Wapres Kamala Harris Siap Menjadi Presiden

Setelah kita mengikuti, sebagian dengan rasa sedih, keputusan sangat bijaksana disertai pengendalian diri yang luar biasa, Presiden Biden mengundurkan diri dari pencalonan dalam Pilpres di bulan Nopember yang akan datang, dan sekaligus mendukung Wapres Kamala Harris untuk menggantikannya menjadi capres Partai Demokrat dalam Pilpres tersebut. Lalu perhatian semua beralih kepada bagaimana reaksi dan kesiapan Wapres Kamala Haris menerima tongkat komando untuk memimpin negara adikuasa ini.
Presiden Biden juga menekankan bahwa beliau akan memusatkan perhatian dan tenaganya untuk meneruskan dan menyelesaikan program yang belum seluruhnya rampung, seperti menjaga momentum pemulihan ekonomi dan stabilitasnya, permasalahan imigrasi, dan meneruskan Upaya menyelesaikan perang antara Rusia dan Ukraina, serta antara Israel dengan Hamas dan Iran di Timur Tengah.
Dalam pernyataannya saat menerima mandat menggantikan posisi Presiden Biden sebagai capres Partai Demokrat, Kamala Harris menunjukkan sikapnya yang jelas bahwa dia siap menerima penugasan tersebut, melanjutkan perjuangan Presiden Biden yang selama hampir empat tahun dia secara loyal membantu tugas memimpin AS. Kedekatan mereka berdua dilukiskan dengan mengatakan bahwa Kamala Harris selalu menjadi orang terakhir meninggalkan ruang kerja presiden setiap pertemuan yang menelorkan keputusan penting.
Kemudian Kamala Harris mengajak semua warga Amerika untuk bersama dia bekerja keras mengalahkan capres Partai Republik Donald J. Trump. Ini dilakukannya untuk mempertahankan kepresidenan dan demokarasi di Amerika Serikat yang akan membahayakan seandainya capres Partai Republik berhasil memenangkan Pilpres nanti, mengingat pengalaman Trump saat memimpin AS di tahun 2016-2020 lalu.
Wapres Kamala Harris langsung bekerja mengatur jadwal kampanye dan menyisir sejumlah kandidat untuk ditunjuk menjadi cawapresnya. Mereka, di antaranya Gubernur Josh Shapiro dari Pennsylvania, Gubernur Andy Bashear dari Kentucky, dan Senator Arizona Mark Kelly, juga Menteri Perhubungan Pete Buttigieg.
Sementara Trump telah memilih Senator Ohio JD Vance sebagai cawapresnya. Suatu kontes yang menarik antara Trump, lansia dengan usia 78 tahun dengan cawapresnya JD Vance, yang separuh usianya, 39 tahun, dibandingkan dengan Kamala Harris yang belum enam puluh (59) dengan calon cawapres yang semua masih lebih muda.
Dalam pemberitaan beberapa hari terakhir Trump sudah banyak membuat kejutan dengan pernyataan-pernyataannya, seperti meragukan etnis Kamala Harris, sebab menurut pengakuannya dia selalu mendengar Kamala Harris sebagai orang India-Amerika, hanya akhir-akhir ini mengaku orang Afro-American.
Dia juga menyebutkan bahwa suami Kamala, Douglas Emhoff, adalah ‘a weird Jew’ atau ‘a crappy Jew’, atau orang Yahudi yang tidak menghormati adat istiadat Yahudi seperti masakan kosher, menikah dengan orang sesama Jahudi, dan seterusnya.
Trump bahkan mengatakan pemilih Yahudi yang memilih calon Partai Demokrat adalah orang yang tidak waras dan perlu diperiksa otaknya. Cawapres Vance menambahkan, seorang yang tidak punya keturunan tidak pantas menjadi pemimpin, menyerang Kamala Harris yang tidak mempunyai anak. Tentu saja langsung dijawab termasuk oleh Kamala Harris sendiri, dia lulusan Howard University, suatu univeritas di Washington DC yang terkemuka, hampir semua mahasiswa dan mahasiswinya Afro-American dan dia anggota dari perhimpunan mahasiswa Afro-American, malah pernah memimpinnya.
Kurang bisa dipahami apa tujuan mereka mengemukakan argumen-argumen yang tidak benar ini. Ibunya memang orang India-Amerika dan bapaknya Jamaica-Amerika. Ibunya ahli kanker, bapaknya profesor ekonomi Universitas Stanford. Tampaknya, banyak yang mengatakan bahwa Mister Trump takut berdebat melawan Kamala Harris, seorang mantan Jaksa Wilayah San Fransisco dan mantan Jaksa Agung California yang sangat mengerti menghadapi tokoh yang merupakan penjahat besar seperti Mister Trump ini.
Orang berkomentar Kamala Harris akan mudah menunjukkan bahwa mantan Presiden Trump ini memang kriminal, sebagaimana juri pengadilan di New York beberapa waktu yang lalu memutuskan bahwa yang bersangkutan terbukti salah dalam 34 kasus.
