[OPINI] Melawan Hegemoni Informasi Lewat Aktif Membaca Buku

Membaca menawarkan perkakas sekaligus gerilya intelektual

Pahitnya dikebiri oleh komplotan penguasa, seperti sensasi yang dirasakan Sumarijem (1970) yang diperkosa anak pejabat, Mbak Patmi (2017) yang hingga meregang nyawa tak kunjung dihiraukan Istana, atau Tan Malaka (1949) yang mesti syahid di tangan anak bangsa sendiri, bukanlah pengalaman perjuangan yang sudi dijalani oleh banyak orang.

Lagipula, dalam konteks berpongah-pongah diri menantang kekuasaan seperti itu, terlalu sederhana di mata para penguasa. Toh, kuasa rakyat hanyalah bahan bualan di hadapan kuasa negara. Selain tidak efektif secara masif, momentum langka seperti itu bila tidak dibarengi dengan aksi kawalan akan berakhir dilupakan hiruk pikuk rutinitas keseharian. Paling untung hanya dijadikan nama ruang auditorium.

Tipikal kekuasaan tirani memang seperti itu. Mengaburkan jejak tanggungjawab lewat selebrasi hari besar atau lewat monumen. Sehingga mayoritas akan larut mengenang dan membual cerita akan sebuah nilai luhur yang mulia sebagai roman namun terlampau beresiko untuk diterapkan. Bagi langgengnya kekuasaan mutlak, menyerobot kewenangan Tuhan bahkan menjadi perkara yang suci.

Kabar baiknya, keterbukaan informasi yang didukung layanan dan perangkat teknologis membuat nyali komplotan penguasa menjadi ciut. Terlalu beresiko untuk bertaruh menghilangkan sebuah aksi heroik dengan melenyapkan oknumnya. Bisa memicu social unrest hingga political riot yang mengancam tatanan mapan. Bangsa ini sudah muak dengan peristiwa seperti itu.

Kabar buruknya, keterbukaan informasi menjadi senjata baru untuk meredam kesadaran publik untuk menyingkap kebobrokan komplotan penguasa lewat kekuasaan tanpa pengawasan. Bangsa ini butuh pengalih perhatian akan isu-isu fundamental. Bila perlu, mereka perlu disibukkan dengan ketakutan mereka sendiri. Di sini, peran media sangat signifikan.

Dewi Keadilan bahkan membelalak menyaksikan para agensi melecehkan harga dirinya. Sungguh sayang, definisi keadilannya ditempa sedemikian rupa lewat lensa kamera. Kekuasaan tidak lagi perlu mengarahkan jari telunjuknya dengan tegas. Bisikan lirih nan sayup cukup efektif menidurkan amarah yang sedikit lagi meledak.

Jikalau dulu para penguasa mesti membayar harga mahal untuk menyediakan perangkat dan sumber daya demi menguasai informasi. Sekarang bahkan dengan suka rela tiap-tiap individu membekali mereka dengan perangkat cerdas, sebuah artefak yang menjadi kebutuhan pokok dan cukup berharga untuk ditukarkan dengan ginjal.

Yang dibutuhkan adalah konten. Pikiran masyarakat luas mesti diberi asupan konten tanpa henti dengan memperhatikan interval pemberian terapi syok agar perhatian mereka tidak teralihkan. Ternyata, gaya hidup berbasis perangkat cerdas tidak hanya memberi obesitas fisik namun juga obesitas informasi; keduanya membuat malas.

Norma kehidupan budaya modern secara terus menerus menyita perhatian. Butuh bahan obrolan bersama kawan dan sejawat? Koran dan portal berita punya segudang kabar yang tidak hanya penting namun juga genting. Lagi bosan? Nyalakan saja TV. Butuh figur teladan? Sederet nama politisi dan artis tentu lebih menginspirasi ketimbang figur guru atau perawat honorer di garis depan yang tak kunjung diberi upah layak.

Kekuasaan merupakan konsep riil yang berhasil difantasikan. Pertarungan kekuasaan selalu berwujud baik lawan jahat. Penjahat akan selalu mendapat balasan dan kebaikan akan selalu menang; cerita selalu berakhir bahagia. Dari novel hingga layar kaca, kebaikan akan selalu mendapat sanjungan dan kemenangan. Meski jalan yang ditempuhnya pada hakikatnya mustahil.

