8 Mitos tentang Agama Kuno yang Diyakini Kebanyakan Orang

Agama adalah makanan rohani bagi kebanyakan orang, sebagai kekuatan untuk menopang seseorang melalui masa-masa sulitnya. Namun, pada akhirnya, ini adalah masalah pribadi antara manusia dan Tuhan. Agama sudah ada selama berabad-abad, dalam beberapa bahasa yang berbeda.
Akan tetapi, apa yang kita terima dan ketahui hari ini, tidak sama dengan apa yang dahulu diyakini. Sebagai bahan pemikiran, berikut adalah beberapa fakta tentang agama yang tidak selalu benar.
1. Pendeta tidak boleh menikah

Seperti yang mungkin kita ketahui bahwa pendeta Katolik tidak bisa menikah sebagai pengabdian kepada Tuhan. Namun, ada suatu masa ketika pendeta sama bebasnya untuk menjadi seorang suami.
Pada awal Masehi, para imam masih bisa menikah dan memiliki pasangan. Hal itu mulai berubah pada tahun 306 pada Konsili Elvira pertama, seperti yang dijelaskan oleh mantan dekan Sekolah Pascasarjana Notre Dame dari Christendom College, Fr. William Saunders, pernikahan pendeta masih diperbolehkan, tetapi harus dengan nilai-nilai kesucian.
Pernikahan seorang imam dilarang pada abad ke-11 sebagai bagian dari reformasi Gregorian. Para imam yang tidak bisa hidup selibat dipandang tidak memiliki otoritas moral, karena Gereja sedang bertumbuh dan ingin menopang otoritasnya, maka para imam harus menjunjung moralnya. Menurut beberapa cendekiawan, hal ini bahkan membantu mencetuskan kasus Perang Salib.
2. Neraka sudah ada sejak awal

Teolog universalis Thomas B. Thayer menjelaskan pada tahun 1855 bahwa, pada awalnya, ada istilah Sheol, tempat orang mati. Ini lebih menjuru pada rasa malu atau depresi tetapi bukan kehidupan setelah kematian. Api neraka dinyalakan di Gehenna, di mana binatang buas yang mati dan penjahat yang dieksekusi dibiarkan terbakar.
Menurut penelitian penulis Kristen William West dalam bukunya
A Resurrection to Immortality: The Resurrection, Our Only Hope of Life After Death, ini semacam penghakiman terberat yang dapat dijatuhkan oleh pengadilan Yahudi kepada seorang penjahat.
Berabad-abad kemudian, Perjanjian Baru mengungkapkan gagasan tentang kehidupan setelah kematian. Lukas 16:24: "Karena aku menderita dalam nyala api ini." Namun, hal ini pun masih menimbulkan pertanyaan terkait api neraka apa yang dimaksud.
3. Semua agama menyarankan untuk mengubur orang yang sudah meninggal

"Karena kamu adalah debu, dan kamu akan kembali menjadi debu." Kejadian 3:19. Dalam simbolisme Perjanjian Lama, perlu untuk menutupi orang yang meninggal, atau menjauhkan binatang buas dari bau daging yang membusuk, menguburkan jenazah telah menjadi kebiasaan sepanjang sejarah.
Umat Buddha dan pengikut Zoroastrianisme mempraktekkan pemakaman langit. Meski terdengar indah, pemakaman langit sebenarnya membiarkan orang mati dimakan burung pemangsa. Hal ini dilakukan umat Buddha untuk membebaskan roh, sementara penganut Zoroaster memparaktekkannya agar Bumi tetap bersih.
Tradisi Buddha, seperti yang dirinci oleh Tibet Vista, memiliki praktik dengan cara berdoa sebelum memotong dan menghancurkan tubuh orang yang sudah mati. Dupa dibiarkan menyala, untuk memberi tahu burung nasar bahwa sudah waktunya untuk makan. Praktik Zoroastrianisme dimulai dengan cara yang sama tetapi berakhir di sebuah ruangan dengan sistem pemotongan berlapis. Dikutip laman Al Jazeera, alat ini digunakan untuk mematahkan tulang, mengembalikannya dengan bersih ke Bumi.
4. Penganut Buddha membenci kekerasan

