Cerita Ramadan: Momentum untuk Belajar Toleransi Beragama

Ramadan adalah bulan penuh berkah dan kedamaian. Sepenggal kalimat yang digaungkan para guru saya di madrasah tersebut selalu terngiang di benak saya sejak kecil. Bagi anak-anak yang usianya belum mencapai dua digit, hal tersebut belum dapat saya pahami dengan baik. Seiring berjalannya waktu dan pengalaman hidup, kalimat tersebut rupanya tidak hanya slogan, tetapi memang benar adanya.
Salah satu momen yang membuat saya merasa "adem" adalah fenomena "war takjil" di kalangan saudara-saudara non-muslim. Ditambah lagi dengan viralnya video Pendeta Steve Marcel Saerang saat ia berkotbah di Gereja TIberias. Ia mengajak umat Kristen untuk mengatur startegi war takjil saat umat Islam yang berpuasa sedang "lemas-lemasnya."
Video tersebut mendapat sambutan yang sangat positif dari berbagai kalangan, terutama umat Islam dan Kristen. Berbagai komentar dan candaan lucu pun dilontarkan warganet. Tak perlu menunggu lama, banyak umat Kristen dan umat agama lain yang mengunggah video di berbagai media sosial saat sedang berburu takjil pada pukul tiga sore. Umat Islam yang berpuasa pun banyak yang "protes," karena mereka kehabisan takjil ketika datang pukul lima sore.
Di sisi lain, banyak umat Islam yang berterima kasih kepada umat lain karena telah membantu UMKM dengan memborong takjil dagangan mereka. Apalagi mayoritas pedagang takjil adalah ibu-ibu yang berjuang mencari tambahan rejeki, bahkan ada yang menafkahi keluarganya. Dari momen ini, kalimat "Ramadan adalah bulan penuh berkah dan kedamaian" bukanlah bualan.
Sahabat non-muslim yang paling semangat mengajak buka puasa

Momen lain yang membuat saya terngiang dengan kalimat "Ramadan adalah bulan penuh berkah dan kedamaian" adalah saat melihat sahabat-sabahat non-muslim saya justru yang paling semangat mengajak buka puasa bersama. Mereka tidak berpuasa, tetapi gak mau ketinggalan ikut bukber, serta menjadi "agen" perdamaian dan toleransi.
Salah satunya Stella, rekan sekantor yang duduk tepat di seberang saya dan beragama Kristen. Sejak hari pertama Ramadan, ia sudah melontarkan wacana untuk bukber alias buka bersama. Sampai saya mengatakan padanya, "Kamu adalah orang pertama di Ramadan kali ini yg ngajakin aku bukber."
Saat sedang berdiskusi untuk menentukan hari, tiba-tiba Stella mengatakan tidak bisa bukber tanggal sekian, karena dia ada agenda bukber lain. Well, yang puasa siapa, yang agenda bukbernya padat siapa?
Akhirnya, kami menemukan tanggal yang pas. Stella langsung semangat melakukan reservasi di salah satu restoran steik di Surabaya. Ia juga menghubungi teman kami yang lain dan mengajaknya bukber. Menjelang hari-H, ia membuat reminder dan saat hari-H, matanya paling berbinar, karena akhirnya bisa buka puasa bersama.
Momen bukber bersama sobat Kristen yang satu ini ternyata tidak hanya sekali. Selama Ramadan ini, saya sudah tiga kali berbuka puasa dengan dia di tiga tempat makan berbeda. Ditambah lagi hampir setiap hari ia menemani saya buka puasa di kantor.
Uniknya lagi, agenda bukber Stella dengan circle pertemanannya yang lain juga lebih banyak daripada saya. Sampai-sampai, ada rekan lain di kantor yang berkata, "Berbuka puasa sekarang tidak dengan yang manis, tetapi dengan yang nonis (non-Islam)."
Momentum yang pas untuk belajar toleransi

Cerita saya tersebut ternyata juga dialami banyak orang. Ada banyak warganet yang menguggah video di berbagi platform media sosial yang menunjukkan indahnya toleransi beragama di Indonesia.
Salah satunya video TikTok yang diunggah akun @muhamadnafissidiq pada Selasa (18/3/2025). Dalam video tersebut, terlihat siswa-siswi satu kelas berbuka bersama di suatu restoran, tetapi sebenarnya yang berpuasa hanya dua orang siswa laki-laki. Saya yakin, bukan dua orang itu yang merencanakan agenda buka puasa tersebut, melainkan teman-temannya yang lain atau bahkan gurunya.
Teman-temannya terlihat "rela" menemani dua orang minoritas tersebut. Selain menghormati teman yang berpuasa, barangkali mereka berkumpul sebelum libur panjang dan tidak akan bertemu selama beberapa waktu ke depan.
Satu lagi cerita unik di bulan Ramadan yang saya temukan di sekitar saya. Sekitar pukul empat sore, saya hendak liputan dan melewati sebuah SMP Kristen yang berada tak jauh dari kantor. Di depan gerbang sekolah tersebut, ada sekelompok siswa sedang membagikan takjil untuk pengendara bermotor yang melintas. Beberapa orang guru dan satpam terlihat mendampingi dan membantu mereka membagikannya.
Siswa-siswa tersebut terlihat sangat bersemangat. Beberapa pengendara terlihat mengucapkan terima kasih yang dibalas dengan anggukan dan senyum merekah dari bibir mereka. Uniknya, mayoritas siswa yang ikut acara bagi takjil tersebut memiliki wajah khas salah satu etnis di Indonesia.
Inilah sebenarnya wujud nyata dari toleransi beragama di Indonesia. Keberagaman agama, suku, dan budaya adalah sebuah berkat atau anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa yang sepatutnya dipelihara dengan baik oleh seluruh lapisan masyarakat. Tujuannya agar tidak mudah terjadi gesekan dan perpecahan.
Toleransi juga harus ditanamkan sejak belia. Anak-anak yang tumbuh dengan berbagai perbedaan biasanya akan lebih terbuka dan memahami makna toleransi, menghormati umat lain yang cara ibadahnya berbeda dengan dirinya, serta menghargai orang-orang yang memiliki ras dan warna kulit berbeda dengan dirinya.
Dan sekali lagi, Ramadan adalah bulan penuh berkah dan kedamaian. Bulan ini mengajarkan kita tentang indahnya toleransi umat beragama di Indonesia, dimulai dari fenomena war takjil hingga rekan non-muslim yang paling semangat mengajak buka puasa. Semoga hal-hal baik ini tidak hanya terjadi dibulan Ramadan, tetapi juga di bulan-bulan lainnya.