Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

5 Fakta Monyet Digo, Suka Bersosialisasi dengan Spesies Lain

kawanan monyet digo (commons.wikimedia.org/Hamas Fathani)
kawanan monyet digo (commons.wikimedia.org/Hamas Fathani)

Apakah kamu pernah mendengar nama monyet digo (Macaca ochreata)? Monyet yang satu ini masuk dalam genus Macaca sehingga termasuk kelompok monyet Dunia Lama (Cercopithecidae). Menariknya, ternyata monyet digo ini termasuk hewan endemik Indonesia, lho.

Tepatnya, mereka tinggal di Pulau Sulawesi. Soal di bagian mana dan apa saja fakta menarik yang bisa kita ulik dari spesies monyet yang satu ini, kita akan segera mengupas jawabannya. Jadi, kalau sudah penasaran dan ingin kenalan dengan monyet digo, langsung gulirkan layarmu ke bawah, ya!

1. Bagaimana penampilan monyet digo?

ilustrasi dari monyet digo (commons.wikimedia.org/Zoological Society of London..London :Academic Press)
ilustrasi dari monyet digo (commons.wikimedia.org/Zoological Society of London..London :Academic Press)

Monyet digo tampil dengan rambut berwarna gelap pada bagian punggung dan kepala, tetapi jadi cokelat muda pada bagian perut dan keempat kaki. Kepala primata ini cenderung membulat dengan sedikit tambahan surai pada area bawah telinga dan pipi yang berwarna cokelat keabu-abuan. Selayaknya monyet Dunia Lama yang lain, monyet digo memiliki ekor yang tumbuh sepanjang 35—40 cm.

Dilansir New England Primate Conservancy, bobot yang dapat dicapai seekor monyet digo sekitar 5—12 kg. Sementara itu, panjang tubuh mereka tanpa ekor sekitar 50—59 cm. Ada dimorfisme seksual pada spesies ini, dimana jantan tumbuh lebih besar ketimbang betina. Selain itu, gigi taring bagian atas milik jantan juga lebih besar dari betina.

2. Peta persebaran, habitat, dan makanan favorit

ilustrasi peta persebaran monyet digo (commons.wikimedia.org/Chermundy)
ilustrasi peta persebaran monyet digo (commons.wikimedia.org/Chermundy)

Seperti yang disebutkan sebelumnya, peta persebaran monyet digo itu hanya ada di Pulau Sulawesi. Lebih spesifik lagi, primata ini tersebar di Sulawesi Tenggara dan pulau kecil di sekitar, semisal Pulau Buton dan Pulau Muna. Nah, khusus spesies yang hidup di dua pulau kecil tersebut, mereka dikategorikan sebagai subspesies monyet digo dengan nama ilmiah Macaca ochreata brunnescens.

Sementara itu, habitat pilihan monyet digo itu berupa hutan hujan tropis dengan ketinggian yang sedang. Dilansir IUCN Red List, rata-rata elevasi yang disukai oleh primata ini sekitar 800 meter di atas permukaan laut. Namun, terkadang monyet digo bisa juga masuk ke area pemukiman masyarakat, khususnya ketika makanan di hutan sedang tidak tersedia.

Berbicara soal makanan, monyet digo tergolong sebagai omnivor. Makanan utama mereka sebenarnya berbagai jenis buah, bunga, daun-daunan, dan tanaman pertanian. Akan tetapi, untuk melengkapi nutrisi, mereka turut mengonsumsi berbagai jenis serangga dan artropoda.

3. Selalu berinteraksi dengan spesies lain

kawanan monyet digo (commons.wikimedia.org/Hamas Fathani)
kawanan monyet digo (commons.wikimedia.org/Hamas Fathani)

Kehidupan sosial dari monyet digo bisa dibilang sangat menarik. Mereka sendiri sudah membentuk kelompok dengan 12—30 anggota di dalamnya. Masing-masing anggota kelompok akan saling berinteraksi, membantu merawat diri, saling memperingatkan ketika ada bahaya, dan bergerak bersama-sama dengan kompak. Akan tetapi, interaksi monyet digo ini tak sebatas kepada sesama anggota kelompok karena mereka cukup pintar untuk berinteraksi dengan spesies lain.

