Kenapa Kita Sebaiknya Tidak Menunggangi Gajah?

Saat berkunjung ke kebun binatang atau lokasi wisata alam, tak jarang kita melihat satu atraksi yang ditujukan untuk menunggangi gajah. Di sana, pengunjung dapat berinteraksi dengan mamalia darat terbesar ini dengan cara menaiki si gajah dan berkeliling ke area tertentu, layaknya sedang menaiki kuda.
Sebagian besar dari kita pasti berpikir, menunggangi gajah adalah hal yang wajar jika melihat ukuran mereka. Bayangkan saja, kuda dan unta yang berukuran jauh lebih kecil dari gajah saja sangat lumrah untuk ditunggangi manusia. Bahkan, dalam sejarah, manusia sebenarnya memang sudah sering menunggangi gajah, baik untuk keperluan transportasi ataupun perang. Akan tetapi, berdasarkan penelitian kontemporer, peneliti menemukan fakta baru kalau sebenarnya gajah itu tidak boleh ditunggangi seperti kuda atau unta.
Ada dampak negatif yang dapat dirasakan tubuh gajah jika ditunggangi dalam waktu yang panjang. Nah, pada kesempatan ini, kita akan membahas alasan di balik larangan menunggangi gajah yang mulai digaungkan di seluruh dunia ini. Penasaran dengan jawabannya, kan? Yuk, langsung gulir layarmu ke bawah!
1. Meski bertubuh besar, anatomi gajah tidak memungkinkan tubuh mereka untuk mengangkut bobot besar

Kalau melihat ukuran dan kekuatan gajah, sebenarnya cukup wajar kalau kita berpikir mereka dapat menahan beban berat layaknya beberapa hewan lain yang dimanfaatkan untuk transportasi. Akan tetapi, nyatanya beberapa bagian tubuh gajah justru menunjukkan kalau mereka sebenarnya tidak didesain untuk mengangkut beban berlebih. Masalah utama terkait dengan struktur tulang belakang dari gajah.
Dilansir Green Elephant Sanctuary Park, tulang belakang milik gajah mengarah ke atas, layaknya manusia. Kemudian, di tulang tersebut tidak ada cakram bulat yang halus, melainkan tulang tajam yang memanjang dari belakang ke atas. Ditambah lagi, saat ini belum ada penelitian yang menunjukkan soal seberapa berat bobot yang dapat ditanggung gajah di punggung mereka.
Berbeda dengan kuda yang biasa ditunggangi di sekitar area punggung, umumnya orang yang naik gajah akan duduk di sekitar leher atau sekitar tulang vertebrata serviks. Tentunya, tulang area leher sebenarnya tidak dianjurkan untuk menerima beban berlebih, sekalipun itu adalah makhluk sebesar gajah.
Sebenarnya, gajah bisa-bisa saja menanggung beban dari manusia yang menunggangi mereka. Namun, jika dilakukan dalam waktu yang panjang dan bobot yang ditanggung terlampau besar, tubuh mamalia darat terbesar ini pasti akan terpengaruh.
2. Jika terus dipaksakan, ada sejumlah efek negatif yang dirasakan gajah

Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, gajah yang bertubuh besar sebenarnya tidak masalah jika harus menanggung bobot satu atau dua orang yang menunggangi mereka. Hanya saja, tambahan howdah (semacam pelana khusus gajah) yang sering ditambahkan di punggung mereka jelas meningkatkan bobot yang harus ditanggung punggung mereka. Inilah yang biasa kita temukan pada atraksi menunggang gajah komersial di kebun binatang ataupun lokasi wisata.
Hasil yang dapat dirasakan gajah ketika harus mengalami hal tersebut dalam waktu panjang tidak main-main. Dilansir Wildlife SOS, gajah yang sudah ditunggangi sejak lama menunjukkan tanda-tanda cacat pada tulang belakang mereka yang membuat si gajah jadi terlihat bungkuk. Selain itu, penggunaan howdah tak jarang melukai kulit gajah hingga menjadi luka terbuka. Kalau sudah demikian, bagian yang terluka itu dapat menimbulkan infeksi serius bagi si gajah.
Kalau sudah demikian, tak ada pengobatan yang dapat mengembalikan gajah ke kondisi semula mereka. Selain masalah fisik, gajah yang dimanfaatkan untuk atraksi komersial tak jarang mengalami trauma berkepanjangan. Sebab, cara manusia yang melatih mereka untuk ditunggangi turis itu masih banyak menerapkan praktek-praktek yang tak etis, bahkan sedari gajah masih kecil. Masalah itulah yang jadi pendukung gerakan tidak menunggangi gajah demi keperluan atraksi atau komersial.
3. Gerakan untuk melarang menunggangi gajah semakin gencar digaungkan, terlebih demi kepentingan komersial

