Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

5 Alasan Mengapa Perawan Tua Dulu Menjadi Isu Besar di Inggris

Ilustrasi perempuan tahun 1800-an di Inggris (pexels.com/cottonbro studio)
Ilustrasi perempuan tahun 1800-an di Inggris (pexels.com/cottonbro studio)

Di masa lalu, terutama di Inggris pada abad ke-19 dan awal abad ke-20, status "perawan tua" sering dianggap sebagai isu yang cukup besar. Hal ini tidak hanya berkaitan dengan aspek pribadi seseorang, tetapi juga dipandang sebagai masalah sosial yang membawa stigma tertentu.

Di masyarakat saat itu, menikah di usia muda dianggap sangat penting, dan seorang wanita yang tidak menikah hingga usia lanjut bisa dipandang berbeda. Fenomena ini memunculkan berbagai persepsi negatif, yang sering kali berkaitan dengan pandangan tradisional tentang peran wanita dalam keluarga dan masyarakat.

Penasaran mengapa hal ini begitu kontroversial? Yuk, simak lima alasan mengapa status "perawan tua" dulu menjadi topik yang begitu diperbincangkan di Inggris.

1. Norma sosial yang sangat ketat

Ilustrasi perempuan tahun 1800-an di Inggris (pexels.com/cottonbro studio)
Ilustrasi perempuan tahun 1800-an di Inggris (pexels.com/cottonbro studio)

Pada abad ke-19, khususnya di Inggris, perempuan diharapkan menikah pada usia 18 hingga 25 tahun. Jika seorang perempuan belum menikah hingga melewati usia 27 atau 30 tahun, ia kerap diberi label "perawan tua" (spinster), sebuah istilah yang membawa stigma sosial yang cukup besar.

Pada masa itu, tekanan untuk menikah sangat kuat karena pernikahan dianggap sebagai kewajiban sosial dan cara utama bagi perempuan untuk mendapatkan status serta keamanan finansial. Tidak menikah pada usia yang dianggap "tepat" sering kali membuat seorang perempuan dipandang sebagai "gagal" memenuhi perannya dalam masyarakat patriarkal.

2. Peran wanita yang terbatas

Ilustrasi perempuan dan laki-laki tahun 1800-an di Inggris (pexels.com/cottonbro studio)
Ilustrasi perempuan dan laki-laki tahun 1800-an di Inggris (pexels.com/cottonbro studio)

Peran wanita di Inggris sangat terbatas dan terikat pada norma-norma patriarkal yang menempatkan mereka di ranah domestik. Perempuan diharapkan menjalankan tugas sebagai istri dan ibu, sementara kesempatan untuk mengejar pendidikan tinggi atau karier hampir tidak ada.

Sehingga wanita yang tetap lajang dianggap tidak memenuhi ekspektasi masyarakat. Pembatasan ini membuat perempuan yang belum menikah kerap dipandang rendah, karena keberhasilan mereka hanya diukur dari status pernikahan dan kemampuan menjalankan tugas rumah tangga.

3. Keterbatasan ekonomi dan kemandirian

Ilustrasi perempuan tahun 1800-an di Inggris (pexels.com/cottonbro studio)
Ilustrasi perempuan tahun 1800-an di Inggris (pexels.com/cottonbro studio)

Keterbatasan ekonomi menjadi salah satu faktor utama yang membuat status "perawan tua" menjadi isu besar di Inggris. Perempuan pada masa itu jarang memiliki akses terhadap kekayaan atau sumber penghasilan mandiri, karena harta keluarga biasanya diwariskan kepada anak laki-laki. Sementara itu, menikah sering kali dianggap sebagai cara perempuan untuk memperoleh keamanan finansial.

Wanita lajang yang tidak memiliki suami sering kali menghadapi kesulitan ekonomi dan bergantung pada keluarga atau pekerjaan dengan upah rendah, seperti menjadi pengasuh atau penjahit. Kurangnya kesempatan untuk mandiri secara ekonomi membuat stigma terhadap perempuan lajang semakin kuat, karena mereka dianggap sebagai beban daripada individu yang berdaya.

4. Isolasi sosial

Ilustrasi perempuan tahun 1800-an di Inggris (pexels.com/cottonbro studio)
Ilustrasi perempuan tahun 1800-an di Inggris (pexels.com/cottonbro studio)

Isolasi sosial menjadi salah satu konsekuensi terbesar yang dihadapi wanita lajang pada abad ke-19 di Inggris. Masyarakat pada masa itu sangat mengagungkan pernikahan sebagai norma, sehingga perempuan yang belum menikah sering kali dianggap "tidak lengkap" atau bahkan dihindari dalam pergaulan.

Mereka jarang diundang ke acara-acara sosial yang biasanya berpusat pada keluarga atau pasangan suami-istri, yang membuat mereka semakin tersisih. Selain itu, tekanan sosial dari keluarga dan lingkungan membuat perempuan lajang kerap merasa malu atau tidak nyaman untuk tampil di ruang publik.

Akibatnya, banyak dari mereka yang hidup dalam keterasingan, tanpa dukungan emosional maupun komunitas yang mendukung.

5. Keterbatasan pilihan dan kesempatan

Ilustrasi perempuan dan laki-laki tahun 1800-an di Inggris (pexels.com/cottonbro studio)
Ilustrasi perempuan dan laki-laki tahun 1800-an di Inggris (pexels.com/cottonbro studio)

Bagi perempuan yang dianggap "perawan tua" pada abad ke-19, keterbatasan dalam memilih pasangan hidup menjadi masalah besar. Seiring bertambahnya usia, kesempatan untuk bertemu dengan pasangan potensial semakin terbatas. Masyarakat pada masa itu memandang perempuan yang belum menikah pada usia 27 tahun ke atas sebagai kurang menarik atau tidak lagi sesuai dengan harapan untuk membangun keluarga.

Banyak perempuan yang pada akhirnya merasa terpaksa menerima pilihan yang tersedia, bahkan jika itu bukan pasangan yang ideal bagi mereka. Hal ini terjadi karena semakin sedikitnya calon suami yang tersedia, serta stigma sosial yang membuat perempuan lajang merasa tertekan untuk segera menikah, meskipun mereka mungkin tidak menemukan pasangan yang cocok.

Isu "perawan tua" mencerminkan betapa kuatnya tekanan sosial terhadap perempuan untuk menikah dan memenuhi peran yang ditetapkan masyarakat. Meskipun zaman telah berubah dan norma sosial semakin longgar, refleksi tentang bagaimana masyarakat memandang status pernikahan perempuan masih relevan hingga kini. 

Menyadari sejarah ini memberi kita pemahaman yang lebih dalam tentang pentingnya memberi ruang bagi perempuan untuk memilih jalannya sendiri, tanpa terikat pada harapan atau tekanan yang tidak adil.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Ane Hukrisna
EditorAne Hukrisna
Follow Us

Latest in Science

See More

Apa yang Terjadi Jika Manusia Mati di Luar Angkasa?

05 Nov 2025, 20:01 WIBScience