Ini pencapaian signifikan dari media massa. Ia mampu menentukan apa yang baik buat pembaca, pendengar, apalagi penontonnya. Ketika orang berpikir mau jadi apa, berbuat apa, mesti mempercayai siapa, atau berpihak pada golongan mana, media punya semua solusinya dalam satu paket. Di masa setiap orang bisa dijangkau hingga ke tempat paling terisolir, media menggantikan senjata untuk mempertahankan kuasa.

Melucuti perangkat kekuasaan

[OPINI] Melawan Hegemoni Informasi Lewat Aktif Membaca BukuIlustrasi seorang laki-laki (unsplash/ Brunel Johnson)

Michael Foucault pernah menyatakan bahwa mereka yang menyukai buku-bukunya dapat menjadikan kalimat-kalimat yang ada di dalamnya sebagai perkakas analisis. Semacam obeng atau kunci pas untuk membongkar dan melucuti sistem kekuasaan. Seperti peluru dan tank, norma kultural ramuan media massa begitu juga media sosial mesti diperhitungkan.

Tentu, seperti pesan Foucault, untuk melucuti sistem kekuasaan yang dilanggengkan oleh media, dibutuhkan segala macam perkakas analisis. Kotak yang memuat seluruh perkakas konseptual itu bernama buku. Buku tidak hanya meng-alienasi, mengasingkan kita dari ramainya lalu lintas informasi lewat smartphone namun juga mengasah kemampuan kritis; suatu proses yang menandai kemanusiaan kita.

Setiap sistem kekuasaan punya hasrat terhadap hegemoni. Dalam hegemoni, yang berbeda itu berbahaya dan oleh itu, mesti dilenyapkan. Jangan kira hegemoni ini bersifat kaku sebab ia ditopang oleh perangkat ideologis yang digali dari berbagai sendi: Agama, Politik, Sejarah, hingga Seni. Semua diarahkan untuk mengakui suatu asas tunggal yang hanya punya satu tafsir yaitu tafsir penguasa.

Ingatlah, segala bentuk penindasan dari sistem kekuasaan yang sedang berlaku akan selalu dimaklumi bahkan cenderung dibenarkan. Tidak peduli sebejat dan semengerikan apa pun bentuknya. Setiap aksi atau mungkin sekadar pikiran yang berbeda dari yang dibenarkan oleh penguasa akan dianggap subversif atau makar. Yang terakhir ini menjadi andalan karena selain dibangun dari ketakukan warisan juga mengancam zona nyaman banyak orang.

Namun, seperti yang disampaikan oleh Hannah Arendt, pembangkangan terhadap sistem kekuasaan baik itu bersifat religius, sosio-politis, maupun sekuler sebagai sesuatu yang normatif dan universal suatu hari nanti akan dicatat oleh sejarah sebagai tindakan heroik di zamannya. Lihat saja perlawanan terhadap hegemoni sebelumnya, baik Orde Lama maupun Orde Baru, mereka yang dahulu merongrong pemerintahan sah justru dipuja sebagai pahlawan pada hari ini.

Tak ada hal yang paling mengerikan, bahkan untuk sekadar dibayangkan, selain kekuasaan yang bersanding dengan hegemoni. Sebab bila kedua hal itu menyatu, nyawa manusia hanya seharga kutipan sejarah. Lord Acton pernah menulis ke Mandell Creighton sebuah kutipan legendaris, "power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely" ketika mengkritik konsep ma'shum (tanpa dosa dan cela) Paus Paulus yang dicetuskan Gereja Katolik pada Vatican Council pertama di tahun 1869-1870.

Manusia itu serakah, kata Adam Smith, sehingga ia bernafsu untuk mengendalikan keuntungan untuk kepentingan pribadinya. Meski kemudian John Nash membantahnya dengan mengatakan bahwa manusia akan meninggalkan egonya dengan berkolaborasi dengan yang lain, hal ini justru semakin membuat persekutuan politis demi mencapai kekuasaan semakin menguat.

Tokoh-tokoh besar punya sisi gelap, setidaknya dalam perjalanan mereka menuju ketenaran. Ungkapan Lord Acton itu berlaku bukan hanya kepada mereka yang haus kekuasaan namun juga kepada mereka yang sekadar mencari pengaruh. Bahkan, menurutnya, jika suatu sistem sosial atau tata negara menggaransikan kuasa tanpa batas pada sosok penguasa maka hal itu merupakan bid'ah yang paling parah.

