Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Warga AS Keturunan Arab di Lebanon Merasa Diabaikan Pemerintah

pemandangan ibu kota Lebanon, Beirut (unsplash.com/Sara Calado)
pemandangan ibu kota Lebanon, Beirut (unsplash.com/Sara Calado)

Jakarta, IDN Times - Karam, warga negara Amerika Serikat (AS) yang terjebak di Lebanon, mengungkapkan bahwa dia merasa dirinya tidak berarti bagi pemerintahnya. 

Sejak pekan lalu, Lebanon telah menghadapi serangan udara tanpa henti dari Israel. Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) menyebutkan bahwa operasi yang juga didukung AS itu telah menewaskan ratusan orang dan menyebabkan lebih dari 1 juta lainnya mengungsi.

Pada Senin (30/9/2024), Karam menghubungi kedutaan AS di Beirut untuk meminta bantuan agar dapat keluar dari negara itu, namun pejabat di sana malah menyuruhnya untuk mencari jalan keluar sendiri.

Hal ini sangat kontras dengan sikap Washington saat serangan Hamas di Israel pada 7 Oktober tahun lalu. Pada saat itu, Departemen Luar Negeri langsung menyewa penerbangan khusus dan sebuah kapal untuk mengevakuasi warganya di Israel.

“Warga Amerika keturunan Lebanon diperlakukan sebagai warga negara AS yang lebih rendah dibandingkan warga negara Israel di AS. Seolah-olah kami tidak ada,” kata Karam kepada Al Jazeera.

Perempuan yang berasal dari Lebanon selatan itu kini mengungsi di daerah pegunungan di timur Beirut.

1. Hanya sebagian kecil yang telah dievakuasi oleh pemerintah

Pada Rabu (2/10/2024), pemerintahan Presiden Joe Biden mengumumkan bahwa mereka telah menyewa penerbangan pertamanya untuk mengevakuasi warga AS dari Beirut ke Istanbul.

Juru bicara Departemen Luar Negeri, Matthew Miller, mengatakan bahwa penerbangan tersebut mengangkut 100 warga AS, hanya sebagian kecil dari hampir 6 ribu orang yang telah menghubungi kedutaan AS untuk meminta informasi dan bantuan.

Miller menambahkan bahwa pemerintah AS berharap dapat mengatur lebih banyak penerbangan. Namun, ia tidak akan mengumumkannya karena ada kemungkinan penerbangan tersebut tidak dapat dilaksanakan karena berbagai alasan.

Sejak 23 September, semua maskapai penerbangan asing telah membatalkan penerbangan mereka ke Lebanon, menyisakan Middle East Airlines (MEA) sebagai satu-satunya perusahaan yang terbang dari bandara internasional di Beirut.

MEA menawarkan sekitar 30 penerbangan setiap hari ke berbagai tujuan di Eropa dan Timur Tengah. Jumlah ini masih jauh dari permintaan yang terus meningkat dari orang-orang yang ingin meninggalkan Lebanon. Harga tiket juga telah meroket akibat krisis tersebut.

Pekan lalu, anggota Kongres Rashida Tlaib, yang mewakili komunitas Lebanon di Michigan, menuduh pemerintah AS gagal melindungi warganya di luar negeri.

“Warga kami terus memesan 'penerbangan yang tersedia' tersebut, dan penerbangan dibatalkan berulang kali, dan coba tebak? Biaya tiket pesawat untuk satu penerbangan komersial yang tersedia adalah 8 ribu dolar AS (sekitar Rp123 juta),” tulisnya dalam unggahan di media sosial.

2. Pemerintahan Biden dianggap tidak perlakukan warga Arab-Amerika dengan adil

Kamal Makki, seorang warga Michigan, mengatakan bahwa ayahnya terjebak di Lebanon setelah penerbangannya dibatalkan. Ayahnya disebut tidak menerima bantuan dari pemerintah AS untuk menghindari konflik.

“Ya, penerbangan komersial tersedia, namun tidak untuk semua orang. Jumlah orang yang bisa naik pesawat sangat sedikit, jadi pada dasarnya Anda harus menunggu dan melihat kapan giliran Anda tiba – dan apakah penerbangan Anda tidak dibatalkan,” ujarnya.

Makki menyebut pemerintahan Biden tidak memperlakukan orang Arab-Amerika dengan adil.

“Ada pandangan yang selalu menyatakan bahwa nyawa orang Israel lebih penting daripada nyawa orang Arab," tambahnya.

Abed Ayoub, direktur eksekutif Komite Anti-Diskriminasi Amerika-Arab, mengatakan bahwa warga AS yang terjebak di Lebanon mengalami kebingungan akibat komunikasi yang buruk dari kedutaan AS.

Dia berpendapat bahwa satu penerbangan evakuasi saja tidak cukup, seraya menekankan bahwa AS memiliki kemampuan dan pengetahuan untuk mengirimkan penerbangan dan kapal yang cukup untuk mengevakuasi warganya.

“Ini merupakan cerminan dari kebijakan luar negeri Amerika dan prioritas Amerika, dan Arab Amerika serta Muslim Amerika berada di urutan bawah dalam kedua daftar tersebut,” kata Ayoub kepada Al Jazeera.

3. Kematian Kamel Jawad menunjukkan pandangan pemerintah

Pada Selasa (1/10/2024), serangan udara Israel menewaskan Kamel Jawad, seorang warga lama Michigan. Putrinya, Nadine, mengatakan bahwa ayahnya terbunuh di kota Nabatieh, Lebanon selatan, saat membantu orang-orang lanjut usia dan pengungsi.

“Kami memahami bahwa korban tersebut adalah penduduk tetap yang sah, bukan warga negara Amerika, namun kami tentunya menyampaikan belasungkawa yang tulus kepada keluarga atas kehilangan mereka,” kata Miller, juru bicara Departemen Luar Negeri.

Sementara itu, Ayoub menyebut Jawad sebagai pilar komunitas Arab-Amerika di Michigan, sosok yang dihormati, dihargai, dan dicintai oleh semua orang.

“Dia adalah mentor bagi banyak orang. Dia memberikan kontribusi kepada komunitas. Dia selalu ada untuk semua orang. Dia membesarkan keluarga yang luar biasa,” kata Ayoub tentang Jawad.

Dia menambahkan bahwa pernyataan Miller, yang menurutnya sombong dan meremehkan, menyoroti pandangan pemerintah terhadap orang-orang Arab dan Arab-Amerika.

“Seolah-olah mereka dengan sengaja mencoba melihat orang-orang kami terbunuh, sengaja meremehkan kami dan merendahkan martabat kami,” ujarnya.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Fatimah
EditorFatimah
Follow Us