7 Fakta Mengejutkan tentang Ketahanan Pangan Dunia

- Hanya Guyana yang benar-benar swasembada pangan sehat versi diet Livewell WWF, berkat investasi besar di sektor pertanian dan peternakan.
- 154 dari 186 negara hanya mampu memenuhi kebutuhan gizi dari dua hingga lima kelompok makanan sehat, terutama di Afrika, Karibia, dan Eropa.
- Ketergantungan pada impor pangan menciptakan kerentanan tinggi terhadap gangguan rantai pasok, seperti pandemi COVID-19 atau insiden Ever Given di Terusan Suez.
Pernahkah kamu membayangkan bahwa hampir semua negara di dunia tidak bisa mencukupi kebutuhan makannya sendiri tanpa bantuan negara lain? Sebuah studi global terbaru, berjudul Gap Between National Food Production and Food-Based Dietary Guidance Highlights Lack of National Self-Sufficiency (2025), menemukan bahwa hanya satu negara di dunia yang benar-benar bisa hidup dari hasil pertaniannya sendiri tanpa perlu mengimpor makanan dari luar.
Fakta ini menggugah kesadaran akan betapa rapuhnya sistem pangan global saat ini, terutama di tengah krisis seperti pandemi, konflik, dan perubahan iklim. Lewat artikel ini, kita akan kupas 7 temuan mengejutkan yang mengungkap realitas sesungguhnya dari ketahanan pangan dunia.
1. Guyana jadi satu-satunya negara yang swasembada pangan

Dari 186 negara yang diteliti, hanya Guyana, negara kecil di pesisir utara Amerika Selatan, yang berhasil mandiri penuh dalam tujuh kelompok pangan sehat versi diet Livewell WWF: daging, ikan dan makanan laut, produk susu, pati, legum, kacang dan biji-bijian, buah, serta sayuran. Prestasi ini menjadikan Guyana satu-satunya negara yang tidak bergantung pada impor untuk mencukupi kebutuhan gizinya.
Melansir Departemen of Public Information Guyana, keberhasilan ini didorong oleh lonjakan investasi sektor pertanian hingga 468% sejak 2020. Produksi beras ditingkatkan dengan penyediaan 152.000 karung benih, sementara peternakan tumbuh 24,6 persen berkat program pembiakan dan alokasi anggaran besar. Sektor perikanan juga berkembang lewat ekspansi tambak dan pelabuhan ikan, menghasilkan pertumbuhan akuakultur 13,7 persen.
Di sisi tanaman pangan, pemerintah memperluas budidaya kacang merah, kedelai, dan jagung dengan dukungan infrastruktur dan insentif pajak. Program untuk pemuda mendorong produksi sayuran bernilai tinggi lewat ratusan rumah tanam, dan produksi madu melonjak drastis sebagai bagian dari diversifikasi. Strategi menyeluruh ini menjadikan Guyana contoh nyata swasembada pangan berkelanjutan.
2. Lebih dari 80 persen negara tak bisa memenuhi separuh kebutuhan pangan

Sebanyak 154 dari 186 negara hanya mampu memenuhi kebutuhan gizi dari dua hingga lima dari tujuh kelompok makanan sehat, dan lebih dari sepertiga negara hanya mencukupi dua kelompok atau bahkan kurang. Kawasan yang paling terdampak adalah Afrika (25 negara), Karibia (10 negara), dan Eropa (7 negara). Hanya satu dari tujuh negara yang mampu mencapai swasembada di lima kelompok pangan atau lebih. Temuan ini menyoroti kenyataan bahwa sebagian besar negara bergantung pada impor pangan untuk mencukupi kebutuhan gizinya.
Salah satu alasan utama mengapa lebih dari 80 persen negara tidak mampu mencapai swasembada pangan adalah keterbatasan sumber daya alam. Negara-negara tersebut tidak memiliki cukup lahan subur, air, atau tanah produktif untuk mendukung produksi pangan dalam jumlah yang memadai. Dalam kondisi ini, negara-negara tersebut terpaksa bergantung pada perdagangan internasional untuk memenuhi kebutuhan pangan mereka.
3. Negara-negara maju belum tentu lebih mandiri ketahanan pangan

Ketahanan pangan tidak selalu sejalan dengan kemajuan ekonomi. Negara-negara kaya seperti UEA, Qatar, Irak, dan Macao justru gagal memenuhi kebutuhan dari satu pun kelompok makanan sehat secara lokal, meski memiliki infrastruktur modern dan pendapatan tinggi. Sebaliknya, Guyana yang ekonominya kecil mampu swasembada penuh berkat investasi besar di sektor pertanian.
Hasil penelitian dalam artikel Economic Growth Versus the Issue of Food Security in Selected Regions and Countries Worldwide (2018) menyebutkan, meski ada korelasi positif antara GDP per kapita dan ketahanan pangan, tingginya pendapatan tidak otomatis menjamin ketersediaan pangan lokal. Banyak negara kaya tetap bergantung pada impor karena keterbatasan sumber daya alam, rendahnya investasi pertanian, atau distribusi pangan yang tidak merata. Sebaliknya, negara berkembang yang menyalurkan pertumbuhan ekonomi ke sektor pertanian justru mengalami peningkatan signifikan dalam ketahanan pangan. Jadi, strategi pembangunan dan akses terhadap pangan lebih menentukan dibanding sekadar kekayaan nasional.
4. Ikan dan sayuran, kelompok pangan paling sulit dipenuhi secara lokal

