Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Ribuan Aktivis Berangkat dari Tunisia untuk Tembus Blokade Gaza

aksi bela Palestina di Tunisia pada 2021. (Bra, CC BY-SA 4.0 <https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0>, via Wikimedia Commons)
aksi bela Palestina di Tunisia pada 2021. (Bra, CC BY-SA 4.0 <https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0>, via Wikimedia Commons)
Intinya sih...
  • Para peserta konvoi berasal dari berbagai latar belakang, termasuk dokter, pengacara, anggota serikat buruh, dan mahasiswa.
  • Konvoi ini belum mendapat izin resmi dari otoritas Mesir untuk masuk dan melintasi Sinai Utara menuju perbatasan Rafah.
  • Aksi konvoi ini merupakan bentuk respons terhadap krisis kemanusiaan di Gaza yang semakin parah, dengan lebih dari 51 ribu warga Palestina tewas sejak Oktober 2023.

Jakarta, IDN Times - Sebuah konvoi darat yang terdiri dari sekitar 1.500 aktivis telah berangkat dari Tunis, ibu kota Tunisia, pada Senin (9/6/2025). Mengusung nama "Somoud" yang berarti ketangguhan, misi utama mereka adalah menempuh ribuan kilometer untuk mencoba menembus blokade dan mengirimkan bantuan ke Jalur Gaza.

Keberangkatan konvoi ini terjadi tepat setelah angkatan laut Israel mencegat kapal Madleen di perairan internasional. Pihak penyelenggara menyebutkan bahwa kesamaan waktu antara dua peristiwa ini merupakan sebuah pesan simbolis yang disengaja.

Konvoi kemanusiaan ini direncanakan melintasi wilayah Tunisia, menyeberang ke Libya, lalu berlanjut melalui Mesir untuk mencapai perbatasan Rafah. Para pesertanya berasal dari gabungan beberapa negara Afrika Utara, termasuk Tunisia, Aljazair, dan Libya.

“Ini adalah pesan untuk warga Gaza bahwa kalian tidak sendirian. Kami turut merasakan kepedihan kalian, dan ini adalah bentuk tekanan publik terhadap penjajah di tengah kegagalan internasional untuk menghentikan pembantaian ini,” kata Sheikh Yahya Sari, anggota Asosiasi Cendekiawan Muslim Aljazair, dilansir Middle East Eye. 

1. Peserta konvoi berasal dari berbagai latar belakang

Inisiatif ini diorganisir oleh gabungan kelompok masyarakat sipil, salah satunya adalah Koordinasi Aksi Gabungan untuk Palestina di Tunisia. Gerakan ini juga didukung oleh organisasi sipil berpengaruh di Tunisia, seperti Serikat Buruh Umum Tunisia (UGTT) dan Asosiasi Pengacara Nasional.

Peserta konvoi datang dari latar belakang profesi yang beragam, mencakup dokter, pengacara, anggota serikat buruh, hingga mahasiswa. Di sepanjang rutenya di Tunisia, konvoi mereka disambut hangat oleh warga lokal yang turut memberikan dukungan.

Para aktivis merasa jalur diplomasi formal tidak lagi cukup untuk mengatasi krisis yang terjadi. Mereka percaya bahwa gerakan langsung dari masyarakat sipil diperlukan untuk membawa tekanan dan perubahan nyata.

"Praktik kedokteran adalah bentuk perlawanan. Kewajiban moral kami sebagai dokter adalah menentang genosida dan hadir untuk rakyat Gaza," tutur Salma Dakar dari Organisasi Dokter Muda Tunisia, dikutip dari New Arab.

2. Belum dapat izin untuk masuk ke Mesir

Konvoi ini terdiri dari sekitar seratus kendaraan, yang mencakup 12 bus dan jenis mobil lainnya. Perjalanan darat ini merupakan bagian dari gerakan solidaritas global yang lebih luas dan terkoordinasi dengan berbagai kelompok lain di seluruh dunia, dilansir Anadolu Agency.

Selain tantangan jarak tempuh, konvoi ini juga belum memiliki izin resmi dari otoritas Mesir untuk masuk dan melintasi Sinai Utara. Akses menuju perbatasan Rafah menjadi titik krusial dalam keberhasilan misi ini, terutama karena sisi Gaza dari perbatasan itu kini dikontrol oleh militer Israel.

Para aktivis telah mengantisipasi kemungkinan penolakan di perbatasan Mesir. Mereka menyatakan siap untuk mendirikan kemah dan bertahan di perbatasan tanpa batas waktu jika akses mereka dihalangi sebagai bentuk protes damai.

"Kami optimistis namun juga realistis. Mungkin akan ada penundaan atau bahkan penolakan, tetapi kami sudah siap. Israel dan sekutunya tidak akan membiarkan gerakan semacam ini sukses" kata Wael Naouar, salah satu penyelenggara.

3. Bentuk respons terhadap krisis kemanusiaan di Gaza

Aksi konvoi ini didorong oleh kondisi kemanusiaan yang semakin parah di Jalur Gaza. PBB bahkan menyebut Gaza sedang mengalami salah satu krisis kelaparan terburuk di dunia.

Menurut data dari otoritas kesehatan setempat, lebih dari 51 ribu warga Palestina telah tewas sejak Oktober 2023. Korban jiwa termasuk 28 ribu perempuan dan anak-anak.

Sebelumnya, aksi serupa pernah dilakukan kapal Mavi Marmara pada 2010 untuk menembus blokade laut. Namun, kapal tersebut diadang oleh pasukan Israel dan prosesnya memakan 10 korban jiwa.

 "Kami mengklaim kembali suara kami. Kami tidak menunggu pertemuan tingkat tinggi negara-negara Arab atau pernyataan kosong, kami melakukan tindakan nyata," ujar Jawaher Channa, anggota komite penyelenggara. 

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Rama
EditorRama
Follow Us