Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Kriminalisasi Hukum, Ahok Bukan yang Pertama

jawapos.com

Hukum berbanding lurus dengan keadilan, hal itulah yang menjadi harapan dari banyak generasi muda sekarang. Karena pada saat ini, generasi muda masih menjadi penonton dan memainkan peran sebagai check and balance. Apalagi hukum dilambangkan sebagai Dewi Themis dengan mata tertutup, memegang pedang di satu tangan, dan neraca di tangan lain. Yang berarti keadilan dalam hukum harus mampu ditegakkan tanpa padang status atau kasta, harus adil dan seimbang sesuai dengan perbuatan yang diadili. Serta pedang yang diartikan sebagai hukum bukanlah alat untuk membunuh melainkan sebagai senjata terakhir bila diperlukan (ultimum remedium) dan bukan sebagai pencegahan (premium remedium). Terus, kenapa bukan sebagai pencegahan? Karena pencegahan itu adanya pada diri manusia sendiri, melalui akal dan hati yang tersingkronisasi manusia harus mampu berpikir sebelum bertindak.

Indonesia negara hukum

Memang sudah sewajarnya, Indonesia sebagai negara hukum memanfaatkan jalur hukum dalam penyelesaian setiap problematika yang ada. Tapi disayangkan, terkadang hukum yang berusaha ditegakkan seadil-adilnya berlaku seperti jarum yang tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Sudah banyak rakyat kecil yang terpaksa menjalani persidangan seperti Nenek Asyani dengan tuduhan mencuri kayu Perhutani, Nenek Minah yang harus berurusan dengan hukum karena dituduh mencuri tiga buah kakao di tanah milik PT RSA, dan Nenek Artija yang berurusan hukum karena menebang pohon. Entah sejak kapan hukum dipandang mengenal uang, meskipun kita semua tahu bahwa yang menerima uang tersebut bukan sang hukum, tapi sang pengadil. Sang pengadil yang diharapkan mampu bersikap adil dalam memutuskan vonis akhir dari sebuah perkara sering menjadi tidak berlaku adil karena sudah ada yang berani membayar mahal padanya. Dengan kata lain: hukum sudah dibeli.

Mereka yang mampu membeli hukum itu biasanya adalah orang-orang yang bersalah tapi memiliki kepentingan politik, atau juga orang yang tidak bersalah tapi berusaha untuk membuat lawannya tunduk di hadapan hukum guna melindungi aset pribadinya. Sudah banyak kasus seperti ini di Indonesia, di mana rakyat kecil menjadi selalu menjadi korban dari yang ‘katanya’ keadilan hukum.

Kriminalisasi hukum

Tapi ada hal baru mengenai keadilan hukum yang menarik di sini, bahwa pemahaman tentang hukum tumpul ke atas, tajam ke bawah sepertinya harus diubah menjadi hukum tumpul ke yang licik, tajam ke yang baik. Karena pada nyatanya bukan hanya rakyat kecil yang merasakan ketajaman hukum, tapi juga orang-orang baik yang berprofesi sebagai pejabat publik juga merasakannya. Ada beberapa contoh, pertama Antasari Azhar, ex-Ketua KPK yang terkenal kiprahnya dalam membasmi tikus berdasi. Pada Mei 2009 ia ditahan dengan tuduhan membunuh Nasrudin Zulkarnain, bos PT Putra Rajawali Bantaran dan divonis 18 tahun penjara pada 11 Februari 2010. Ia dipenjara bukan dengan bukti yang kuat bahwa sudah melakukan tindak pembunuhan dengan motif cinta segitiga, melainkan karena kepentingan pihak-pihak tertentu yang berusaha melindungi image maupun asetnya. Sebelum tersandung kasus pembunuhan ini, Antasari sudah memenjarakan banyak koruptor melalui Pengadilan Tipikor (Tindak Pidana Korupsi) tanpa ampun, salah satu kasus yang diciduk oleh KPK saat itu adalah korupsi pencairan dana BI yang menyangkut nama Aulia Pohan, keluarga dari besan SBY. Apalagi pencidukan kasus itu dilakukan menjelang Pilpres 2009 yang kita semua tahu kalau SBY kembali menjadi Capres dan akhirnya menang hingga masa akhir jabatan di tahun 2014. Sejak berurusan dengan kasus itulah yang mengakhiri karir Antasari Azhar karena ia harus mendekam di penjara dan baru bebas bersyarat pada 10 November 2016.

