Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Warga Gaza Tolak Rencana Donald Trump Ambil Alih Wilayahnya 

reruntuhan di Kota Gaza. (unsplash.com/mhmedbardawil)
Intinya sih...
  • Mayoritas warga Gaza menolak rencana AS untuk direlokasi ke negara lain
  • Negara-negara Arab menolak tekanan AS untuk menerima pengungsi Gaza
  • Organisasi anti-pendudukan Israel, Peace Now, menolak rencana Trump dan mendorong solusi dua negara sebagai satu-satunya jalan menuju keamanan dan stabilitas di Timur Tengah

 Jakarta, IDN Times - Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengumumkan rencana AS untuk mengambil alih dan menguasai Gaza. Trump berjanji akan mengubah wilayah tersebut menjadi "Riviera Timur Tengah" setelah merelokasi penduduk Palestina ke negara-negara lain.

Hamas langsung mengecam proposal tersebut karena berisiko menciptakan kekacauan dan ketegangan di kawasan itu.

Sementara itu, Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio berusaha merevisi pernyataan Trump. Rubio mengatakan relokasi penduduk Gaza hanya bersifat sementara selama proses rekonstruksi berlangsung, dilansir Al Jazeera pada Kamis (6/2/2025).

Negara-negara Arab termasuk Mesir dan Yordania telah menolak tekanan AS untuk menerima pengungsi Gaza. Laporan PBB mencatat sekitar 90 persen dari 2,3 juta penduduk Gaza telah mengungsi selama 15 bulan perang berlangsung.

1. Penolakan keras warga Gaza

Fathi Abu al-Saeed, warga Gaza berusia 72 tahun menjadi salah satu yang menolak rencana Trump. Setiap pagi berjalan menggunakan tongkat kayunya menyusuri puing-puing di kawasan al-Katiba, Khan Younis. Ia menilai tumpukan puing tersebut lebih berharga dari AS dan segala isinya.

"Trump berbicara seolah-olah dia raja yang bisa membagi-bagikan tanah. Mungkin sebaiknya dia memindahkan teman-teman Israelnya ke tempat lain di luar Palestina dan membiarkan Gaza sendiri," ujarnya dilansir Al Jazeera.

Imad al-Qassas, seorang ayah enam anak berusia 60 tahun, tinggal di tenda setelah rumahnya hancur. Ia sudah pernah tinggal di Sudan selama empat tahun dan Libya enam tahun pada 1990-an. Namun, akhirnya ia memilih pulang karena merasa tempat terbaik adalah tanah air sendiri.

"Kami adalah bangsa yang berpendidikan dan berbudaya. Kami punya hak untuk hidup di tanah kami dan melihatnya dibangun kembali. Kami punya pedagang, dokter, jurnalis, insinyur kami punya kehidupan. Mengapa kami dipaksa pergi?" ujarnya kepada Al Jazeera.

Wasayef Abed, wanita berusia 36 tahun yang mengungsi di Deir el-Balah, mengaku tidak terlalu mengikuti berita. Namun, ia bersikeras tidak akan meninggalkan Gaza apapun yang terjadi. Menurutnya, warga Gaza mungkin bisa menerima pengungsian internal, namun mereka tidak akan pernah mau dipaksa keluar dari negeri mereka.

Penolakan juga datang dari anak-anak Gaza. Saat ditanya pendapatnya tentang rencana Trump, Mohammad, cucu Abu al-Saeed berusia 10 tahun, tertawa dan mempertanyakan kewarasan Trump. Anak-anak lain pun bersuara serupa, bertekad untuk tetap tinggal dan membangun kembali Gaza.

2. Trauma perang perkuat penolakan warga Gaza

Warga Gaza yang kehilangan keluarga dalam perang semakin kukuh menolak rencana Trump. Khaled Maqbel (63) dan istrinya Iman (52) kehilangan dua anak perempuan dan dua cucu mereka akibat serangan udara Israel. Pasangan ini menyatakan tidak akan pernah meninggalkan Gaza meski ditawari kehidupan mewah.

Keluarga Maqbel telah mengungsi lima kali dalam setahun terakhir. Mereka telah dipaksa meninggalkan rumah mereka di as-Saftawi, Gaza utara, menuju Deir el-Balah.

"Kami sudah menyesal meninggalkan Gaza utara meski dipaksa di bawah todongan senjata. Mereka pikir kami akan menuruti Trump sekarang? Bahkan jika mereka menawarkan jutaan dolar dan rumah mewah, saya tidak akan meninggalkan Gaza, begitu juga anak-anak saya," ujar Iman.

Penolakan serupa datang dari keluarga pengungsi lain. Jamalat Wadi, seorang ibu yang tinggal di kamp pengungsi Deir al-Balah, bertahan bersama keluarganya selama 15 bulan perang. Mereka berencana membangun kembali rumah mereka dari puing-puing yang tersisa.

"Setelah AS membuat Israel menghancurkan rumah-rumah kami di Gaza, dia malah meminta kami untuk pergi? Selama masih ada setetes darah tersisa dalam anak-anak kami, kami tidak akan meninggalkan Gaza. Kami tidak akan menyerah!"ujar Wadi, dilansir BBC. 

Organisasi anti-pendudukan Israel, Peace Now, juga menolak rencana Trump. Mereka menyebut tidak ada cara yang layak untuk memindahkan dua juta warga Gaza keluar dari wilayahnya. Peace Now mendorong solusi dua negara sebagai satu-satunya jalan menuju keamanan dan stabilitas di Timur Tengah.

3. Respons generasi muda Gaza

Mahmoud Abu Ouda, pemuda berusia 23 tahun yang mengelola warung kopi dan teh di Deir el-Balah, memiliki pandangan berbeda. Ia berharap bisa meninggalkan Gaza sesegera mungkin jika ada kesempatan.

"Kalau mereka mempersiapkan rumah, pekerjaan, dan kehidupan nyata untuk kami, mari kita pergi dan akhiri kisah Gaza ini," tuturnya.

Abu Ouda merasa masa depan generasi muda Gaza telah hancur. Ia bertanggung jawab menghidupi enam anggota keluarga, tidak bisa menyelesaikan kuliah, dan bekerja dengan upah sangat rendah. Rumahnya juga telah dibom dan keluarganya mengungsi.

Di sisi lain, Amir Taleb berusia 24 tahun justru semakin bertekad bertahan di Gaza. Meski sempat mengungsi ke Belgia empat tahun lalu, ia memilih kembali ke Gaza setelah setahun. Taleb membuka toko pakaian kecil untuk menghidupi keluarganya.

"Rencana Trump justru malah membuat kami ingin tetap tinggal. Hidup di negara lain sangat sulit karena tidak ada jaminan kami bisa kembali. Oleh karena itu banyak dari kami yang memilih untuk tetap tinggal di Gaza," ujar Taleb.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Leo Manik
EditorLeo Manik
Follow Us