Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Mengapa Guru Selalu Dipandang Sebelah Mata Padahal Sosoknya Berjasa?

ilustrasi guru
ilustrasi guru (unsplash.com/Husniati Salma)

Di Indonesia, berprofesi sebagai guru masih sering dianggap serba dilematis. Belum kelar urusan guru honorer yang hanya menerima bayaran ratusan ribu rupiah setiap beberapa bulan, suara dari para pejabat publik justru kerap melukai hati para pendidik ini. Ada yang terang-terangan menyebut guru sebagai beban negara, bahkan meminta mereka menjalani profesi ini dengan sukarela. Sementara itu, para wakil rakyat menerima gaji dan tunjangan yang nilainya jauh lebih besar hingga berkali-kali lipat. Kondisi ini memperlihatkan betapa timpangnya penghargaan yang diberikan pada guru dibandingkan jasa besar yang telah mereka lakukan.

Guru sejatinya adalah sosok yang berperan dalam membentuk generasi, tapi kenyataannya penghargaan pada profesi ini masih sering dipandang sebelah mata. Dari sisi ekonomi, status sosial, hingga perhatian kebijakan, posisi guru kerap ditempatkan di barisan belakang. Ironisnya, semua orang menyadari bahwa tanpa peran guru, tidak ada dokter, insinyur, politisi, atau bahkan profesi apa pun yang lahir di dunia ini. Pertanyaan besarnya, mengapa sosok yang begitu penting justru sering diperlakukan seperti ini? Berikut beberapa sudut pandang yang bisa menjelaskan masalah tersebut.

1. Persepsi masyarakat menempatkan guru sebagai pekerjaan biasa

ilustrasi guru
ilustrasi guru (unsplash.com/Fajar Herlambang STUDIO)

Banyak orang masih menilai guru sekadar sebagai pekerjaan formal yang tugasnya hanya mengajar di kelas. Pandangan ini muncul karena aktivitas guru terlihat sederhana, yakni menyampaikan materi, memberi tugas, lalu menilai hasilnya. Padahal, di balik kegiatan yang tampak rutin itu, terdapat proses panjang dalam menyiapkan strategi pembelajaran, memahami karakter murid, hingga membangun suasana belajar yang kondusif. Kesederhanaan yang terlihat di permukaan sering membuat masyarakat menyepelekan pekerjaan guru.

Persepsi tersebut semakin diperkuat oleh anggapan bahwa profesi guru bukanlah pilihan utama bagi banyak orang. Ada yang menganggap menjadi guru adalah jalan terakhir ketika tidak diterima di profesi lain. Pandangan semacam ini membuat citra guru menjadi kabur karena identik dengan profesi “sekadar cukup” untuk bertahan hidup. Akibatnya, penghargaan sosial yang diberikan tidak sebanding dengan beban mental dan tanggung jawab besar yang harus mereka tanggung.

2. Sistem penggajian menempatkan guru pada posisi yang lemah

ilustrasi guru
ilustrasi guru (unsplash.com/Husniati Salma)

Masalah klasik yang terus menghantui profesi guru di Indonesia adalah sistem penggajian yang tidak adil. Banyak guru honorer menerima gaji yang bahkan tidak mencukupi kebutuhan dasar, sementara kesejahteraan mereka sangat bergantung pada status kepegawaian. Perbedaan antara guru ASN dan guru honorer begitu mencolok sehingga menciptakan kesenjangan dalam satu profesi yang sama. Hal ini membuat banyak guru merasa posisinya lemah di mata negara.

Minimnya penghargaan finansial juga memengaruhi bagaimana masyarakat memandang profesi guru. Jika guru sendiri diperlakukan dengan bayaran rendah, sulit bagi orang lain untuk melihat mereka sebagai sosok yang bernilai tinggi. Akibatnya, citra guru semakin tergerus karena kesejahteraan tidak dijadikan prioritas. Padahal, kualitas pendidikan sangat bergantung pada bagaimana guru dihargai, baik secara moral maupun materi.

