5 Fakta Unik Shibam, Kota Pencakar Langit Tertua dari Lumpur

- Rumah menara lumpur konsep awal kota vertikal Shibam adalah representasi paling awal dari perencanaan kota yang mengadopsi prinsip konstruksi vertikal, menjadikannya salah satu kota pencakar langit tertua di dunia.
- Bata lumpur bahan bangunan yang paling sustainable. Material bangunan Shibam, yang seluruhnya terbuat dari bahan yang rapuh yaitu bata lumpur kering (mud-brick).
- Punya julukan "Manhattan di Padang Pasir". Julukan legendaris "Manhattan di Padang Pasir" bukanlah karangan, melainkan datang dari seorang penjelajah Eropa yang terpukau oleh pemandangan kota ini.
Shibam, julukan "Manhattan di Padang Pasir," memang bukan isapan jempol. Kota kuno yang seluruh bangunannya terbuat dari lumpur ini menyajikan pemandangan yang sureal, seolah waktu berhenti di abad ke-16. Siapa sangka di tengah hamparan gurun Yaman yang panas dan kering, berdiri tegak sebuah kota dengan gedung-gedung pencakar langit yang usianya sudah ratusan tahun?
Kota berbenteng ini menjadi bukti kecerdasan arsitektur tradisional dalam menghadapi kondisi alam dan ancaman sosial. Dengan lebih dari 500 rumah menara yang menjulang, Shibam adalah pelajaran tentang urbanisasi vertikal, adaptasi iklim, dan pertahanan diri, jauh sebelum beton dan baja menjadi primadona. Penasaran dengan kota ini? Mari kita telusuri kenapa kota lumpur ini begitu istimewa dan mampu bertahan berabad-abad.
1. Rumah menara lumpur konsep awal kota vertikal

Shibam adalah representasi paling awal dari perencanaan kota yang mengadopsi prinsip konstruksi vertikal, menjadikannya salah satu kota pencakar langit tertua di dunia. Dilansir laman World Atlas, Shibam bahkan tercatat dalam Guinness World Records sebagai "kota pencakar langit tertua di dunia" karena usianya yang mencapai 1.700 tahun dan pembangunan vertikalnya yang unik.
Alih-alih menyebar ke samping, penduduk membangun rumah menara hingga 11 lantai yang padat dan saling berdekatan. Setiap lantai berfungsi layaknya unit apartemen modern yaitu lantai dasar untuk penyimpanan, lantai atas untuk ternak, dan lantai-lantai teratas untuk area tempat tinggal. Tata ruang vertikal ini sengaja dibuat untuk memaksimalkan penggunaan lahan yang terbatas di atas singkapan batu yang aman dari luapan air sungai.
2. Bata lumpur bahan bangunan yang paling sustainable

Fakta yang paling mencengangkan adalah material bangunan Shibam, yang seluruhnya terbuat dari bahan yang rapuh yaitu bata lumpur kering (mud-brick). Dilansir laman Ancient Origins, bata lumpur ini diproduksi dengan mencampur tanah, jerami, dan air, lalu dikeringkan di bawah sinar matahari, menunjukkan keahlian kuno dalam memanfaatkan sumber daya lokal secara efisien.
Bahan sederhana ini justru sangat fungsional. Dinding lumpur yang tebal berfungsi sebagai isolator termal alami yang sangat baik, menjaga interior rumah tetap sejuk di tengah panasnya gurun yang menyengat. Tentu saja, bangunan ini memerlukan perawatan rutin, di mana dindingnya harus dilapisi lumpur baru secara berkala untuk menahan erosi akibat angin gurun dan guyuran hujan yang datang tiba-tiba.
3. Punya julukan "Manhattan di Padang Pasir"

Julukan legendaris "Manhattan di Padang Pasir" bukanlah karangan, melainkan datang dari seorang penjelajah Eropa yang terpukau oleh pemandangan kota ini. Dilansir laman Pilot Guides, julukan tersebut pertama kali dicetuskan oleh penjelajah Inggris, Freya Stark, pada tahun 1930-an, setelah ia melihat skyline yang menjulang tinggi di tengah gurun.
Ketinggian menara, yang mencapai 30 meter, menciptakan pemandangan yang menyaingi kota-kota modern yang baru berkembang saat itu. Kepadatan dan bentuk kotak-kotak bangunan yang menjulang secara tiba-tiba di tengah dataran datar membuat kota ini secara visual mirip dengan susunan gedung pencakar langit.
Tak heran jika bangunan-bangunan itu juga menjadi simbol status sosial dan politik keluarga pemiliknya, di mana persaingan untuk membangun yang tertinggi adalah hal biasa di abad ke-16.
4. Labirin di jalan sempit adalah strategi pertahanan kota

Tata letak kota Shibam didominasi oleh jalanan yang sangat sempit, berkelok, dan sering kali gelap, menciptakan labirin yang membingungkan bagi orang luar. Tata letak padat ini merupakan respons arsitektur terhadap kebutuhan perlindungan dari serangan, sekaligus solusi adaptasi terhadap keterbatasan lahan.
Jalanan yang sempit dan dinding yang tinggi, serta ketiadaan jendela di lantai dasar, dirancang untuk mencegah dan memperlambat musuh, khususnya suku Badui Arab nomaden yang mencoba menyerbu kota. Selain itu, beberapa rumah menara di lantai atas dihubungkan oleh jembatan kayu, yang memungkinkan penduduk untuk melarikan diri atau bergerak cepat antarbangunan saat terjadi pengepungan darurat.
5. Kota ini rentan ancaman konflik dan cuaca ekstrem

Sayangnya, meski telah bertahan ratusan tahun, nasib Shibam kini berada di ujung tanduk. Kota warisan dunia UNESCO ini menghadapi risiko keruntuhan akibat kerusakan struktural yang dipercepat oleh faktor eksternal. Dilansir laman Al Jazeera, kerusakan ini disebabkan oleh hujan deras dan banjir.
Ditambah lagi, konflik berkepanjangan di Yaman dan kurangnya dana untuk pemeliharaan rutin telah membuat kota ini masuk ke dalam daftar Warisan Dunia dalam Bahaya. Upaya restorasi terus dilakukan, tetapi tantangan mempertahankan mahakarya lumpur ini di tengah kondisi politik yang tidak stabil sangatlah berat, mengancam kelangsungan hidup kota yang menjadi saksi sejarah peradaban.
Itulah lima fakta unik tentang Shibam, kota lumpur dengan arsitektur menara yang menjadi prototipe urbanisasi vertikal. Meski menjadi bukti kehebatan peradaban Yaman dalam menghadapi alam dan ancaman musuh, kini keberadaannya terdesak konflik dan perubahan iklim. Melihat ketangguhannya selama berabad-abad dengan lumpur dan kayu, menurut kamu apakah Shibam masih bisa bertahan menghadapi tantangan modern?