Gajah memang masih sanggup menahan bobot manusia yang menunggangi mereka. Namun, tidak dengan tambahan-tambahan lain, seperti howdah, yang biasa digunakan pada tempat atraksi menunggang gajah untuk turis. Tak hanya soal fisik, mental gajah yang digunakan untuk keperluan komersial ini turut rusak karena praktek latihan yang terbilang kejam. Misalnya saja, ada satu teknik pelatihan yang disebut phajaan.
Dilansir World Challenge, phajaan digunakan untuk "menjinakkan" anak gajah liar yang berhasil ditangkap. Mula-mula, anak gajah akan dipisahkan dari induk mereka dan ditempatkan di kandang yang sempit. Setelah itu, anak gajah akan dipukul berkali-kali hingga mental mereka terganggu dan menjadi lebih menurut pada manusia. Mirisnya, praktik kejam ini masih cukup banyak ditemukan dan diperkirakan masih ada ribuan gajah yang menerima perlakuan ini.
Tak hanya gajah yang berasal dari alam liar, kondisi serupa terkadang juga dialami gajah-gajah yang lahir dalam penangkaran. Dilansir Phuket Elephant Nature Reserve, gajah yang ada di penangkaran terkadang harus menghadapi stres karena lingkungan yang sangat berbeda dengan yang ada di hutan. Dari yang tadinya mereka bebas menginjak tanah, di sana gajah harus terbiasa menginjak beton dan semen yang lambat laun pasti akan berpengaruh pada telapak kaki gajah yang terbilang lembut.
Jika melihat urusan etika, terkadang gajah yang ada di tempat wisata pasti dirantai dengan erat. Terkadang, rantai ini akan saling dihubungkan dengan rantai gajah lain sehingga membuat pergerakan satu ekor gajah jadi terbatas. Sebab, mereka terpaksa harus ikut dengan kawanan gajah yang dirantai bersamaan yang jadi tanda kalau kebebasan gajah untuk bergerak jadi direnggut.
Masalah mental yang diterima gajah ini semakin menjadi-jadi kalau kita melihat kondisi hidup mereka. Gajah di penangkaran dapat menunjukkan perilaku agresif secara acak karena perlakuan pelatih tak bertanggung jawab ataupun diakibatkan stres berlebih. Untuk itu, khusus di lembaga penangkaran dan pelestarian resmi, gajah-gajah yang dirawat akan dibiarkan berkeliling hutan secara berkala dan terkontrol.
Atas sejumlah masalah itulah beberapa tahun ke belakang, gerakan untuk menghentikan aktivitas menunggang gajah demi keperluan komersial digaungkan. Sejumlah cara sudah dilakukan, mulai dari membebaskan individu gajah yang dimanfaatkan untuk ditunggangi secara komersial hingga kampanye untuk mengingatkan wisatawan soal pentingnya bagi kita untuk mulai mengikuti gerakan ini. Dengan mulai sadar dan tidak ikut atraksi menunggang gajah di kebun binatang ataupun lokasi wisata, kita sudah bisa, kok, berpartisipasi demi kesejahteraan si gajah.
Memang, pada kenyataannya, kita pasti masih akan menemukan gajah-gajah yang ditunggangi manusia. Beberapa sektor jelas memerlukan penunggang gajah supaya aktivitas dapat berjalan lancar. Sebut saja pengawas hutan yang dekat dengan habitat gajah. Mereka tetap perlu menunggangi gajah agar bisa menghalau kawanan gajah liar yang berpotensi untuk memasuki pemukiman manusia. Belum lagi kalau kita melihat lembaga konservasi dengan segala keperluannya dengan penunggang gajah.
Meskipun demikian, berbeda dengan gajah yang ditunggangi untuk komersial, beban gajah-gajah yang bekerja dengan lembaga konservasi resmi itu jauh lebih diperhatikan kesejahteraannya. Beban yang diangkut pun tidak berlebih karena biasanya hanya akan mengangkut pelatih saja. Makanan, minuman, kesehatan, hingga kebebasan gajah-gajah lembaga konservasi pun dijamin ketersediaannya.
Kondisi ini jelas berbanding terbalik kalau melihat gajah-gajah atraksi yang tak jarang dieksploitasi. Lebih-lebih lagi, jika penyelenggara tersebut tidak bertanggung jawab dan memaksakan gajah atraksi untuk terus mengangkut beban berat dalam waktu panjang. Semoga saja gerakan ini dapat digaungkan lebih luas lagi, tak hanya sebatas pada gajah, tetapi juga pada spesies hewan lain yang kesejahteraannya direnggut secara tidak etis, ya!