Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Lebaran 2025: Ketika Rindu Bertemu Kenangan di Kampung Halaman

ilustrasi mudik (unsplash.com/kit)
ilustrasi mudik (unsplash.com/kit)

Ramadan 2025 bagi saya menjadi salah satu momen yang paling berkesan. Pada tahun ini, akhirnya bisa pulang ke Lampung setelah empat tahun tidak menginjakkan kaki di tanah kelahiran.

Gak cuma itu, tahun ini juga untuk pertama kalinya bisa pulang kampung menggandeng anak dan istri. Baru kesampaian setelah empat tahun menikah dan anak sudah hampir tiga tahun.

Selain pulang kampung untuk bertemu orangtua, kakak, dan adik-adik, momen ini juga saya manfaatkan buat merawat memori tentang Ramadan yang saya alami di kota ini pada masa kecil dulu.

1. Wangi takjil dan wajah yang masih menggugah ingatan

Bisa membawa istri dan anak ke rumah masa kecil mungkin jadi sebuah kebanggaan tersendiri. Tapi bukan cuma itu saja yang ingin dilakukan bersama mereka di sini. Ada berbagai tujuan, salah satunya adalah memperkenalkan mereka dengan kenangan masa kecil yang saya habiskan di Lampung dulu. Khususnya yang terjadi saat Ramadan.

Selama di sini, saya mengajak mereka ke Pasar Way Halim, tempat paling favorit untuk berburu takjil menjelang buka puasa. Dulu, ayah dan ibu sering mengajak saya pergi ke tempat tersebut untuk sekadar beli gorengan atau berbagai makanan lain buat berbuka. Tak lupa es cincau dan jenang yang selalu jadi hidangan favorit.

Ketika berkunjung, kami bertemu dengan salah satu pedagang lupis yang selalu jadi langganan keluarga. Tak disangka, bapak paruh baya, yang bahkan saya gak ingat namanya karena saat itu masih kecil, masih ingat dengan keluarga kami. Bapak itu cukup kaget karena saya saat ini sudah menikah. Padahal ketika ia membuka kembali ingatannya, yang muncul adalah saya versi masih kecil. Tentu saja karena itu sudah puluhan tahun lalu.

Kunjungan ke Pasar Way Halim ini niatnya sederhana, namun tak disangka mampu membuka kenangan sebegitunya.

2. Masjid yang sama, pribadi yang lebih sempurna

Waktu kecil dulu, saya bisa dibilang jarang absen ke masjid untuk salat tarawih. Momen salat tarawih, yang mungkin bagi sebagian orang bikin mager (malas gerak), tapi bagi saya justru penyemangat, karena selalu pergi ke masjid bareng teman-teman komplek.

Ya, walaupun terkadang di masjid lebih banyak bermain dan bercandanya daripada fokus ibadah, tapi semoga saja bisa dimaklumi.

Kali ini, saya kembali ke masjid yang sama tempat saya biasa salat tarawih dulu. Tak lupa menggandeng anak dan istri berjalan ke masjid yang berjarak sekitar 200 meter dari rumah.

Alhamdulillah tarawih saat ini bisa lebih fokus ibadah, karena walaupun masih bertemu teman-teman komplek, gak mungkin banyak main-main di masjid seperti waktu kecil dulu, kan?

3. Meja makan yang masih hangat

Bagian terbaik dari rumah masa kecil saya adalah ruang makan. Khususnya pada momen Ramadan, seluruh anggota keluarga akan berkumpul di meja makan pada waktu berbuka untuk menikmati setiap takjil yang dihidangkan.

Pokoknya harus makan dan minum di meja makan sampai selesai. Tidak ada yang boleh berbuka puasa di depan TV, apalagi di kamar masing-masing!

Meskipun sudah lewat puluhan tahun, kehangatan di ruang makan saat Ramadan masih terus menyala. Tahun ini saat kami berkumpul kembali, ibunda masih menyuguhkan takjil yang sudah kami favoritkan selama bertahun-tahun: bubur sumsum dan kolak pisang.

Meskipun sudah menikah dan memiliki anak, berbuka puasa di rumah orangtua itu tetap hangat dan dirindukan.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Triadanti N
EditorTriadanti N
Follow Us