Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
WhatsApp Image 2025-06-19 at 17.27.03.jpeg
Dr. Witanti Prihatiningsih

Artikel ini ditulis oleh Dr. Witanti Prihatiningsih, Dosen Ilmu Komunikasi, UPN "Veteran" Jakarta.

Dalam studi komunikasi, kredibilitas sumber (source credibility) merupakan salah satu faktor kunci dalam efektivitas penyampaian pesan. Carl Hovland dan para koleganya menyatakan bahwa kredibilitas seorang komunikator ditentukan oleh tiga elemen utama: keahlian atau kompetensi (expertise), keterpercayaan (trustworthiness), dan daya tarik (attractiveness). Ketiga elemen ini bukan sekadar atribut bawaan, tetapi dibangun melalui persepsi audiens atas konsistensi, sikap, dan cara berkomunikasi sang sumber informasi.

Dalam konteks komunikasi politik dan kepemimpinan publik, teori ini menjadi sangat relevan. Di tengah krisis kepercayaan terhadap institusi formal, publik cenderung menggeser kepercayaannya pada figur-figur yang dianggap otentik, hadir, dan berbicara dengan bahasa yang dapat mereka mengerti.

Ini membawa kita pada fenomena Kang Dedi Mulyadi (KDM), tokoh Jawa Barat yang kembali menjadi pusat perhatian karena sejumlah langkah kontroversial—dari mengirim anak-anak bermasalah ke barak militer hingga mendorong program vasektomi untuk keluarga miskin.

Langkah-langkah tersebut memantik reaksi keras. Kritik datang dari berbagai kalangan: akademisi, LSM, pemerhati anak, hingga sebagian elite politik. Narasi kritiknya nyaris seragam: tindakan KDM dianggap sembrono, intuitif, tidak berbasis kajian, dan menyalahi prosedur. Namun yang menarik, di tengah kritik tersebut, simpati publik terhadapnya tidak melemah—bahkan semakin menguat. Ribuan komentar dukungan mengalir di media sosialnya, mayoritas berasal dari masyarakat akar rumput yang merasa suaranya akhirnya diwakili secara nyata.

Rasa Frustrasi Masyarakat

Di sinilah pentingnya memahami posisi KDM lewat lensa kredibilitas sumber. Meski sebagian kalangan meragukan expertise-nya secara formal dalam bidang kebijakan anak atau kependudukan, publik melihatnya sebagai sosok yang trustworthy. Ia tidak berbicara dari balik meja atau layar presentasi PowerPoint, melainkan dari jalan-jalan desa, gang sempit, dan rumah-rumah yang sering luput dari perhatian negara.

Ia hadir secara fisik maupun digital—dalam bentuk konten yang organik, konsisten, dan mengandung interaksi nyata. Dari segi daya tarik atau attractiveness, KDM menunjukkannya melalui kepribadian yang hangat, bahasa yang membumi, dan gestur yang akrab, sehingga ia disukai lintas usia—dari anak kecil yang tak segan memeluknya, hingga lansia yang merasa didengarkan.

Dalam banyak kasus, komunikasi publik sering gagal bukan karena pesannya buruk, tapi karena komunikatornya kehilangan kredibilitas. Masyarakat sudah lelah dengan wacana normatif, kajian bertahun-tahun, dan studi banding ke luar negeri yang tak kunjung menghasilkan perubahan konkret.

Dalam isu anak-anak bermasalah, misalnya, kekerasan pelajar, geng motor, dan perundungan brutal bukan hal baru. Namun dalam bertahun-tahun, pendekatan sistem sering berhenti di pelatihan guru BK, penyuluhan, atau FGD tanpa ujung. Ketika KDM muncul dengan langkah berani—mengirim mereka ke pelatihan disiplin di barak militer—itu memang menyalahi banyak norma, tapi juga menyentuh rasa frustrasi masyarakat terhadap ketidakhadiran negara.

Hal serupa berlaku untuk wacana pengendalian populasi melalui vasektomi. Isu ini sensitif, baik secara budaya maupun politik. Namun KDM menyuarakannya secara gamblang, tanpa membungkusnya dalam jargon birokrasi. Ia bicara langsung pada masyarakat miskin, dengan kejujuran yang jarang muncul dalam pidato-pidato pejabat. Lagi-lagi, bukan karena dia “ahli” dalam demografi, tapi karena ia dipersepsikan sebagai seseorang yang tulus dan berpihak.

Fenomena ini menunjukkan bahwa dalam komunikasi politik, kepercayaan publik kadang lebih ditentukan oleh keberpihakan dan kehadiran, bukan oleh gelar akademik atau posisi struktural. KDM membangun trustworthiness-nya bukan dalam setahun dua tahun, tetapi sejak lama, bahkan saat tak menjabat. Ia tetap turun ke lapangan, membantu warga secara langsung, dan membagikan itu dalam narasi visual yang utuh di media sosial. Dalam era komunikasi digital, ini bukan sekadar aktivitas PR, tetapi pembentukan personal brand yang berbasis aksi nyata.

Kritik Tetap Diperlukan

Bukan berarti semua tindakan KDM patut ditiru begitu saja. Kritik tetap penting, terutama untuk menjaga agar pendekatan populis tidak mengabaikan hak individu atau mengesampingkan prinsip keadilan.

Namun kritik pun harus jujur: jika sistem selama ini gagal hadir secara konkret, maka pemimpin yang berani mengambil langkah—meski tak sempurna—perlu dilihat sebagai ruang evaluasi dan perbaikan, bukan langsung disingkirkan.

Dalam narasi komunikasi publik, KDM berdiri di persimpangan antara formalitas birokrasi dan spontanitas kepemimpinan lokal. Ia bukan pemimpin yang menunggu lampu hijau dari pusat atau hasil kajian akademis.

Ia memilih bertindak, dan membiarkan hasilnya diuji oleh publik. Keberaniannya bisa saja menimbulkan kontroversi, tapi juga memperlihatkan betapa kelaparan publik terhadap pemimpin yang hadir bukan hanya saat pemilu.

Kredibilitas dalam komunikasi tidak dibangun dari teks pidato yang sempurna, melainkan dari tindakan yang selaras dengan pesan. Dalam hal ini, KDM memahami satu hal penting: di mata rakyat, kehadiran yang nyata lebih kredibel ketimbang kajian yang berlarut-larut.

Di tengah sistem yang gemar menunggu lampu hijau dan dokumen kajian, KDM bergerak seperti manusia biasa yang tahu kapan harus menyiram api, bukan sekadar mendiskusikan cara terbaik memadamkannya. Mungkin itulah yang dirindukan rakyat dari seorang pemimpin: keberanian untuk hadir, bahkan ketika kehadiran itu belum diizinkan oleh prosedur.

Editorial Team