Apa Itu Ketupat, Opor Ayam, Nastar!

Di bawah temaram lampu, sesosok pria berbadan tegap tiba-tiba muncul di sebuah warung kaki lima depan kantor Koramil. Ia membeli sebungkus rokok dan menyalakan satu batang rokok. Dengan santai, pria berjaket hitam itu menghampiriku yang tengah duduk santai bareng dua temanku di tangga penyeberangan jalan.
"Keluarkan semua barang yang ada di kantong baju kalian," desak pria itu yang tiba-tiba disusul dua rekannya yang juga berbadan besar dan tegap.
Aku langsung mengeluarkan isi kantong celanaku, yang berisi dompet dan beberapa lembaran uang pecahan sepuluh ribu. Terakhir aku ragu mengeluarkan isi kantong jaketku yang berisi papir dan satu empel daun memabukan. Nyaris aku telan barang haram itu, tapi tak ada kesempatan lagi.
Badanku dilucuti salah satu dari tiga reserse itu. Aku dipaksa membuka celana jinsku dan berjongkok. Setelah dua temanku digeledah, kami pun digiring ke mobil Suzuki Carry. Mobil yang sengaja dipakai intel untuk mengelabuhi kami, lantaran di tempat itu biasa dipakai mangkal Carry jemputan karyawan.
"Ini apa!?" tanya salah satu polisi tak berseragam itu kepadaku.
"Ganja kan?"
"Iya," ucapku, seraya didorong ke dalam mobil.
Kepalaku Dihadiahi Bogem Mentah
Di dalam mobil, aku dan kedua temanku diinterogasi. Kami dipaksa 'bernyanyi' siapa bandar tempat kami membeli ganja. Tapi kami tutup mulut. Beberapa kali bogem mentah mendarat di kepalaku, sampai akhirnya kami tiba di kantor kepolisian resor.
Malam hari kami kembali diinterogasi tetapi kami tetap tutup mulut. Kami dibujuk dengan iming-iming 'tukar kepala' dengan sang bandar, jika aku buka mulut. Tapi mereka tak berhasil. Alhasil, kami pilih mendekam di sel tahanan.
Malam ke-13 Ramadan tahun 2009 itu menjadi tahun yang kelam buatku. Aku seperti jatuh di titik terdalam dalam hidupku. Tapi tak ada penyesalan sedikit pun malam itu. Aku seperti menikmati plot twist drama kehidupanku. Aku memang tengah mabuk miras dan narkotika.
Lebaran di Balik Jeruji
Praktis, aku Lebaran di hotel prodeo. Momen Idul Fitri tak lagi syahdu dan penuh sukacita. Idealnya, berkumpul bareng keluarga atau orang-orang tercinta, aku hanya melewati Lebaran bareng dua temanku dan tahanan lainnya. Apa itu ketupat!? Apa itu opor ayam!? Apa itu nastar!?
Aku sengaja tak mengabari keluargaku, meski polisi terus mendesakku menghubungi keluargaku. Aku tak mau merepotkan keluargaku. Aku memang sudah tak punya siapa-siapa lagi. Ibu bapaku sudah tiada beberapa tahun lalu. Adik dan kakaku tinggal bareng saudara ibuku di kampung.
Aku sadar itu hukuman dari Yang Maha Kuasa. Alih-alih bertaubat, aku malah semakin menjadi. Lebaran malah diwarnai pesta kecil-kecilan dengan segelas miras kaki lima, yang diselipkan ke dalam buah tangan dari beberapa temanku yang membesukku.