Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Pertanyaan Kapan Nikah adalah Santapan Utama saat Lebaran

ilustrasi kebersamaan keluarga (pexels.com/Tima Miroshnichenko)

Menjelang Hari Raya Idul Fitri, orang-orang sibuk menyusun strategi untuk menjawab pertanyaan "Kapan menikah?" yang sudah dapat dipastikan selalu ada. Pertanyaan "Kapan menikah" saya rasa seperti sebuah hidangan utama yang selalu disajikan saat Lebaran. Menu ini populer berkat eksistensinya yang tak pernah hilang dari tahun ke tahun.

Saya termasuk orang yang mulai dibombardir dengan pertanyaan tersebut. Mengingat sepupu-sepupu sudah mulai menikah, ditambah usia saya dinilai sudah oke lah untuk membangun rumah tangga.

Ya, saya bukan lagi berada di fase ditanya hanya untuk basa-basi, saya sudah dihujani dengan anak pertanyaan. Tapi gak perlu khawatir, saya cukup mahir soal itu.

Berdasarkan pengalaman saya, "Kapan menikah" adalah jenis pertanyaan yang akan berkembang sesuai dengan kondisi usia. Tujuannya agar tetap relevan bagi penerima pertanyaan.

Merujuk pada pengalaman saya, saat usia awal 20an, pertanyaan itu cuma dilontarkan sekadar basa-basi, selagi antri ambil opor, misalnya. Jawabannya gak penting, selama bisa membunuh kekosongan saja. 

Kalau sudah mulai memasuki pertengahan 20an (sekitar usia 25), pertanyaan tersebut jadi lebih punya makna. Saya suka jawab "Nanti habis sepupu yang itu." Lalu hanya dibalas, "Wah nikah kok tunggu-tungguan," lalu sudah, percakapan selesai. Mungkin semacam cek ombak saja, mau tahu sudah ada orientasi ke sana atau belum.

Namun, yang paling mengkhawatirkan adalah menjelang usia 30an. Pertanyaannya jadi lebih intens, bercabang, dan menuntut aksi-reaksi yang lebih besar. 

Kalau dalam kasus saya, senyuman atau selentingan humor tak akan memuaskan pihak penanya. Jika bude atau om tanya "Kapan menikah?" secara default saya hanya akan balas dengan senyuman.

Tentu ini bukan jawaban yang diharapkan, maka akan kembali ditimpali, "Tapi sudah ada calonnya kan?" atau "Udah ada pacar?". Paling aman dijawab, "Doakan saja."

Masih belum puas,  pertanyaan dilanjutkan dengan "Apa sih yang jadi pertimbangan? Mau menunggu apa lagi?" Saya jawab dengan tertawa. Di usia ini, saya sudah cukup terbiasa untuk pura-pura menganggap suatu kekikukan sebagai humor yang lucu. 

Setelah pertanyaan itu, pilihannya hanya ada dua, percakapan selesai lalu mengalihkan topik, atau dilanjutkan dengan pertanyaan berikutnya. Nah ini yang tadi sudah sempat saya singgung, memerlukan aksi dan reaksi yang lebih konkret. Sebab, biasanya suka ditanggapi, "Om/bude carikan calonnya ya?" Nah kalau sudah sampai di titik ini, tawa saya hanya semakin kencang. 

Tapi saya gak ambil pusing. Saya pikir, pertanyaan "Kapan menikah" itu jadi cara orang tua menunjukan kepeduliannya. Toh, keluarga akan jadi pihak yang banyak membantu saya menikah kelak, dari segi waktu, tenaga, mungkin materi, hingga dukungan moral. 

Ada momen yang mengubah pandangan saya terkait hal ini. Suatu hari saya curi dengar kalau bude dan om sedang berdiskusi tentang satu anggota keluarga yang hendak menikah. Mereka membahas soal biaya, urusan setelah pesta pernikahan, dan lain-lain yang tak pernah saya pikirkan ternyata menjadi concern juga.

Dari situ saya jadi paham bahwa ketika dapat pertanyaan "Kapan menikah?" mungkin bude-bude dan om-om itu bukan bermaksud kepo. Mungkin saja memang pernikahan kita (barangkali) perlu dibantu sehingga mereka hendak mempersiapkannya.

Tanpa mengurangi rasa hormat kepada rekan-rekan yang sebal dengan pertanyaan tersebut, saya harus akui kalau saya orang yang santai dan gak ambil pusing terkait hal itu. Bagi saya, menikah bukan hanya tentang diri saya dan pasangan saya kelak, namun ada andil keluarga dan keterlibatan mereka. 

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Pinka Wima
Dina Fadillah Salma
Pinka Wima
EditorPinka Wima
Follow Us