Bung Hatta sendiri pernah menasihati mereka yang terlampau percaya diri menulis biografinya sendiri. Bentuk pengidolaan seperti itu biasanya hanya menunjukkan sisi positif dari tokoh yang ditulis dan melupakan semua kesalahan serta khilafnya. Padahal, justru biografi yang baik adalah yang menceritakan kedua sisi manusia itu dalam lingkaran konfliknya.

Selain itu, beliau juga sangat antipati terhadap mereka yang menulis biografi sementara ia sendiri masih hidup. Bung Hatta berpendapat bahwa ketokohan akan paripurna jika lembaran hidup tokoh tersebut telah tertutup. Meski tidak sesarkas Chairil Anwar yang berpikir untuk sekali berarti sesudah itu mati, Bung Hatta mencela modus pendewaan karakter lewat biografi.

Sikap yang terus menerus ingin mendapat perhatian publik untuk menduduki jabatan tertentu merupakan penyakit mental yang akut. Belum lagi yang terus membanjiri laman profilnya dengan portrait wajah disertai quote gagasan kepemimpinannya. Dalam Epos Mahabharata disebutkan, orang yang mabuk karena kekuasaan tidak bakal pingsan karena kehilangan kesadarannya. Itu yang membuatnya jauh lebih buruk dari mabuk karena minuman keras.

Kekuasaan, terutama yang tersentralisasi lewat tokoh atau asas tunggal, merupakan ancaman bagi pembangunan peradaban. Rezim akan silih berganti namun warisan intelektual dan kebudayaan tetap mesti berlanjut. Perlawanan terhadap dominasi dan hegemoni merupakan sesuatu yang wajar, atau bahkan niscaya, dalam sebuah sistem kekuasaan.

"Hanya dalam dongeng, cerita anak, dan jurnal opini intelektual diceritakan bahwa kekuasaan dapat digunakan secara bijak untuk mengalahkan kejahatan. Di dunia nyata tidak seperti itu. Hanya dengan sikap acuh tak acuh yang serius dan naif orang bisa gagal untuk menyadarinya," kata Noam Chomsky. Sehingga kekuasaan yang baik adalah kekuasaan yang tiada.

Lahirnya Milisi Fanatik

McPherson, Smith-Lovin, dan Cook pada tahun 2001 mengemukakan Prinsip Homofili yang menjelaskan lingkaran pergaulan tertutup individu sehingga menuntun kepada kehidupan sosial yang monoton. Hal tersebut kemudian berdampak pada jenis informasi yang mereka terima, perilaku yang mereka bentuk, hingga interaksi yang mereka alami. Singkatnya, prinsip itu menjelaskan individu yang hanya hidup lingkaran komunitasnya sendiri.

Homofili sendiri bukanlah konsep yang baru. Sedari dulu, manusia cenderung tertarik dan berkumpul dengan mereka yang punya ketertarikan yang sama. Secara alami, seseorang akan mencari rekan yang karakternya mirip dengan karakter dirinya. Lingkaran yang dibangun berdasarkan kemiripan minat dan ciri-ciri ini berlaku pada ras, kepercayaan, gender, status sosial, hingga pilihan politik.

Dengan hadirnya media sosial, lingkaran pergaulan ini semakin mudah terbangun. Aplikasi berbasis web yang berjalan atas algoritma ini mempertemukan mereka dengan aktivitas daring yang mirip. Entah melihat profil, kata kunci yang sering digunakan, atau preferensi klik. Algoritma ini pula yang mengatur suplai informasi yang diterima oleh masing-masing individu di komunitas tersebut.

Pola "echo chamber" yang diciptakan algoritma tersebut membuat informasi hanya terpantul atau mengalir di komunitas tertentu saja. Proses ini terus berlangsung hingga hanya tersisa satu keran informasi tunggal. Informasi yang muncul hanya yang mendukung pilihan pembacanya atau setidaknya sesuatu yang ingin mereka baca. Pandangan atau pendapat berseberangan disaring dengan ketat.

