[OPINI] Melihat Ketidaksempurnaan Sosok Ayah dalam Kartun

Selama ini kita melihat penggambaran laki-laki selalu identik dengan ‘kuat’. Sebagai contoh, seluruh ranger merah (sejak era cikgu Jasmin hingga era cikgu Melati) tetap disandang laki-laki. Penggambaran ini secara tidak langsung membuat laki-laki merasa lebih powerful dibanding perempuan. Atau justru sebaliknya, membuat perempuan merasa lebih lemah daripada laki-laki. Namun, belakangan penggambaran perempuan kuat banyak bermunculan ke permukaan. Hal ini bisa kita lihat dalam film Raya and The Last Dragon dan Moana. Dalam dua film tersebut, kita bisa melihat karakter utama perempuan yang punya andil dalam menyelamatkan dunia.
Dari beberapa visualisasi yang pernah saya temui, sosok ayah biasanya diidentikkan dengan kepribadian yang tegas dan kurang mampu mengungkapkan rasa cinta melalui ucapan. Sosok ayah biasanya ditampilkan lebih mampu mengungkapkan cinta melalui perbuatannya. Tapi tetap saja, penggambaran adalah satu cerita dan realita adalah cerita lainnya. Di kehidupan nyata, sosok ayah biasanya dituntut secara tidak langsung untuk mampu melakukan banyak hal. Mulai dari mencari nafkah hingga mendengarkan curahan hati istri yang tengah gelisah; mulai dari benerin lampu mati hingga nahan sabar saat ngelihat istri lebih banyak memuji-muji member BTS yang bernama V. Hal ini membuat sosok ayah seolah harus serba bisa dalam keadaan apa pun, di mana pun, kapan pun.
Perkara yang membuat posisi ayah kian berat, menurut saya, adalah tidak adanya acara semacam ‘Curahan Hati Istri’. Mengapa sih kok yang ada cuma tentang istri? Padahal sosok suami/ayah juga manusia biasa yang punya perasaan dan butuh diutarakan meski itu diwakilkan. Akhirnya keresahan ini terjawab ketika saya ikut nonton kartun bareng adik saya. Memang sih nggak ada curhatan seorang suami laki-laki (ayah) dalam kartun tersebut. Namun, visualisasi karakter dari sosok ayah yang tak sempurna dalam kartun tersebut menjadi titik jawaban atas keresahan saya.
Kartun pertama berjudul Baby Shark’s Big Show. Dari judulnya saja kita sudah bisa menebak seperti apa soundtrack dari kartun ini. Kartun Baby Shark menceritakan kehidupan sehari-hari hiu kecil kuning yang masyhur dipanggil “Baby” bersama teman dan keluarganya. Berbeda dengan Spongebob yang hidup jauh dari orang tuanya, Baby Shark diceritakan masih tinggal bersama ayah, ibu, lengkap dengan kakek dan neneknya. Slogan andalan Baby Shark yakni, “Kekuatan Hiu!”, yang dalam beberapa momen memang membuat dirinya punya kekuatan lebih. Hal yang menarik perhatian saya dari kartun ini adalah penggambaran sosok ayah Baby Shark.
Mengingat ini adalah tayangan untuk anak-anak, sudah tentu keluarga Baby Shark tidak ditampilkan sebagai karakter ganas pemakan daging. Sebaliknya, mereka digambarkan dalam wujud karakter yang imut kayak kamu. Nah, penggambaran karakter Daddy Shark sendiri terbilang cukup unik. Daddy Shark diceritakan sebagai hiu yang berprofesi sebagai dokter gigi. Namun, di balik kepintarannya soal gigi, Daddy Shark ternyata kurang menguasai beberapa hal. Saya rasa hal ini merupakan pendekatan yang bagus untuk memberitahu anak-anak bahwa seorang ayah juga memiliki keterbatasan. Tidak semua hal dapat dikerjakan oleh seorang ayah, dan penting bagi anak untuk mengerti hal tersebut.
Kartun berikutnya yang juga menampilkan ketidaksempurnaan sosok ayah adalah The Adventures of Paddington. Kartun satu ini bercerita tentang keseharian seekor beruang bernama Paddington bersama masyarakat sekitar di London. Metode penceritaan yang diambil biasanya di awal tayangan diperlihatkan Paddington tengah menulis surat untuk bibi Lucy yang ada di Peru, kemudian isi surat tersebut ditampilkan dalam bentuk footage, dan di akhir kembali diperlihatkan Paddington yang sedang menulis surat (tetapi kali ini adalah penutupnya). Closing dari Paddington cukup ikonik. Sebelum kartun berakhir, Paddington selalu berucap, “Salam sayang, Paddington!”.
Nah, kaitannya dengan sosok ayah dalam kartun ini, yang dimaksud bukan ayah dari Paddington, melainkan Mr. Brown. Ia adalah kepala keluarga dari keluarga Brown, yang mana Paddington tinggal bersama mereka. Mr. Brown divisualisasikan sebagai sosok ayah yang jauh dari kata sempurna. Ada satu episode yang menjelaskan tentang hal itu. Dalam episode tersebut diceritakan Mr. Brown menghilangkan tiket untuk nonton sirkus. Lebih tepatnya bukan menghilangkan, sih! Tapi lupa tiketnya berada di mana. Mr. Brown kemudian berupaya mencari tiket tersebut. Paddington bersama dua anak Mr. Brown (Judy dan Jonathan) juga ikut membantu mencarinya.
Mereka menelusuri kembali tempat-tempat yang terakhir kali didatangi Mr. Brown. Namun, dalam pencarin tersebut bukan tiket yang mereka temukan. Mereka justru menemukan sisi lain Mr. Brown dari cerita orang-orang yang pernah ia bantu. Hal ini membuat Paddington, Judy, dan Jonathan merasa heran karen Mr. Brown biasanya tak seperti itu. Akhirnya mereka bertiga pun menyadari bahwa Mr. Brown adalah sosok yang selalu berupaya membantu dan membahagiakan orang lain―termasuk mereka bertiga―meski secara kasat mata ia tampak memiliki banyak kekurangan. Yah! Seperti itulah memang seharusnya. Kita mestinya menyadari bahwa seorang ayah juga manusia biasa yang tak sempurna dan kadang salah. Jadi, kita harus bisa memaklumi ketika seorang ayah tidak mampu melakukan satu hal! Bukan malah menuntutnya untuk selalu bisa.