Misalnya, dalam Jurnal WASIAN berjudul, “Karakteristik Habitat dan Populasi Monyet Butung (Macaca ochreata) di Suaka Margasatwa Tanjung Peropa, Sulawesi Tenggara” karya Zsa Zsa Fairuztania dan Abdul Haris Mustari, monyet digo selalu bergerak bersama spesies burung bernama kadalan sulawesi (Ramphacoccyx calyorhynchus) dan srigunting jambul rambut (Dicrurus hottentottus). Tujuannya adalah demi memperoleh makanan untuk si burung.

Jadi, ketika monyet digo bergerak dan memperoleh makanan, serangga yang ada di sekitar tak jarang beterbangan. Serangga tersebut adalah makanan utama kedua spesies burung yang disebutkan sebelumnya. Jika kedua burung itu terus mengikuti monyet digo, maka mereka dapat memperoleh makanan secara mudah. Sementara itu, monyet digo tak diuntungkan ataupun dirugikan dari interaksi ini. Mereka pun tak keberatan dengan kehadiran si burung sehingga interaksi ini disebut simbiosis komensalisme.

Selain dengan burung, monyet digo turut berinteraksi dengan spesies monyet lain, semisal monyet jambul atau monyet tonkean (Macaca tonkeana). Interaksi dengan monyet jambul ini lebih menarik karena terkadang keduanya bergabung untuk membentuk satu kelompok besar. Malahan, perilaku dan protokol sosial kedua spesies ini terbilang identik saking seringnya mereka berinteraksi. Maka dari itu, tak jarang ditemukan monyet hibrida yang merupakan hasil kawin silang antara dua spesies monyet ini.

4. Sistem reproduksi

seekor monyet digo yang sedang bergerak di atas pohon (inaturalist.org/james_birdtourasia)
seekor monyet digo yang sedang bergerak di atas pohon (inaturalist.org/james_birdtourasia)

Tak banyak fakta soal sistem reproduksi monyet digo yang diketahui. Namun, kebiasaan mereka berinteraksi dengan spesies monyet lain membuat dugaan kuat kalau cara reproduksi mereka serupa dengan kerabat di sekitar. Artinya, musim kawin bagi monyet ini bisa terjadi sepanjang tahun, selama betina sudah menunjukkan tanda-tanda siap bereproduksi. Tanda ini berupa pembengkakan pada area sekitar alat reproduksi.

New England Primate Conservancy melansir bahwa setelah kawin, betina akan mengandung sekitar 170 hari. Dalam satu masa reproduksi, hanya ada seekor anak saja yang lahir. Satu tahun pertama kehidupan anak monyet digo dihabiskan dengan menempel pada tubuh si induk sambil belajar berbagai kemampuan yang menunjang kehidupannya kelak. Setelah itu, barulah si anak dapat hidup secara mandiri, tetapi tetap pada kelompok dimana dia dilahirkan.

5. Status konservasi

sisa tengkorak dari monyet digo (commons.wikimedia.org/Ogilby/Naturalis Biodiversity Center)
sisa tengkorak dari monyet digo (commons.wikimedia.org/Ogilby/Naturalis Biodiversity Center)

Menurut IUCN Red List, status konservasi monyet digo saat ini ada pada tingkat rentan punah (Vulnerable). Selain itu, populasi mereka terus menurun dari tahun ke tahun. Adapun, penyebab penurunan ini tak lain disebabkan oleh aktivitas manusia.

Disebutkan bahwa alih fungsi lahan besar-besaran yang terjadi di Sulawesi Tenggara membuat monyet digo kehilangan habitat alami. Kondisi ini diperparah dengan banyaknya industri kebun sawit dan cokelat yang dibuat sehingga harus menghancurkan hutan dalam skala besar. Belum lagi, penambangan ilegal yang tak jarang menggunakan bahan kimia berbahaya, semisal merkuri, meracuni sumber pangan dan minuman dari monyet digo sampai menyebabkan kematian dalam jumlah besar.

Upaya konservasi terhadap spesies primata ini sudah dilakukan dengan intensif. Salah satu caranya adalah dengan membuat area proteksi bagi monyet digo seperti yang ada di Rawa Aopa Watomahai, Padang Mata Osu, Tanjung Peropa, Tanjung Batikolo, Cagar Alam Faruhumpenai, Buton Utara, Hutan Lambusango, dan Napabalano jadi lokasi utama dalam konservasi monyet digo. Semoga saja status konservasi mereka tak semakin parah supaya primata endemik Indonesia ini tetap lestari, ya!

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Izza Namira
EditorIzza Namira
Follow Us