Meski kombinasi homofili dan media sosial ini mampu menciptakan pasar positif bagi pelaku industri kreatif dengan menjaga konsumen mereka tetap dekat, terdapat konsekuensi yang mesti diantisipasi. Fenomena "echo chamber" ini akan memicu polarisasi perdebatan politis di ruang-ruang publik dan memicu lahirnya kelompok ekstrimis; milisi fanatik yang menganggap kelompok yang tidak memiliki pandangan yang sama dengan mereka mesti disingkirkan.

Prinsip homofili yang ditunggangi media sosial mungkin saja membuka jalan bagi kita untuk menemukan kesamaan yang mampu menyisihkan perbedaan kita. Jalan yang menuntun kita menghargai sesama dan membangun peradaban atas dasar kerjasama serta interaksi mutualisme. Namun pada perkembangannya, perangkat cerdas yang mengawinkan homofili dengan media sosial justru semakin mempertegas perbedaan kita.

Buku Sebagai Gerilya Intelektual

Hantaman peluru-peluru informasi yang terus mengecam kebebasan dan kenyamanan kita di tiap waktu hanya punya satu tujuan; bahwa kita membutuhkan suatu sistem kekuasaan yang mengendalikan buasnya kehidupan liar akibat tendensi manusia untuk menguasai satu sama lain. Sistem ini pula mesti dijaga kelestariannya oleh penguasa yang suka tidak suka mesti kita pilih dan taati. Sebab jika tidak, kita tak akan pernah merasa aman dan hidup tenang.

Pemegang tampuk kekuasaan ini akan terus berupaya menjaga hegemoni dengan memanfaatkan kelemahan dasar kita yaitu kebutuhan untuk hidup tentram. Di titik inilah media berperan penting. Seperti diadegankan dengan apik dalam V for Vendetta, media akan terus memenuhi layar kaca kita dengan dua hal: bencana dan hiburan.

Bencana seperti banjir hingga pandemi akibat virus membuat kita berpikir untuk semakin mempercayai pemerintah karena hanya mereka yang mampu menolong kita dari musibah tersebut

[OPINI] Melawan Hegemoni Informasi Lewat Aktif Membaca Buku(Underpass Kemayoran kembali direndam banjir pada 8 Februari 2020) IDN Times/Restu Rahmah Putri

Di sisi lain, hiburan mulai drama para aktor/ aktris baik di atas atau di luar panggung hingga sinetron yang meromantisasi si kaya dan si miskin atau kisah asmara dua sejoli memastikan kita tersenyum sekaligus melupakan kebejatan persekongkolan para pemegang kekuasaan.

Rutinitas inilah yang mengacaukan kemampuan kita untuk fokus. Seakan kita tidak dapat menyelesaikan sesuatu sebab terlampau banyak hal yang menyita waktu dan perhatian. Ilusi yang sama diperparah oleh kesadaran palsu bahwa perangkat cerdas yang kita miliki, dengan akses tanpa batas pada informasi apapun, mampu menyelesaikan semua masalah dan pekerjaan.

Belum lagi jika mau terlibat bentrok daring dengan para milisi fanatik yang sukanya main keroyokan dan menyebar hoaks. Barisan laskar yang hobi perundungan dan ujaran kebencian ini semakin memperparah kondisi psikologis kita. Media sosial memang merevolusi pergerakan milisi fanatik ini. Sebelumnya, mereka tidak punya ruang untuk mempertunjukkan kedunguannya.

Menyikapi fenomena ini, kita butuh gerilya intelektual. Kita butuh mengasingkan diri ke suatu tempat di mana hantaman peluru dan amunisi informasi itu tidak menyasar kita. Selain itu, di tempat ini pula kita berlatih mempertajam nalar dan metode pikir agar sekembali dari pengasingan ini, segala bentuk pengerdilan potensi kritis lewat hegemoni bisa ditepis.

Tempat gerilya intelektual itu adalah buku. Di tempat ini kita berlatih mengolah nalar dengan terlebih dahulu mereset proses kognitif kita agar mampu membuat jadwal untuk hal-hal yang memang patut dan perlu mendapat perhatian. Dengan berpaling ke buku, pergaulan bebas dengan perangkat cerdas itu bisa dihentikan.

Buku menyediakan momen dan ruang untuk berkelana ke rimba pikiran kita sendiri yang sudah jarang tersentuh akibat teralihkan oleh isi pikiran orang lain. Dengan membaca, komunikasi dengan diri sendiri kembali terjalin. Untaian kata itu akan membuat kita sibuk berdiskusi dengan diri sendiri untuk mengolah dan mencerna informasi yang diberikan.

