[OPINI] Saat Kios Buku Banyak yang Gulung Tikar

Sungguh miris melihat kios-kios buku banyak yang tutup.
Saya mengetahui hal tersebut, saat saya mencari-cari surat kabar harian untuk tugas kliping anak di sekolah. Pilihan toko buku di kota saya memang tidak banyak. Ada 3 kios buku yang lumayan dapat dijangkau lokasinya dari rumah. Saya pun menuju kios pertama, bisa dibilang hanya lapak saja. Kalau kios mungkin terlalu bagus. Buku yang dijual hanya dua jenis saja, yaitu koran dan majalah yang terbit mingguan dan bulanan. Biasanya, saya suka membeli koran Pikiran Rakyat dan majalah Femina di tempat ini.
Sudah lama, memang saya tidak datang ke tempat ini. Jadi, ketika datang ke sana. Saya, merasa heran, "Kok, tidak jualan, ke mana, ya?" Tukang tambal ban yang ada di sekitar tempat itu, menjawab kegelisahan saya. "Sudah lama, gak jualan, Mbak! bangkrut." Kalimat itu saya dengar dari ketiga kios buku yang saya datangi. Hati saya terasa sakit, entah kenapa sedih saja mendengar kabar tersebut.
Bukan hanya ikut empati kepada bapak si pemilik kios yang sekarang tidak bisa lagi mencari nafkah dari menjual buku. Namun, ada yang lebih dalam dari hal itu yang membuat hati saya teriris. Yaitu, sebuah kesadaran yang begitu menggelitik hati, bahwa ya ada berbagai faktor yang menyebabkan banyak kios buku bangkrut saat pandemi sekarang ini.
Dari mulai kondisi perekonomian yang belum stabil, hingga menyebabkan daya beli masyarakat sangat rendah. Ya, wajar sih di zaman ini, jangankan untuk membeli buku, nota bene termasuk urutan kebutuhan nomor sekian. Untuk sekadar bisa makan hingga kenyang saja masyarakat sudah bersyukur. Bahkan, mungkin kalau tidak ada tugas dari sekolah, saya juga belum tentu akan mencari surat kabar. Toh, informasi sekarang bisa didapat dengan mudah secara online.
Dengan sistem informasi berbasis online. Mau tahu tentang masalah apa saja, saat ini mudah saja. Tinggal klik dan pencat-pencet andorid. Dapat tuh semua informasi, praktis, mudah, dan cepat. Bisa dikerjakan sambil tiduran. Digitalisasi di semua lini, memang menjadi sebuah keniscayaan. Hingga pada media informasi berbentuk buku. Malah sudah lebih awal melalui proses digitalisasi.
Selain itu, tidak dapat dipungkiri. Bahwa dari dulu juga tingkat literasi masyarakat kita memang sangat rendah. Menurut data UNESCO, minat baca masyarakat Indonesia hanya 0,001 persen itu artinya adalah bahwa dari 1000 orang Indonesia, hanya 1 orang yang rajin membaca. Sungguh memprihatinkan, ya.
Berbanding terbalik dengan hasil riset Semiocast, sebuah lembaga independen di Paris, mengungkap bahwa masyarakat Indonesia bisa menatap layar gadget selama 9 jam dalam satu hari. Meski tidak suka membaca, namun dalam hal kecerewetan di media sosial, Indonesia menduduki urutan ke-5 dunia. Wow, menakjubkan, ya.
Itu, karena hampir 60 juta penduduk Indonesia memiliki gadget. Indonesia adalah pengguna aktif gadget terbesar keempat di dunia, setelah China, India, dan Amerika Serikat.
Nah, ada benang merah yang dapat kita tarik dari masalah antara gulung tikar-nya kios buku, tingkat literasi yang rendah dengan jumlah kepemilikan gadget pada masyarakat.
Nah, pemerintah seharusnya dapat menangkap peluang tersebut. Bagaimana cara meningkatkan minat baca masyarakat melalui gadget yang setiap hari masyarakat pandangi layarnya.
Mungkinkah bila ada produk layanan berupa e-book yang dapat diakses secara gratis oleh masyarakat. Tentu saja buku-buku yang bersifat life hack, motivasi, fiksi, dan etika. Agar masyarakat dapat bertambah pengetahuan. Walau hanya melalui gadget.