3. Kebijakan pendidikan sering mengabaikan suara guru

ilustrasi guru
ilustrasi guru (unsplash.com/Fajar Herlambang STUDIO)

Kebijakan pendidikan di Indonesia kerap ditentukan oleh pihak-pihak yang tidak terjun langsung di lapangan. Kurikulum berganti, aturan berubah, dan standar dinaikkan tanpa melibatkan banyak masukan dari guru. Situasi ini menimbulkan kesan bahwa guru hanyalah pelaksana kebijakan, bukan bagian penting dari proses perumusan. Ketika suara mereka tidak dianggap, penghargaan terhadap profesi ini otomatis berkurang.

Guru yang setiap hari berhadapan langsung dengan murid justru sering kesulitan menyesuaikan diri dengan kebijakan baru pemerintah. Beban administrasi menumpuk, target pembelajaran terus meningkat, tapi fasilitas dan dukungan tidak pernah seimbang. Hal ini membuat profesi guru semakin berat dan jauh dari kata ideal. Ketika kebijakan yang seharusnya berpihak pada mereka justru mengabaikan kenyataan di lapangan, tidak heran jika guru makin sering dipandang remeh.

4. Ekspektasi berlebihan menjadikan guru serba salah

ilustrasi guru
ilustrasi guru (unsplash.com/Herlambang Tinasih Gusti)

Selain dihadapkan pada kebijakan yang berubah-ubah, guru juga harus menghadapi ekspektasi besar dari masyarakat. Banyak orangtua berharap guru bisa menjadi pengganti peran mereka di sekolah, baik sebagai pendidik, pengasuh, maupun pembimbing moral. Ketika anak gagal mencapai target tertentu, guru sering dijadikan kambing hitam. Situasi ini membuat guru berada dalam posisi serba salah, dihargai hanya ketika murid berhasil, tetapi disalahkan ketika hasilnya tidak sesuai harapan.

Tekanan semacam ini menjadikan guru harus menanggung beban yang jauh melebihi tanggung jawab akademis. Mereka dituntut untuk mendidik karakter, mengatasi masalah perilaku, bahkan terkadang ikut menyelesaikan persoalan pribadi murid. Padahal, dukungan yang diterima tidak sebanding dengan tuntutan yang dibebankan. Kondisi ini perlahan mengikis citra guru di mata publik karena mereka lebih sering diingat ketika gagal, bukan ketika berhasil.

5. Perkembangan teknologi menggeser peran guru di mata sebagian besar orang

ilustrasi guru
ilustrasi guru (unsplash.com/Iqbal Tarigan)

Kehadiran teknologi digital membawa perubahan besar dalam dunia pendidikan. Sumber pengetahuan kini dapat diakses dengan mudah melalui internet, sehingga sebagian orang mulai meragukan apakah peran guru masih relevan. Ada anggapan bahwa dengan adanya platform pembelajaran daring, murid bisa belajar mandiri tanpa harus selalu bergantung pada guru. Pandangan ini menempatkan profesi guru seakan-akan bisa digantikan oleh teknologi.

Padahal, fungsi guru jauh lebih kompleks daripada sekadar menyampaikan informasi. Mereka membimbing, memotivasi, dan memastikan murid memahami nilai-nilai yang tidak bisa didapatkan dari mesin pencari atau aplikasi. Interaksi manusiawi, empati, dan pengalaman hidup adalah aspek yang tidak bisa digantikan teknologi. Sayangnya, ketika masyarakat terlalu terpaku pada kecanggihan digital, nilai peran guru semakin berisiko dipandang sebelah mata.

Guru merupakan sosok yang memiliki peran besar dalam perjalanan hidup setiap orang, tapi penghargaan yang diberikan masih sering tidak sepadan. Dari persepsi yang keliru, kebijakan yang tidak berpihak, hingga ekspektasi yang berlebihan, semua menjadi faktor yang menempatkan profesi ini di posisi sulit. Meski begitu, peran guru tidak pernah tergantikan karena mereka bukan hanya pengajar, melainkan pembentuk masa depan bangsa.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Hella Pristiwa
EditorHella Pristiwa
Follow Us

Latest in Opinion

See More

Mengapa Guru Selalu Dipandang Sebelah Mata Padahal Sosoknya Berjasa?

09 Sep 2025, 12:01 WIBOpinion
Bendera Merah Putih.png

Rasa Itu...

11 Agu 2025, 15:01 WIBOpinion