Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Cinta dan Independensi

pexels.com

Saya percaya bahwa seseorang haruslah berdiri di atas kakinya sendiri, hidup mandiri, tidak tergantung siapapun. Dengan kata lain, memiliki independensi.

Namun seringkali saya mendapati teman yang justru sebaliknya, dependen. Sewaktu SMA, seorang teman laki-laki terpaksa tidak masuk sekolah karena bajunya belum dicuci. Ibunya yang selalu mencuci baju, sementara dia lupa berpesan kepada sang ibu kalau seragamnya yang satu itu wajib dipakai esok harinya. Ketika itu, saya beranggapan betapa malasnya dia sampai harus tergantung orang lain, bahkan untuk hal yang personal, untuk dirinya sendiri. Kalau sudah begini, kan, kegiatan personalnya juga juga tidak berjalan. Saya kemudian membatin, salahnya sendiri tidak punya independensi!

Kejadian lain, ketika belum lama ini teman perempuan saya mengatakan kepada saya bahwa dia memegang prinsip laki-laki bertugas mencari uang, perempuan bertugas menghabiskannya, saya hanya tidak habis pikir kenapa teman saya ini, kok, mau-maunya tergantung dengan orang lain. Padahal ini menyangkut masalah ekonomi, dan masalah ekonomi adalah untuk seumur hidup, maka itu berarti dia akan tergantung kepada lelaki—yang mungkin kelak menjadi suaminya—sepanjang dia hidup. Saya kemudian juga membatin, tidak punya independensi!

Tentu saja, melihat orang lain seperti itu, saya merasa berbeda dari mereka. Dengan angkuhnya, saya menahbiskan diri sebagai seorang yang punya independensi. Belakangan, saya baru menyadari suatu hal: saya keliru, saya ternyata sama dependen seperti mereka. Bedanya, bukan karena ketergantungan dengan pekerjaan orang lain, bukan juga ketergantungan ekonomi, melainkan ketergantungan cinta. Bagaimana bisa? Saya sendiri pun harus terlena dulu untuk akhirnya mengetahui. Butuh proses panjang—jatuh yang tidak hanya sekali—untuk bisa memahami.

Lama sekali saya bersama orang yang, sejak kali pertama saja kita bertemu, sudah saya anggap sebagai dunia baru, tempat tinggal baru, selain bumi yang sudah penuh dengan kemuakan ini. Kemudian, secara otomatis saya merasa bahwa dia adalah saya. Saya menemukan diri saya yang utuh ketika bercermin terhadapnya. Dengan begitu, anggapan saya sejak saat itu adalah saya independen. Itu saja. Saya tidak lagi membutuhkan orang-orang di sekitar untuk menjadi alasan kebahagiaan saya sendiri, karena dengan dia, yang saya anggap sebagai saya itu, sudah cukup.

Setelah waktu yang lama sekali itu, segala sesuatu tidak elak mengalami perubahan juga. Ada yang punya sebab, ada yang tidak. Dia — dunia saya itu — pergi. Sebabnya tidak tahu apa, barangkali yang satu ini masuk dalam kategori ke-dua. Kejadiannya begitu saja, mengalir, alami. Walaupun begitu, saya terluka, sekaligus berduka. Ketika itu, saya berkesimpulan bahwa saya hanya tidak bisa menghadapi perubahan yang tidak menyenangkan. Lama-lama juga akan hilang.

Harapan tidak sejalan kenyataan. Dalam waktu yang tidak kalah lamanya, saya masih saja terus terluka. Duka juga tiada sudahnya. Adapun belasan jam dari dua puluh empat jam dalam sehari waktu saya, habis untuk memikirkan dia. Bagaimana dia bisa berubah seekstrem itu, kenapa dia tidak mencegah perubahan agar yang tidak menyenangkan ini tidak terjadi, bagaimana dia sekarang dengan kehidupan barunya, kenapa dia tidak kembali, sampai pada pertanyaan…bahagiakah dia, dulu dan sekarang? Dapat dibayangkan bagaimana saya jatuh, kemudian mencoba bangun, tidak lama kemudian jatuh lagi, dan terus begitu akibat pertanyaan-pertanyaan semacam ini selalu terbit di dalam kepala, pun selalu tidak ada jawaban pastinya.

Sampai pada suatu titik, tidak jauh dari saat ini pada masa yang sudah lalu, saya mempertanyakan satu hal: Di mana independensi saya? Pertanyaan ini kemudian melebar ke pertanyaan-pertanyaan lainnya, yang mengantarkan diri saya sendiri menuju muara: saya tidak punya independensi! Sebabnya adalah cinta. Saya keliru ketika menganggap dia adalah dunia baru, yang berarti pula kebahagian baru buat saya. Saya terlampau keliru karena telah merasa bahwa saya menemukan saya pada dirinya.

Kesadaran akhirnya muncul. Dunia baru, kebahagian baru, saya yang ada pada dia—orang lain itu, semuanya delusi. Saya punya dunia sendiri; tidak bumi, tidak juga dia dapat menyediakannya. Saya punya kebahagian sendiri, yang mana tidak pernah dapat dihadirkan oleh orang lain, siapapun, kecuali saya. Dan yang terpenting, saya punya diri sendiri, yang mana tidak satupun orang memiliki yang serupa.

Maka begitulah saya memahami betapa selama ini saya mengantungkan cinta kepada orang lain, sampai-sampai mengaburkan diri saya sendiri. Maka begitu pulalah saya memutuskan untuk tidak dependen lagi.

Saya masih punya cinta, tentu saja. Dan kini, dibarengi dengan independensi.

*Terinspirasi dari cerita pendek “Sepotong Kue Kuning” karya Dewi Lestari


Mau karya tulismu diterbitkan oleh IDNtmes.com? Yuk, submit artikelmu di IDNtimes Community! Cari tahu bagaimana caranya di sini.

Share
Topics
Editorial Team
Suwanti
EditorSuwanti
Follow Us