Sahur dan Butter Cookies Buatan Ibu

Jakrata, IDN Times - Aroma mentega wisman dalam panggangan menguar dari dapur, membawa hawa hangat pada dini hari. Suhu sebelum matahari terbit di Bandung awal 90-an, cukup untuk membuat telapak tangan dan kaki beku.
Di luar, ada halimun. Di jendela, bintik embun. Tapi, aroma hangat itu cukup untuk membuat saya bangkit dari kasur dan turun.
Saya bukan orang pagi. Terjaga dini hari selalu terasa luar biasa. Bangun sahur pada Ramadan pada era itu, terasa lebih luar biasa lagi. Saat-saat itu, menjadi momen yang saya nantikan.
Lagi-lagi, saya jatuh hati pada aroma mentega ini. Kata ibu, mentega wisman adalah kualitas terbaik. Harganya mahal, beda dengan mentega biasa. Maka hanya untuk momen-momen terbaik dia menggunakannya.
Pada era itu, rumah kami di flat. Aroma sedap dari dapur bisa menguar ke seluruh penjuru rumah yang sempit, termasuk kamar tanpa pintu dan ruang tanpa sekat.
Loyang-loyang kue kering sudah menanti selepas sahur. Saya memangku baskom adonan dan cetakan di atas kasur. Loyang sudah tergolek di samping batal dan guling. Aluminium 30x40 cm yang sudah teroles margarin dan bertabur terigu tipis, siap menerima barisan adonan kue kering.
Saya mengerjakannya dengan cermat karena kantuk sudah hilang. Sesekali tangan menggapai remote control TV, memastikan film seri kisah nabi untuk menemani. Saya mengatur setelan volume suara TV agar pas dengan suasana rumah yang lengang. Lalu, kembali ke cetakan kue berbentuk bulan sabit.

Dua loyang butter cookies bulan sabit sudah masuk panggangan. 'Oven tangkring' tak bermerek milik ibu yang didudukkan di atas api biru. Para sabit akan matang di dalam sana hingga kuning kecoklatan. Sebelum mandi gula halus nantinya menjadi kue putri salju.
Ibu mengatur semua, beberapa kali memutar posisi loyang demi panas yang merata. Dia bilang, setelan api, lama pemanggangan, dan letak loyang akan berpengaruh pada hasil akhir kue-kue kami.
Kemarin, kue kacang dan nastar sudah jadi lebih dulu. Hari ini, kue putri salju. Besok, kue keju. Minimal, ada tujuh jenis kue setiap musim Ramadan di rumah kami. Bahkan, pernah lebih dari sepuluh, tergantung kondisi ekonomi.
"Kue kenari kita buat paling akhir supaya bisa paling awet sampai sampai Lebaran," ujar Ibu bersemangat, seolah menghadiahi saya dengan bonus.
Dia selalu tahu kenari kue favorit saya. Dia juga sadar betul betapa cepat toples-toples kue kering menjadi kosong karena kami semua penggila kue.
Entah kenapa cuplikan memori ini biasanya yang pertama menyeruak setiap saya mengingat tentang Ramadan. Dinginnya sahur di Bandung dua dekade lampau dan hangatnya butter cookies buatan ibu.