Penganut Buddha adalah pasifis, percaya pada reinkarnasi karma. Yang pertama dari lima sila moral mereka adalah tidak melakukan pembunuhan. Seperti yang dijelaskan oleh sejarawan Peter Harvey dalam bukunya An Introduction to Buddhist Ethics: Foundations, Values and Issues, ada teks yang mengizinkan pembunuhan, bahkan cerita tentang Sang Buddha yang mengambil satu nyawa untuk menyelamatkan yang lain.
Selama Perang Dunia II, Buddhisme Zen adalah tulang punggung teologis yang diandalkan Jepang untuk menopang moral prajuritnya, agar mereka berani untuk serangan bunuh diri. Seperti yang dilaporkan oleh New York Times, umat Buddha melakukan penggalangan dana untuk membeli pesawat militer. Itu juga sesuai dengan tradisi biksu prajurit kuno yang telah berperang di Jepang selama lebih dari seribu tahun.
5. Hindu disebut Hindu

Salah satu agama tertua di dunia adalah Hindu. Agama ini terkait erat dengan Bhagavad Gita, Ghanesh, dan Yoga. Terlepas dari kenyataan bahwa semua orang menyebutnya Hindu, itu adalah Sanata Dharma, meskipun Brahmanisme atau Vedantisme juga dapat diterima. Cendekiawan agama David Lorenzen menyalahkan Persia atas kesalahan panggilan tersebut. Mereka pertama kali menemukan kepercayaan ini di sungai Sindhu, tetapi mereka malah mengucapkan "Hindu".
6. Semua agama tidak melarang karya seni dalam bentuk penggamaran

Kita tahu bahwa ada ikonografi religius mulai dari karya seni Renaisans, jendela kaca patri, hingga karya tentang Yesus. Akan tetapi, beberap agama melarang penggambaran Yahweh atau wajah Tuhan karena dianggap berdosa. Gambar-gambar ini dianggap bisa melanggar Perintah Kedua, yang melarang membuat gambar untuk disembah. Mengutip laman Catholic Encyclopedia, hal ini mirip dengan cara penyembah berhala.
Yudaisme dan Muslim sangat menentang tentang penggambaran. Kebanyakan Muslim menolak untuk menggambarkan wajah Allah atau nabi Muhammad. Umat Katolik sendiri bahkan berdebat sampai tahun 1866, sebagaimana dicatat oleh Uskup Rev. L. Meurin, yang berpendapat bahwa interpretasi artistik dari kitab suci dapat membantu menyebarkan berita dan memperdalam pemahaman.
7. Aborsi adalah dosa besar

Perdebatan aborsi bukanlah hal baru. Ribuan tahun diskusi telah dilakukan untuk memutuskan sikap resmi gereja. Aristoteles dan Santo Thomas Aquinas memiliki gagasan bahwa sejak pembuahan hingga lahir, janin memiliki rangkaian jiwa yang berbeda: vegetatif, hewani, lalu rasional.
Juga, menurut profesor sosiologi Michelle Dillon, tidak ada hukum gereja yang melarang aborsi sampai konsili Elvira pada awal 300-an. Itupun terjadi bolak-balik selama tahap perkembangan janin. Baru pada tahun 1869 Paus Pius IX mengumumkan bahwa gereja mulai melarang aborsi dan menganggapnya dosa.
Seperti yang dikatakan Merriam-Webster, "kebenaran bersifat sedemikian rupa sehingga harus dicari berkali-kali, bukan diklaim secara dogmatis."
Terlepas dari apapun yang kita percayai tentang agama, perjalananya memang membutuhkan waktu yang panjang dan sering kali dicerna berbeda dengan apa yang diyakini kebanyakn orang saat ini.