of President Moon Jae-in)

Baca Juga: Parlemen Korea Selatan Setujui UU Anti Korea Utara

Dengan adanya penurunan jumlah kelahiran, maka sebaliknya akan ada peningkatan jumlah penduduk yang lanjut usia di Korsel. Sebanyak 32,7 persen orang di Korsel berusia sekitar 40-an dan 50-an tahun. Sedangkan mereka yang berusia 60 tahun ke atas mencapai angka 24 persen dari total populasi.

Ada kecenderungan di dalam masyarakat Korsel untuk menunda atau menghindari pernikahan. Pada tahun 2018, sebuah data mengejutkan menunjukkan bahwa sebagian besar warga Korsel dengan rentang usia 20 hingga 44 tahun banyak yang berstatus lajang.

Data yang ditunjukkan Korea Institute for Health and Social Affairs (KIHSA) tersebut juga menunjukkan bahwa 51 persen pria dan 64 persen wanita Korsel tidak berpacaran untuk bisa menikmati hobi, fokus pendidikan, tidak punya waktu, uang atau kapasistas emosional untuk berkencan.

Melansir dari laman The Guardian, pemerintah Korsel baru-baru ini mengumumkan inisiatif untuk mendorong pasangan agar memiliki keluarga yang lebih besar. Presiden Moo Jae-in menjelaskan sebuah skema inisiatif yang akan memberikan bonus tunai 2 juta won atau sekitar Rp. 26 juta untuk setiap bayi yang lahir yang digunakan untuk membantu biaya prenatal.

Selain itu, akan ada biaya 300.000 won atau sekitar Rp 3,8 juta tiap bulan untuk membantu perawatan hingga bayi mencapai usia satu tahun. Angka tersebut akan dinaikkan menjadi 500.000 won atau sekitar Rp 6,4 juta pada tahun 2025.

3. Pemicu depopulasi Korsel

Pertama di Sejarah Korsel, Angka Kelahiran di Bawah KematianBanyak wanita Korsel fokus karir dan tak berminat menikah. Ilustrasi (unsplash.com/Kseniya Petukhova)

Ada beberapa pemicu yang membuat Korsel memiliki masalah depopulasi penduduk. Diantaranya adalah kondisi Korsel dianggap tidak ramah keluarga. Banyak wanita Korsel berjuang untuk keseimbangan antara pekerjaan dan tuntutan hidup. Sebagian diantara mereka memilih untuk mengejar karir.

Harga properti di Korsel juga sangat mahal dan harga real estate juga terus melonjak. Untuk memiliki anak, orang-orang Korsel berpikir harus memiliki rencana untuk memiliki rumah sendiri terlebih dahulu. Tapi untuk memiliki rumah adalah hal yang sulit bahkan mustahil karena harganya yang sangat mahal tersebut.

Julie Yoon, reporter BBC di Korsel mengabarkan dari salah satu wanita Korsel yang diwawancarai bahwa “membesarkan anak itu mahal. Pemerintah yang memberikan beberapa ratus ribu won tidak akan menyelesaikan masalah kita” kata Hyun-yu Kim, wanita yang diwawancarai (4/1).

Sebuah fenomena sosial di Korsel, ada istilah Generasi Sampo. Kata Sampo ini merujuk pada melepaskan tiga hal: pergaulan, perkawinan dan anak. Banyak wanita Korsel memilih untuk memiliki sedikit anak, atau tidak sama sekali, atau bahkan mereka benar-benar berpaling dari pernikahan.

Baca Juga: Rekor Berturut-turut, Angka Kelahiran Bayi di Jepang Semakin Merosot

Pri Saja Photo Verified Writer Pri Saja

Petani Kata

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Novaya

Berita Terkini Lainnya