Pemilihan masih lebih dari 90 hari lagi dari sekarang, banyak dinamisme yang bisa terjadi yang kita belum tahun bagaimana dampaknya terhadap hasil pilpres. Namun berbagai jajak pendapat yang dilakukan di sejumlah negara bagian yang dianggap sebagai swing states, artinya bisa berubah dalam menentukan pemenang, seperti Pennsylvania, Michigan, Wisconsin, Minnesota, Arizona, dan beberapa yang lain. Akhir-akhir ini mantan Presiden Trump selalu unggul terhadap Presiden Biden, terutama setelah debat capres, di mana Presiden Biden kalah telak, sekarang berubah menjadi Kamala Harris yang unggul atau mereka memperoleh suara sama.
Jadi masih bisa berkembang dari yang satu ke yang lain, meskipun tampaknya Kamala Harris semakin di atas angin. Kalau Kamala menang, ia akan menjadi presiden perempuan pertama AS. Dia juga akan menjadi presiden kedua setelah Barrack Obama dari orang bukan orang putih. Yang jelas kebanyakan perempuan di perkotaan, utamanya yang terdidik, orang muda, non-white, Latino, Asian-Americans, bertekad akan memilih Kamala Harris.
Antusiasme pendukung Kamala Harris terlihat dari pengumpulan dana kampanye yang dalam waktu satu minggu saja bisa mengumpulkan US$200 juta, dua pertiganya berasal dari penyumbang dana perdana, dan 170.000 mendaftarkan diri menjadi tenaga sukarela membantu dalam kampanye dan penyelenggaraan pemungutan suara nanti. Ini luar biasa dan bikin Trump terlihat takut menghadapi lawannya dalam debat. Sebelumnya, setelah Trump menang telak terhadap Biden dia selalu berkutat, “dia siap berdebat kapan saja, di mana saja”.
Tetapi semenjak Kamala Harris akan menjadi lawannya, dia berubah mengatakan, tunggu dulu sampai ada kepastian bahwa Kamala Harris yang jadi capres. Tentu saja Kamala Harris gantian menantang dan mengatakan dia berharap Capres Trump akan datang dalam debat yang sudah ditentukan di minggu pertama September, sebab dia akan hadir meskipun tidak ada lawan. Kandidat Trump dikenal menganggap perempuan tidak setara dengan pria, sikap yang sexist, bahkan dikatakan misogynist. Tapi menhadapi Kamala Harris yang mantan penuntut umum, bahkan Jaksa Agung California yang punya reputasi hebat, Trump menjadi grogi sebagai seorang yang berstatus kriminal (felony).
Saya ingin menutup tulisan ini dengan kembali kepada cerita tentang Presiden Biden, yang sangat arif dan bijak, bahwa setelah mendengarkan para petinggi Partai Demokrat, mulai dari mantan Presiden Barrack Obama dan mantan ibu negara Michelle Obama, mantan Presiden Bill Clinton dan mantan ibu negara serta mantan Menlu Hilary Clinton, mantan Speaker yang sangat dihormati Nancy Pelosi, dan tentu Ibu negara Dr Jill Biden, penasihat paling didengar, Presiden Joe Biden, telah mengambil keputusan sangat penting dan berat. Dia melupakan ambisi pribadinya, tetapi sadar akan tanggung jawab konstitusi dan kepada Yang Maha Kuasa menghentikan upayanya ikut berlaga untuk kembali terpilih menjadi Presiden AS, dan dengan rela mempersilakan wakilnya yang sangat loyal, menjadi orang yang ke luar terakhir dari ruang kepresidenan dalam setiap keputusan penting yang menyangkut kepentingan nasional, Wapres Kamala Harris untuk meneruskan perjuangannya, menggantikannya menjadi capres Partai Demokrat.
Dengan Keputusan yang sangat bijak dan menunjukkan kualitas kepemimpinan nasional, bahkan global ini, Presiden Joe Biden akan mempertahankan hasil pemerintahannya yang menjinakkan inflasi dari 10 persen di awal pemerintahannya, menjadi sekitar 3 persen, laju pertumbuhan dari mendekati nol persen ke 2,8 persen dewasa ini, tingkat pengangguran dari di atas 9 menjadi 3,8 persen, mempersatukan NATO mendukung perjuangan Ukraina melawan invasi Rusia, mengupayakan perdamaian di Timur Tengah, itu yang saya bisa sebutkan sebagai hasil pemerintahan Biden-Harris. Anda telah memberi teladan untuk menjadi pemimpin yang bertanggung jawab, berani mundur pada waktunya, suatu kualitas yang luar biasa.
Presiden Biden bukan yang pertama mundur dari pencalonan, ahli Sejarah John Mecham dan Doris Kern mengingatkan bahwa sebelumnya President Lyndon Johnson, di tahun 1968 memutuskan tidak mencalonkan diri lagi, setelah berhasil mencanangkan program yang kemudian dikenal sebagai “Great Society”, dan sebelum ini Presiden Harry S. Truman tahun 1952 memutuskan tidak mencalonkan diri lagi, meskipun beliau Presiden yang memutuskan menjatuhkan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki yang membawa kemenangan Allied Forces. Presiden Biden, bapak telah mengembalikan pamor kepemimpinan AS di dunia sebagai pejuang demokrasi dan hak-hak asasi manusia. Tuhan memberkati. (Dradjad, 02/08/2024)
Guru Besar Ekonomi Emeritus, FEBUI, Jakarta, dan Guru Besar Tamu Ekonomi Internasional, S. Rajaratnam School of International Studies (RSIS), Nanyang Technological University (NTU), Singapore.