Pejabat publik kedua mengalami hal yang serupa adalah kasus dari Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok. Kasus ini memang masih sangat baru, masih fresh, bahkan vonis 2 tahun penjara yang diterima Ahok dari sidang terakhir pada tanggal 9 Mei 2017 setelah 23 kali disidangkan sejak 13 Desember 2016. Saat menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta Ahok memang dikenal sebagai pribadi yang keras, tegas, dan pedas. Ia keras terhadap penetapan aturan, tegas menindak pelanggaran, jika sudah emosi? Ya jadi pedas omongannya. Mungkin memang sudah banyak barisan sakit hati di Pemda DKI Jakarta, tidak sedikit yang mencintainya tapi juga tidak kurang-kurang yang membencinya.

Kasus yang menyeret namanya kita semua kenal dengan kasus Al-Maidah 51, ayat dari Al-Qur’an yang ia kutip dalam pidatonya di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu pada 27 September 2016 dan diunggah oleh Pemprov DKI ke situs Youtube pada 28 September 2016. Namun, bukan dari sini masalah mulai timbul, melainkan pada 6 Oktober 2016 seorang pengguna jejaring sosial bernama Buni Yani mengunggah video pidato Ahok tersebut di laman media sosialnya dengan judul ‘Penistaan Terhadap Agama?.’ Dengan transkripsi durasi video pidato yang dipotong dari 1:48:33 menjadi 30 detik itu sontak mendapat beragam respon dari pengguna jejaring sosial, ada yang langsung tersulut ada juga yang masih berusaha mencari tahu kebenarannya. Hingga 7 November 2016 terhitung ada 14 laporan pengaduan yang diterima oleh pihak kepolisian dan semuanya ditujukan pada Ahok. Meskipun pada 10 Oktober 2016 Ahok sudah meminta maaf kepada seluruh umat Islam, tapi itu tidak memberikan dampak yang signifikan karena aksi Bela Islam berjilid-jilid yang digawangi oleh beberapa ormas membawa massa hingga jutaan.

Memang Ahok juga tetap bersalah karena ia mengutip ayat dari agama lain yang bukan kapasitasnya. Ditambah, Ahok adalah figur pejabat publik dengan minoritas ganda. Ia menyandang dua identitas yang keduanya pun merupakan minoritas yaitu Tionghoa dan nasrani. Sejak mencuatnya kasus Ahok, beragam aksi mengatasnamakan agama dilakukan, tidak hanya di Jakarta tapi juga beragam daerah lainnya. Bahkan kasus Ahok merupakan salah satu kasus di Indonesia yang menjadi sorotan dunia. Sempat menjadi kekhawatiran bahwa minoritas ganda yang disandang oleh Ahok akan memantik kerusuhan rasialis dan mengulang sejarah 1998, tetapi untungnya tidak sampai mengarah ke sana karena massa yang menggalang aksi tetap membatasi tujuan aksi agar tetap pada koridornya, yaitu memenjarakan Ahok.

Menjadi martir

Baik itu Antasari Azhar maupun Ahok, keduanya sama-sama menjadi martir dalam peradilan di Indonesia. Karena keduanya pada akhirnya dipenjarakan untuk menenangkan massa dan menjadi pembuktian bahwa hukum di negeri ini masih berjalan. Meskipun tidak adil yang sebenar-benarnya karena keadilan hukum yang ditegakkan masih pandang bulu, masih memandang siapa yang membayar, dan masih memandang siapa yang punya kepentingan.

 

#RIPJustice

 

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Topics
Editorial Team
Ernia Karina
EditorErnia Karina
Follow Us