Tidak seperti konten yang kita baca lewat perangkat cerdas itu yang algoritmanya sudah memberi jawaban atas akhir yang diinginkan, buku akan memberikan nuansa acak dan memahamkan kita akan sesuatu yang sebenarnya kita ketahui namun tidak disadari. Buku tidak menuntun ke tautan menuju hal-hal yang hanya memihak keinginan kita.

Seperti yang disampaikan oleh Michael Foucault bahwa buku merupakan kotak perkakas yang di dalamnya terdapat peralatan lengkap untuk keperluan analisis. Lewat penalaran yang tepat, peralatan ini mampu membongkar modus-modus hegemoni kekuasaan yang nampaknya wajar bahkan menunjukkan kesan humanis namun menyembunyikan operasi eksploitasinya.

Kekuasaan punya tendensi kuat untuk mengeksploitasi dan menggunakan hegemoni untuk melegitimasi modus operandinya

[OPINI] Melawan Hegemoni Informasi Lewat Aktif Membaca BukuIlustrasi permainan catur (Pexels.com/@pixabaycom)

Modus ini didukung oleh institusi-institusi yang akarnya sudah menguat di masyarakat dan dikerjakan oleh aktor-aktor intelektual. Sehingga untuk menelanjanginya dibutuhkan perkakas yang tahan terhadap segala bentuk kompromi. Buku merupakan salah satu yang bisa dipercaya.

Knowledge is power. Slogan itu mengandaikan suatu kemampuan bertahan hidup yang cukup penting bagi manusia dan itu melibatkan kapasitas intelektualnya. Pedang dan pistol mungkin akan mengirim jasad ini ke liang lahad namun kata dan kalimat akan memasung mereka yang mengkhianati kemanusiaan pada pengadilan sejarah. Selama manusia membaca, selama itu pula kutukan terhadap mereka dirapalkan.

Jika barisan pendukung legitimasi hegemoni kekuasaan itu dengan mudahnya dibutakan lewat doktrin kesadaran semu, dikumpulkan lewat media sosial memanfaatkan prinsip homofili, dan menyebar kebencian dan pemberangusan terhadap segala sesuatu yang berbeda dari apa yang mereka yakini, maka laskar akal sehat disatukan oleh kesadaran kolektif.

Kesadaran ini lahir dari kesukarelaan atas prinsip yang sama. Bukan karena ketokohan atau karena komunitas tertentu namun karena telah melewati perenungan serta penalaran yang mantap. Sebab kesadaran ini tidak lahir secara instan dan tidak pula terberi. Ia merupakan konsekuensi logis dari kecakapan menggunakan kotak perkakas bernama buku yang telah dilatih secara telaten.

Seperti Muhammad, pemuda ummiy dari tanah gersang Arab, menuntun pada peradaban yang memerdekakan. Perjuangannya berlandaskan literasi yang ditempa dengan penalaran kritis meski Sang Rasul masih menuntun lewat kalam Ilahi. Buku tidak dapat dibungkam dan terus terbuka terhadap berbagai bentuk tafsiran.

Metode pembebasan yang dirasakan sedari awal kita membuka sampulnya di mana pembaca bebas menakwilkan serta bebas pula untuk menerima atau menolak apa yang dibacanya. Potensi ini yang menjadi ancaman bagi tiap bentuk hegemoni kekuasaan. Itulah mengapa sejarah tirani selalu diwarnai penyitaan dan pembakaran buku.

Jika media sosial menguatkan efek prinsip homofili maka buku pun demikian. Bedanya, yang dipertemukan adalah mereka yang punya pemikiran bebas dan terbuka untuk berdiskusi. Militansinya tidak diikat oleh fanatisme namun oleh akal dan keyakinan yang sehat. Saatnya berkontribusi melucuti hegemoni sistem kekuasaan dengan kotak perkakas masing-masing. Mari bergerilya secara intelektual!

Baca Juga: [OPINI] Ancaman Hoax Terhadap Stabilitas Nasional

Azwar Abidin Photo Writer Azwar Abidin

Peminat kajian Psikolinguistik, Psikologi Perilaku, dan Analisis Wacana.

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Novaya

Berita Terkini Lainnya