Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Mengapa Ramadan Selalu Identik dengan Cuaca Panas? 

ilustrasi berburu takjil untuk buka puasa Ramadan (unsplash.com/Umar ben)
ilustrasi berburu takjil untuk buka puasa Ramadan (unsplash.com/Umar ben)

Kalau dengar kata "Ramadan" apa yang seringkali terlintas di pikiranmu? Selain ibadah puasa dan momen berbuka dengan takjil menggoda, banyak orang mengaitkannya dengan cuaca panas. Puasa di siang hari memang terasa lebih berat kalau cuacanya menyengat. Namun, apakah benar Ramadan selalu terjadi di tengah cuaca yang panas?

Faktanya, bulan Ramadan tidak selalu terjadi di musim yang sama setiap tahunnya. Waktunya bahkan selalu bergeser secara perlahan karena perbedaan antara kalender Masehi dan Hijriah. Namun, ada beberapa hal yang membuat bulan suci ini sering dianggap memiliki cuaca yang panas. Simak berikut penjelasannya!

1. Asal usul "Ramadan" yang berarti 'panas' dalam bahasa Arab

ilustrasi pemandangan masjid di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab (unsplash.com/Artur Aldyrkhanov)
ilustrasi pemandangan masjid di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab (unsplash.com/Artur Aldyrkhanov)

Secara istilah (terminologi), kata Ramadan berarti 'panas menyengat' atau 'terbakar'. Asal katanya dari “romadh” (رمض) dan “ramidla” (رَمِضَ) dalam bahasa Arab. Hal ini dikarenakan ketika bulan Ramadan pertama kali ditetapkan, saat itu waktunya bersamaan dengan musim panas di Arab. Sejak saat itu, kesan Ramadan sering diidentikkan sebagai bulan dengan cuaca yang panas.

Meskipun begitu, kebanyakan orang lebih memahami panasnya Ramadan secara metaforik atau kiasan. Saat berpuasa, orang-orang merasa tenggorokannya panas karena kehausan. Ungkapan lain mengharapkan dosa-dosanya hangus terbakar, dan mendapat ampunan setelah melakukan ibadah puasa. Dijelaskan Imam Al-Qurthubi dalam tafsirnya, “Dinamakan bulan Ramadan karena ia mengugurkan (membakar) dosa-dosa dengan amal saleh.”

2. Kalender Hijriah menyebabkan Ramadan terus bergeser

ilustrasi siklus Bulan (unsplash.com/Jake Hills)
ilustrasi siklus Bulan (unsplash.com/Jake Hills)

Waktu Ramadan ditentukan oleh kalender Islam Hijriah (Qamariyah) yang menggunakan pergerakan Bulan atau Hilal (kalender lunar). Hal ini berbeda dengan kalender Masehi (Gregorian) yang biasa digunakan sehari-hari, karena mengacu pada peredaran Matahari (sonar).

Dilansir Teach Astronomy, sepanjang sejarah manusia, siklus pergerakan benda langit telah digunakan untuk menentukan waktu. Kalender Matahari dihitung berdasarkan waktu yang dibutuhkan Bumi untuk mengorbit Matahari, yaitu sekitar 365 hari dalam setahun. Sementara itu, kalender Bulan didasarkan pada peredaran Bulan mengelilingi Bumi, yang berlangsung sekitar 354 hari dalam setahun.

Mengutip Universitas Pakuan, buku Essentials of Ramadan, The Fasting Month karya Tajuddin Shuaib menyebutkan, umat Islam mengembangkan kalender berbasis Bulan yang rata-rata waktunya 11 hari lebih pendek dari kalender berbasis Matahari (kalender Masehi). Jadi, waktu Ramadan dapat bergeser ke depan sekitar 10--12 hari setiap tahun, dan mungkin terjadi di berbagai musim selama 29 atau 30 hari.

