Ketika Kekerasan Seksual Tetap Terjadi Meski Sudah 'Speak Up'

Saat ini banyak perempuan korban kekerasan seksual yang berani membuka suaranya untuk membela diri. Hal ini tentu berbeda dibanding beberapa tahun lalu ketika banyak korban kekerasan seksual memilih untuk bungkam. Meskipun demikian, eskalasi ini nyatanya tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap tingkat kekerasan seksual di Indonesia, karena kasus tersebut masih banyak terjadi setiap tahun.
Data CATAHU 2021 Komnas Perempuan menyatakan bahwa kasus kekerasan seksual dalam ranah personal/privat secara konstan masih menjadi terbanyak kedua yang diadukan setelah kasus kekerasan fisik, yakni sebanyak 1.938 kasus. Adapun jenis kekerasan seksual yang berada di peringkat atas ialah pencabulan yakni sebanyak 412 kasus, disusul oleh KBGS (Kekerasan Berbasis Gender Siber) sebanyak 329 kasus. Kemudian, kasus lain seperti pemerkosaan di luar perkawinan berada di peringkat empat yakni sebanyak 309 kasus. Data tersebut membuat kita menyadari bahwa di samping keberanian para penyintas untuk speak up, faktanya perempuan masih rawan menjadi korban kekerasan, dan masih minim mendapatkan perlindungan di dunia maya.
Sementara itu, kasus kekerasan seksual yang tidak tercatat disebabkan oleh berbagai macam hal, seperti karena jumlah ketersediaan lembaga pelayanan di suatu daerah, maupun karena korban merasa malu untuk bercerita. Perspektif lingkungan sekitar dan respons pihak berwenang berkuasa dalam membentuk perasaan “malu” si korban. Kenyataan inilah yang membuat korban kekerasan seksual akhirnya memilih untuk bungkam, atau menyerah lebih dulu sebelum kasus ditangani secara ekstensif.
Tak ayal, banyak dari masyarakat justru menyalahkan perempuan korban kekerasan seksual karena menggunakan pakaian yang dapat mengundang hasrat laki-laki, atau menyalahkan mereka karena ketidakpandaian dalam hal bela diri. Anggapan tersebut tanpa frontal mengenyampingkan korban kekerasan seksual yang dialami oleh penyandang intellectual disability dengan keistimewaan berpikir dan berperilaku mereka. Bisakah kita juga menyalahkan seorang berkebutuhan khusus yang menjadi korban kekerasan seksual karena mereka tidak menggunakan pakaian “layak”? Tentunya hal tersebut menjadi sangat elusif.