Dari semua kelompok makanan, ikan dan hasil laut serta sayuran adalah dua yang paling sulit dicapai secara mandiri oleh negara-negara di dunia. Hanya 25 persen negara yang cukup mandiri dalam ikan dan seafood, dan hanya 24 persen negara yang bisa mencukupi kebutuhan sayurannya sendiri. Misalnya, 91 persen negara di Sub-Sahara Afrika gagal memenuhi kebutuhan sayuran. Bahkan negara-negara maju di Eropa Utara dan Amerika Selatan pun mengalami kesulitan dalam produksi sayuran. Hal ini menjadi tantangan besar mengingat kedua kelompok ini sangat penting bagi kesehatan dan asupan mikronutrien.
Ikan dan sayuran menjadi kelompok pangan yang paling sulit dipenuhi secara lokal karena keterbatasan kondisi alam dan infrastruktur. Produksi ikan sangat bergantung pada akses ke perairan, keberlanjutan stok laut, dan teknologi budidaya yang belum merata, sementara sayuran membutuhkan lahan subur, air yang cukup, serta iklim yang stabil, faktor yang tidak dimiliki semua negara. Selain itu, kedua komoditas ini mudah rusak dan memiliki masa simpan pendek, sehingga membutuhkan rantai distribusi dingin yang efisien dan mahal. Inilah sebabnya banyak negara kesulitan memenuhi kebutuhan ikan dan sayur tanpa mengandalkan impor.
5. Ketergantungan tinggi pada negara mitra berisiko saat krisis

Banyak negara yang tidak swasembada bergantung pada satu atau beberapa negara mitra utama untuk memasok pangan. Misalnya, negara-negara Karibia dan Amerika Tengah sangat tergantung pada impor dari Amerika Serikat, sementara banyak negara di Asia Timur dan Afrika Sub-Sahara mengandalkan satu negara untuk lebih dari 50 persen impornya.
Ketergantungan semacam ini menciptakan kerentanan tinggi terhadap gangguan rantai pasok, seperti yang terjadi selama pandemi COVID-19, insiden Ever Given di Terusan Suez pada tahun 2021, atau kenaikan tarif impor.
6. Perdagangan regional meningkatkan ketahanan pangan, tapi tidak cukup

Kerja sama regional memang dapat meningkatkan ketahanan pangan, tapi belum cukup untuk mencapai swasembada penuh. Contohnya, Serikat Ekonomi dan Moneter Afrika Barat serta Komunitas Karibia hanya mandiri dalam dua kelompok pangan: kacang-kacangan dan bahan pangan bertepung (Afrika Barat), serta buah dan daging (Karibia). Dewan Kerjasama Teluk (Gulf Cooperation Council) hanya swasembada dalam produksi daging.
Tidak satu pun dari serikat ekonomi ini yang mampu swasembada dalam produksi sayuran. Bahkan secara rata-rata, perdagangan dalam serikat hanya meningkatkan swasembada sebesar 0,27 kelompok makanan, meski ada pengecualian seperti Kongo, Malaysia, dan Afghanistan yang mengalami peningkatan hingga tiga kelompok.
7. Potensi teknologi dan kebijakan bisa mengubah peta ketahanan pangan

Meski kondisi saat ini belum ideal, ada potensi besar untuk perbaikan ke depan, terutama melalui teknologi pertanian dan kebijakan pangan yang progresif. Proyeksi hingga tahun 2032 menunjukkan bahwa negara-negara yang belum swasembada daging dapat mempersempit kesenjangan hingga 12 poin persentase, bahkan hingga 28 poin di Timur Tengah dan Afrika Utara. Namun, sektor seperti susu dan ikan masih menunjukkan potensi pertumbuhan yang kecil.
Di sisi lain, produksi kacang-kacangan, biji-bijian, dan bahan pangan bertepung menunjukkan prospek peningkatan signifikan, terutama di Eropa, Asia Tengah, dan Afrika. Strategi nasional seperti "30 by 30" di Singapura yang menargetkan produksi 30 persen kebutuhan pangan secara lokal pada 2030 menjadi contoh nyata bahwa investasi dan inovasi dapat membawa perubahan nyata dalam ketahanan pangan nasional.
Setelah membaca fakta-fakta di atas, kita jadi tahu bahwa di balik sepiring nasi atau semangkuk sayur, ada rantai pasokan panjang yang bisa terganggu kapan saja, entah karena perang, cuaca ekstrem, atau krisis global lainnya. ketahanan pangan bukan hanya persoalan produksi, tapi juga soal kebijakan, distribusi, dan ketergantungan antarnegara. Meski tantangannya besar, harapan tetap ada melalui teknologi, inovasi pertanian, dan komitmen politik yang kuat. Negara-negara yang kini belum mandiri masih punya peluang untuk memperbaiki diri jika mulai berinvestasi pada sistem pangan berkelanjutan. Dalam dunia yang semakin tidak pasti, swasembada pangan bukan lagi pilihan, melainkan kebutuhan.