5 Fakta Simone de Beauvoir, Tokoh Feminis dan Filsuf Eksistensialis

Simone de Beauvoir adalah salah satu tokoh perempuan penting pada abad ke-20. Ia menyumbang beberapa pemikiran tentang kebebasan untuk perempuan melalui karya-karya yang ditulis olehnya. Simone de Beauvoir juga dikenal sebagai filsuf eksistensialis yang menyelami isu kebebasan, etika, dan tanggung jawab manusia.
Simone de Beauvoir memiliki jalan kehidupan yang unik, dan sedikit melawan stereotip di masanya. Ia tidak menikah dan menjalin hubungan asmara dengan sesama filsuf tanpa ikatan pernikahan. Berikut beberapa fakta Simone de Beauvoir, seorang penulis, filsuf, dan tokoh feminis.
1.Lahir dari keluarga borjuis dan terpandang

Simone de Beauvoir lahir pada tanggal 9 Januari 1908 di Kota Paris, Prancis dengan nama lengkap Simone Lucie Ernestine Marie Bertrand de Beauvoir. Ayahnya, Georges Bertrand de Beauvoir adalah seorang pengacara, sementara ibunya, Françoise Brasseur adalah bangsawan sekaligus puteri dari bankir terkenal di Prancis.
Lahir dari keluarga borjuis dengan ekonomi stabil, membuat Simone de Beauvoir mendapatkan privilese pendidikan untuk mempelajari kesukaannya terhadap filsafat dan sastra. Meskipun begitu, keluarga Simone de Beauvoir adalah penganut Katolik yang taat. Orangtuanya menyekolahkan Simone de Beauvoir di Sekolah Katholik Notre-Dame de Sion, tempat berkumpulnya para anak-anak dari bangsawan dan tokoh elit di Prancis pada masa itu.
2. Pasangan Jean-Paul Sartre tanpa ikatan pernikahan

Tahun 1929 adalah kali pertama Simone de Beauvoir bertemu dengan Jean-Paul Sartre, yang juga dikenal sebagai filsuf eksitensialis berpengaruh dalam sejarah Prancis. Pertemuannya dengan Sartre membawa Simone semakin mengenal eksistensialisme.
Sartre dan Simone sering bertemu di kedai kopi de Flore untuk menulis, bertukar pikiran, atau sekadar minum kopi. Hal ini tidak sengaja membuat mereka mempopulerkan istilah café. Beberapa filsuf seperti Albert Camus dan Raymond Aron juga mulai mengikuti kebiasaan Sartre dan de Beauvoir untuk nongkrong dan berdikusi di café.
Hubungan Sartre dan Simone tidak direstui oleh orangtua Simone karena perbedaan kelas sosial di antara mereka. Namun, Simone memilih meninggalkan rumah dan tinggal bersama Sartre. Selama itu, Simone dan Sartre menjalin hubungan tanpa ikatan pernikahan.
Dalam bukunya yang berjudul Memoires d’Une Jeune Fille Rangée, Simone berujar bahwa ia memutuskan untuk tidak menikah dan memiliki anak. Simone lebih memilih untuk mendedikasikan waktunya untuk menulis, mengajar, dan berkontribusi pada politik. Tidak menikah juga menjadi bentuk kritik Simone terhadap institusi pernikahan.
3.Mendirikan majalah Les Temps modernes

Pada akhir Perang Dunia II, Simone mendirikan majalah Les Temps Modernes bersama pasangannya, Jean-Paul Sartre. Majalah ini menerbitkan gagasan-gagasan para filsuf eksistensialis pada masanya, juga menerbitkan tulisan-tulisan yang berkaitan dengan isu politik dan humaniora.
Simone bekerja sebagai editor sekaligus menerbitkan tulisan-tulisannya sendiri. Melalui majalah Les Temps Modernes, Simone mengkritik dan menantang kolonialisme, perang, tradisi konservatif, dan segala bentuk ketidakadilan sosial.
Salah satu tulisan Simone yang paling terkenal di majalah ini berjudul “On Ne Nait Pas Femme, On Le Devient” yang berarti “Kita tidak dilahirkan sebagai wanita, kita menjadi wanita". Simone menyumbangkan pemikirannya tentang peran tradisional yang ada dalam masyarakat. Perempuan selalu diharapkan untuk bertindak sesuai dengan budaya norma. Akan tetapi, peran perempuan akan terus berubah seiring dengan perubahan zaman.
4.Tokoh feminis sekaligus filsuf eksistensialis

Simone de Beauvoir pertama kali menerbitkan esainya yang berjudul Phyrrus et Cinéas di tahun 1944. Esai ini membahas tentang etika eksistensialisme, termasuk kebebasan, hak, dan tanggung jawab manusia. Buku ini menyumbangkan pemikiran eksistensialisme yang dianggap tabu di Prancis kala itu, dan menjadi pijakan penting bagi Simone untuk menulis buku The Second Sex.
Pada tahun 1971 Simone semakin lantang menyuarakan hak-hak perempuan. Melalui Manifesto 343, Simone bersama aktivis perempuan lainnya menyuarakan pelegalan aborsi demi kesehatan reproduksi perempuan. Simone ikut menandatangani Manifesto 343, yang berisi perempuan-perempuan yang pernah melakukan aborsi sebagai bentuk perlawanan terhadap patriarki.
Akibat tekanan dari Manifesto 343, di tahun 1975 Pemerintah Prancis akhirnya menyetujui aborsi yang diatur dalam Loi Veil. Aborsi legal dilakukan bila janin masih berusia 10 minggu atau ketika perempuan dalam situasi berbahaya dan diharuskan melakukan aborsi. Berkat manifesto ini, banyak nyawa perempuan terselamatkan, dan juga sebagai bentuk perubahan besar bagi kesetaraan gender di Prancis.
5.Le Deuxieme Sexe dan Les Mandarins adalah bukunya yang paling mentereng

Selama hidupnya, Simone aktif menulis esai, buku, dan novel. Salah satu bukunya yang paling populer adalah Le Deuxième Sexe atau The Second Sex yang diterbitkan tahun 1949. Buku ini mempopulerkan konsep feminisme eksistensial dan memengaruhi pemikiran feminis kontemporer.
Le Deuxième Sexe membahas tentang posisi perempuan sebagai gender inferior kelas dua dalam masyarakat sosial. Simone mengkritik konsep patriarki yang selalu menempatkan perempuan di bawah laki-laki. Ia beropini bahwa perempuan seharusnya memiliki hak dan kesempatan yang sama dengan laki-laki di mata masyarakat.
Simone mendapatkan Prix Goncourt, salah satu penghargaan sastra bergengsi di Prancis berkat karyanya yang berjudul Les Mandarins di tahun 1954. Novel ini menggambarkan realitas sosial dan politik Eropa pascaperang. Simone mamasukkan nilai-nilai eksistensialisme, peran gender, dan bumbu romansa di dalamnya.
Hingga saat ini, Simone de Beauvoir masih dihormati dan dikagumi atas kontribusinya terhadap gerakan perempuan yang mencari keadilan. Simone juga menjadi pionir dari feminis gelombang kedua yang memperjuangkan hak-hak sosial perempuan dan melawan stereotip serta kekerasan berbasis gender.