Ironi Masa Depan Inilah yang Aku Takuti Jika Terjadi Dalam Kehidupanku Kelak

Artikel ini merupakan artikel peserta kompetisi menulis #WorthyStory yang diadakan oleh IDNtimes.com. Kalau kamu juga ingin tulisanmu dibaca jutaan orang, yuk ikutan kompetisi menulis #WorthyStory sekarang juga. Informasi lebih lengkapnya, kamu bisa cek di sini.

Bagaimana mesti menyikapi masa depan? Sebagian orang percaya, masa depan itu merupakan bagian dari misteri kehidupan. Lain halnya pendapat dari sebagian motivator. Menurut beliau, masa depan bisa direncanakan dan diatur dari sekarang. Tapi aku tidak mengikuti kedua pendapat tersebut. Bagiku, masa depan adalah fase yang paling mengerikan dari keseluruhan kisah hidup manusia.
Bagaimana tidak, masa depan merupakan suatu masa yang sama sekali berbeda ruang dan waktu dengan kehidupan kita hari ini. Sementara sudah bagian dari sifat manusia untuk mengira segala kemungkinan-kemungkinan peristiwa yang dilalui di hari depan.
Melihat situasi Indonesia belakangan ini, patutlah kiranya kita mawas diri dan khawatir terhadap hal-hal yang akan dihadapi itu. Sebuah bangsa yang menilai sejarahnya saja masih ke kanak-kanakan, apakah mampu menjamin hari depan yang baik bagi masyarakatnya?
Dari pada berkeluh kesah berlama-lama, sebaiknya dihaturkan saja kepada pembaca apa saja hal-hal yang menakutkan bagiku yang bersangkut dengan masa depan itu.
Perihal mencari pekerjaan yang tak pernah bisa lepas dari stereotip.

Sampai saat ini aku masih terdaftar sebagai mahasiswa semester 14 di salah satu perguruan tinggi di Padang. Mengenai Pekerjaan sesungguhnya tak patutlah dirisaukan. Di kampung, aku memiliki lahan yang bisa ditanami apapun yang bisa tumbuh dan menghasilkan keuntungan ekonomis. Namun, standar pekerjaan menurut masyarakat di kampungku tidak demikian, apalagi buat pemuda lulusan universitas.
Mereka memiliki semacam stereotip bahwa sarjana harus bekerja di kantor dan berbaju kerah putih. Tentu saja ini menakutkan, sebab pilihan yang tersedia yang sesuai dengan standar itu adalah menjadi PNS, BUMN, atau Perusahaan swasta nasional yang cukup menjanjikan. Sementara untuk masuk kesana butuh berjibaku dengan sekian rabu calon pelamar lain.
Hanya keajaiban sajalah kiranya yang bisa lolos kedalam pekerjaan yang seleksinya ketat stadium empat itu. Di samping itu, aku sedang berusaha melakoni hidup sebagai penulis partikelir yang cukup tertarik dengan dunia literatur.
Menurut kewarasan masyarakat di tempat aku bernaung, bahkan mungkin di Indonesia, menjadi penulis belumlah dianggap sebagai pekerjaan. Sebatas keisengan mengisi waktu luang saja. Itulah salah satu ironi dari sekian juta ironi lain yang harus dihadapi oleh segenap masyarakat Indonesia.
Pernikahan begitu mengerikan ketika keturunanku nanti harus tumbuh di tengah masyarakat berkacamata kuda.

Menikah disaat kita masih berada dalam susunan masyarakat yang masih doyan menghakimi merupakan ketakutan tersendiri. Sebab, siapa yang bisa menjamin bagaimana watak dari manusia kecil yang akan dilahirkan dari pernikahan itu nantinya.
Boleh jadi si anak tersebut besar dengan prinsip hidup yang moderat, sementara lingkungan tempatnya bertumbuh penuh dengan orang-orang yang berkacamata kuda. Bisa jadi bulan-bulanan warga sekitar sianak itu nanti.
Diriku pernah curhat tentang perkara ini kepada facebook pada 24 Februari silam. Berikut isi curhatan itu: “Jika cuaca tak lagi secerah biasanya, hindarkanlah untuk pulang larut malam. Basah kuyup kau nanti. Abad XXI adalah medan perang. semua orang merasa terpanggil untuk berlaga dan berperkara.
Jika amunisi belum lagi cukup, menepi-nepilah dahulu. pilih lah ruang-ruang sunyi dimana lingkungan menerimamu sebagai manusia. sebab kepantasan dan ke-takpantasan tidak lagi dinilai dari seberapa kuat keinginan kita untuk tetap menjadi manusia, tetapi atas praduga-praduga tak berdasar yang barangkali belum dipahami betul apa yang terkandung didalamnya”
Semua orang takut dengan hari di mana ajal menjemput. Tak terkecuali diriku.

Tak perlu berleha-leha untuk menjelaskan yang satu ini. Baik artis, akademisi, ulama, maupun tukang cendol yang mau naik haji, semuanya takut jika berhubungan dengan kematian.
Tapi tunggu dulu, ternyata ada sekumpulan orang yang menganggap kematian tidak untuk ditakuti. Diantaranya filsuf Yunani, Epicuros. Katanya, “Kematian itu tidak perlu ditakuti, sebab jika kamu masih merasa takut, berarti kamu masih hidup”.
Oh iya ada satu lagi, yaitu sekelompok penyair yang beranggapan bahwa bunuh diri adalah akhir dari segala puisi.