3. Pengaruh wilayah Timur Tengah membentuk tradisi Ramadan yang panas

ilustrasi buka bersama puasa ramadan di wilayah Timur Tengah (pixabay.com/AhmadArdity)
ilustrasi buka bersama puasa ramadan di wilayah Timur Tengah (pixabay.com/AhmadArdity)

Banyak negara dengan penduduk mayoritas muslim terletak di kawasan beriklim panas, seperti Arab Saudi, Maroko, Mesir, Palestina, Uni Emirat Arab, Afghanistan, dan sebagainya. Daerah-daerah ini, khususnya di Timur Tengah memiliki kondisi wilayah yang cenderung hangat dan kering. Mereka biasa berbuka puasa dengan kurma dan air, karena sangat penting untuk menjaga hidrasi di cuaca panas.

Pengaruh budaya tersebut begitu kuat dan turut memengaruhi banyak tradisi Ramadan yang berkembang secara global. Akibatnya, orang-orang di berbagai negara lainnya cenderung mengasosiasikan Ramadan dengan suhu panas. Meskipun di tempat mereka saat itu bisa saja jatuh pada musim hujan ataupun dingin.

4. Puasa terasa lebih berat di negara dengan durasi siang yang panjang

ilustrasi umat muslim di negara lain (pixabay.com/igorovsyannykov)
ilustrasi umat muslim di negara lain (pixabay.com/igorovsyannykov)

Durasi siang hari bervariasi di seluruh dunia. Saat berpuasa, mereka yang menjalankannya, wajib untuk menahan rasa lapar dan haus selama terbitnya matahari (fajar) hingga senja, atau terbenamnya matahari. Durasi berpuasa di berbagai negara beragam, yaitu sekitar 12 hingga 20 jam, tergantung lokasi mereka berada.

Negara-negara di belahan Bumi utara, yang terkenal dengan sebutan “negeri matahari tengah malam” bisa mengalami puasa dengan durasi yang lebih panjang atau pendek, tergantung musim jatuhnya Ramadan. Dilansir Aljazeera, lima negara yang mengalami durasi puasa lebih panjang di tahun 2025, yaitu Greendland, Iceland, Finlandia, Swedia, dan Skotlandia, dengan rata-rata waktu kurang lebih 16-15 jam.

Durasi puasa yang lebih panjang dapat meningkatkan tantangan fisik bagi umat Muslim yang tinggal di wilayah tersebut. Mereka harus menghadapi kondisi ekstrem, baik dari segi suhu maupun lamanya waktu puasa tanpa makan dan minum. Oleh karena itu, dijelaskan Dr. Usama Hasan di Muslim Institute, beberapa komunitas muslim di wilayah ini mengikuti fatwa yang memperbolehkan mereka mengikuti waktu puasa dari Makkah, Madinah, atau negara terdekat dengan durasi puasa yang lebih moderat.

5. Di Indonesia, Ramadan 2025 bertepatan dengan musim hujan

ilustrasi suasana saat hujan di bulan puasa ramadan (unsplash.com/bckfwd)
ilustrasi suasana saat hujan di bulan puasa ramadan (unsplash.com/bckfwd)

Meskipun bulan Ramadan sering dianggap memiliki cuaca panas, kenyataannya tidak selalu demikian. Di Indonesia, Ramadan tahun 2025 ini berlangsung pada bulan Maret, dan masih masuk ke waktu musim hujan.

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mencatat, selama minggu pertama bulan Ramadan 2025, negara Indonesia mengalami cuaca hujan dengan intensitas lebat hingga esktrem. Bahkan telah terjadi banjir dan tanah longsor di beberapa wilayah Indonesia. Masyarakat pun diimbau lebih waspada dan mempersiapkan segala sesuatunya.

Jadi, hal ini sekaligus membuktikan Ramadan tidak selamanya terjadi di cuaca panas. Semuanya tergantung pada lokasi geografis dan pergeseran kalender Hijriah. Jadi, jangan heran kalau suasana Ramadan tahun ini justru dihiasi hujan, bukan panas terik.

Anggapan bahwa bulan Ramadan selalu identik dengan cuaca panas berasal dari sejarah, penggunaan kalender Hijriah, serta pengaruh budaya Timur Tengah yang mendominasi persepsi global. Padahal, kenyataannya Ramadan bisa terjadi di berbagai musim di seluruh dunia, seperti halnya masyarakat Indonesia yang berpuasa saat musim hujan.

Kira-kira, menurut kamu, puasa lebih enak di musim hujan atau musim panas? Yuk, share pendapatmu!

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Hanna Ridha
EditorHanna Ridha
Follow Us