Kita Masih Saling Menghujat, Kemana Bhinneka Tunggal Ika?

"Berbeda-beda tapi tetap satu jua."
Sebuah ungkapan indah yang dipegang teguh oleh pemerintah negara dan rakyat Indonesia. Harusnya seperti itu, tapi hal tersebut tidak selamanya terjadi di negara tercinta, Indonesia. Masalah SARA masih jadi perdebatan, perbedaan masih jadi momok dan kesatuan masih dianggap meragukan.
71 tahun Indonesia merdeka dari penjajah, justru kita seperti belum bisa berhenti berpikiran kalau orang asing itu berbahaya. Bahkan warga-warga Indonesia yang sudah lahir di Indonesia, tapi memiliki suku atau ras berbeda pun dianggap bukan bagian dari negara ini.
Namun, minoritas justru terkadang membangkang dengan terus mengikuti percikan api yang sudah berkobar di sosial media. Menghina agama tertentu atau ras 'pribumi'. Berhentilah, karena tidak ada itu kata pribumi ataupun pendatang.
Komentar-komentar di sosial media.

Memang, dunia internet itu tidak pernah kita duga bisa menjadi bagian besar dalam hidup. Semua orang dengan topeng akun Facebook atau Twitternya memberikan komentar atas kemauan dan dasar yang dimilikinya sendiri.
Bagaimana sebuah video di sosial media begitu cepat tersebar dan dapat dipotong dengan mudah kemudian diunggah sudah memperbesar gejolak antara dua pihak yang tidak inginkan persatuan. Ya, bukan kita, saya ataupun kamu rasis, tapi orang-orang yang tidak suka akan perbedaan dan kesatuan di Indonesia.
Anehnya, netizen Indonesia sendiri terkadang cepat mengambil keputusan dan tersulut api emosi. Seolah sudah tahu informasi dalam sebuah link yang disebar melalui sosial media.



Tiga contoh sederhana di atas bagaimana bukan hanya yang disebut 'minoritas', tapi juga 'mayoritas' dapat membuat sebuah perpecahan. Mereka itulah orang-orang yang tidak suka dengan kesatuan di atas perbedaan yang dimiliki Indonesia.
Demo besar-besaran terhadap Ahok.

Pada 14 Oktober 2016, demo besar-besaran dilakukan oleh FPI di depan Balai Kota DKI Jakarta. Tuntutannya? Apalagi kalau bukan meminta Ahok turun dan dipenjara karena dianggap menghina Al-Quran. Namun, ada unsur-unsur yang tidak mengenakkan hati ketika sebuah dokumenter karya Deo Mahameru atau mengatasnamakan dirinya, Media Rekam Pictures.
Dokumenter itu diunggah ke Facebook dan YouTubenya.
Deo yang berada di tengah kerumumanan merekam aksi demo besar-besaran yang gak kalah dengan masa konser di Indonesia. Dengan berseragam putih bagi FPI dan hitam untuk Front Betawi Rembug (FBR) mereka berbondong-bondong menyanyikan yel-yel serta meneriakkan aspirasi yang ingin Ahok dari jabatannya.
Lebih parahnya, ada ancaman pembunuhan di dalamnya. Habib Rizieq sendiri secara terang-terangan mengeluarkan ancaman tersebut.
Kami minta polisi menangkap Ahok, kalau tidak kami bunuh

Secara singkat, hal tersebut adalah pelanggaran pasal 336 ayat 2 KUHP yakni pengancaman di muka umum dengan tulisan yang mana pelakunya akan dipenjara dua tahun delapan bulan.
Dua kasus di atas atas segelintir masalah yang kita hadapi sebagai bangsa dengan keberagaman yang tinggi. Kita gak bisa menyalahkan mereka sepenuhnya atas kata-kata mereka. Namun, justru sebuah ironi yang harus kita sadari kalau keberagaman ini gak sepenuhnya memperkuat kita. Tetap ada orang-orang yang tidak suka atas kesatuan kita.
Orang-orang seperti itu yang harusnya dihentikan gerak-geriknya. Orang-orang seperti itu yang sebenarnya jadi benalu dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Mengutip Presiden ke-39 Amerika Serikat, Jimmy Carter.
(Perbedaan membuat) Kita tidak mudah pecah, justru kita akan terlihat sebagai mosaik yang indah. Orang-orang dengan sifat yang berbeda, yang punya kepercayaan masing-masing, beragam keinginan, berbagai harapan serta cita-cita yang unik.
Bhinneka Tunggal Ika itu selalu ada, suka atau tidak. Karena kita terlahir dan besar bukan sebagai kafir, tionghoa atau pribumi. Karena kita terlahir sebagai warga negara Republik Indonesia.