Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

[OPINI] Mampukah Kampus Menangkal Kekerasan Seksual?

Ilustrasi kekerasan seksual terhadap perempuan (IDN Times/Arief Rahmat)

Kekerasan seksual bisa terjadi dimana saja dan kapan saja, tak terkecuali di lingkungan kampus. Kampus yang seharusnya menjadi tempat paling aman untuk mahasiswa mahasiswi yang sedang menuntut ilmu dan memberikan kontribusinya di dunia akademis justru menjadi salah satu tempat maraknya aksi kekerasan seksual.

Ironisnya, kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan kampus kebanyakan korbannya adalah perempuan dan pelakunya adalah dari civitas akademik kampus itu sendiri. Rata-rata korban kekerasan seksual atau para penyintas kekerasan seksual di kampus tidak berani melaporkan ke pihak berwenang untuk menangani permasalahan ini. Karena tidak jarang korban dan para penyintas kekerasan seksual di kampus justru mendapatkan perlakuan negatif dari warga kampus tersebut, bahkan dibungkam untuk bersuara. Tidak jarang pula korban kekerasan seksual tidak berani untuk berbicara karena takut dikeluarkan dari kampus karena dianggap sebagai "aib" oleh kampus tersebut.

Di samping hal tersebut, korban kekerasan seksual tidak berani bersuara karena belum adanya aturan yang mengikat mengenai pencegahan kekerasan seksual khusunya di lingkungan kampus. Aturan terbaru mengenai pencegahan kekerasan seksual di lingkungan kampus yaitu Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 dirasa belum bisa mengatur dan mencegah terjadinya kekerasan seksual di lingkungan kampus.

Banyak pihak menilai peraturan menteri ini justru akan melegalkan "seks bebas" di lingkungan kampus. Bukannya mengatur bagaimana pencegahan dari kekerasan seksual itu sendiri, justru lebih ke melegalkan "seks bebas" dan memicu perilaku seks yang dilarang dalam ajaran Islam.

Di sisi lain, pihak yang mendukung adanya Permendikbudristek ini menjelaskan bahwa peraturan menteri  ini adalah salah satu jaring pengaman untuk menciptakan lingkungan kampus yang aman dari penindasan berbasis gender, bukan melegalkan "zina" seperti tuduhan banyak orang. Adanya peraturan menteri ini juga menjadi salah satu payung hukum dari kampus dalam melaksanakan kegiatannya dalam rangka pencegahan kekerasan seksual di lingkungan kampus. Peraturan menteri ini juga menjadi salah satu instrumen dari upaya mencegah kekerasan seksual di kampus.

Instrumen hukum ini cukup penting mengingat banyaknya korban kekerasan seksual yang bersuara, justru disalahkan dan dibungkam. Lebih parah lagi, kampus yang seharusnya memberikan perlindungan dan pemulihan korban kekerasan seksual seringkali menjadi aktor utama dalam hal perlindungan terhadap pelaku kekerasan seksual tersebut. Hal inilah yang menjadi catatan bahwa seringkali kampus justru melindungi pelaku kekerasan seksual bukan korban kekerasan seksual itu sendiri. Aturan yang berlaku adil inilah yang harus dibuat oleh setiap kampus supaya korban dan para penyintas kekerasan seksual di lingkungan kampus mendapatkan keadilan sekaligus sebagai pemulihan nama baik dari korban kekerasan seksual tersebut. 

Memang kalau membicarakan data, tidak ada data yang akurat mengenai berapa jumlah kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan kampus. Namun, sudah semsetinya kita sebagai civitas akademik yang selalu berkata dan bertindak berbasiskan akademik sudah sepatutnya untuk membuat instrumen hukum dari pencegahan kekerasan seksual ini. Mengingat yang menjadi korban sudah cukup banyak dan memang perlu adanya instrumen hukum untuk pencegahan kekerasan seksual ini. Supaya label "kampus merdeka" yang sudah disandang oleh kebanyakan kampus di Indonesia tidak hanya merdeka dalam belajarnya, namun merdeka juga dari kekerasan seksual. 

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Anggy Saputro
EditorAnggy Saputro
Follow Us