Apa yang Terjadi Jika Cahaya Bergerak Lebih Lambat dari Suara?

- Dunia akan terasa seperti film horor terbalik
- Persepsi visual tertunda dalam kehidupan sehari-hari
- Suara datang lebih dulu, menciptakan ketegangan
- Otak manusia akan menuntut penyesuaian dramatis
- Berkendara dan navigasi jadi lebih berbahaya
- Reaksi lambat karena informasi visual datang terlambat
- Kesalahan dalam mengambil keputusan bisa meningkat
- Kemungkinan kecelakaan bisa jauh lebih tinggi
- Film, TV, dan pertunjukan musik akan terasa aneh
Dalam dunia nyata, cahaya jauh lebih cepat dari suara. Itulah sebabnya kita bisa melihat kilat lebih dulu sebelum mendengar suara guntur. Namun coba bayangkan sejenak: bagaimana kalau kondisinya dibalik. Apa jadinya jika cahaya justru lebih lambat daripada suara?
Kedengarannya aneh, bahkan bertentangan dengan hukum fisika (karena cahaya di vakum punya kecepatan c tetap ≈ 3×10⁸ m/s). Namun justru karena itulah pertanyaan ini menarik. Kalau betul-betul terjadi, dunia akan terlihat dan terdengar dengan cara yang sangat berbeda dari yang kita kenal sekarang.
1. Dunia akan terasa seperti film horor terbalik

Bayangkan kamu sedang menonton kembang api di malam tahun baru. Dalam versi dunia kita sekarang, kamu akan melihat cahaya ledakan dulu, baru kemudian mendengar dentuman. Tapi kalau cahaya lebih lambat, kamu justru akan mendengar ledakannya terlebih dulu, lalu beberapa saat kemudian baru melihat percikannya di langit. Rasanya akan seperti menonton film dengan audio yang tidak sinkron. Bedanya kali ini seluruh dunia jadi seperti itu.
Hal ini kan membuat pengalaman visual terasa tertunda dalam kehidupan sehari-hari. Suara akan selalu datang lebih dulu, menciptakan ketegangan karena kita tidak langsung tahu apa yang mengeluarkannya. Sebuah penelitian tentang efek cahaya lambat (slow light) menggunakan Bose-Einstein condensate menunjukkan bagaimana gelombang cahaya bisa diperlambat hingga 20 juta kali lebih lambat; sekitar 38 mph. Nah, coba bayangkan kalau kelompok manusia hidup dalam kondisi seperti itu. Otak kita pasti menuntut penyesuaian dramatis.
2. Berkendara dan navigasi jadi lebih berbahaya

Dalam dunia nyata, mata jadi indra utama kita saat berkendara. Kita melihat lampu rem, lampu sein, atau pejalan kaki lebih dulu sebelum mendengar suara klakson atau suara ban. Jika cahaya lebih lambat dari suara, kita justru akan dengar suara kendaraan lebih dulu. Baru beberapa saat kemudian melihatnya muncul. Reaksi jadi lebih lambat karena informasi visual datang terlambat.
Bayangkan ketika sedang menyetir di jalanan padat lalu lintas, tiba-tiba kamu medengar suara motor mengebut dari samping, tapi kamu baru lihat motornya beberapa detik kemudian. Kesalahan dalam mengambil keputusan bisa meningkat karena otak mengandalkan visual sebagai pemicu utama gerak refleks. Dalam dunia seperti ini, kemungkinan kecelakaan bisa jauh lebih tinggi hanya karena terlambat melihat.
3. Film, TV, dan pertunjukan musik akan terasa aneh

Kalau cahaya lebih lambat dari suara, dunia hiburan bakal kena dampaknya juga. Nonton film jadi aneh. Suara dialog akan terdengar lebih dulu sebelum wajah aktornya mulai bergerak. Dalam pertunjukan musik, kamu akan mendengar suara gitar dipetik, tapi baru melihat pemainnya bergerak beberapa detik kemudian. Segala hal yang mengandalkan sinkronisasi audio-visual akan kacau total.
Editor film dan TV akan punya pekerjaan yang lebih rumit dari sebelumnya. Mereka harus menggeser video lebih cepat dari suara agar terlihat normal. Tapi sayangnya, ini hanya bisa dilakukan dalam rekaman. Kalau sedang nonton live show, ya siap-siap aja nonton dengan kepala miring. Dunia hiburan jadi semacam dunia “spoiler”, di mana suara selalu membocorkan apa yang akan kamu lihat nanti.
4. Indra penglihatan kehilangan “status utama”

Di dunia sekarang, kita mengandalkan mata untuk membaca, mengenali wajah, menonton video, dan memahami lingkungan sekitar. Tapi kalau cahaya lambat, suara akan jadi sumber informasi utama yang lebih cepat. Otak manusia akan mulai memprioritaskan suara dibanding penglihatan, karena sinyal audio datang lebih dulu. Dalam jangka panjang, ini bisa memengaruhi cara otak kita berkembang dan memproses informasi.
Anak-anak yang tumbuh di dunia seperti ini mungkin akan belajar lewat suara lebih dulu daripada gambar. Presentasi visual seperti grafik, tulisan, atau gerak tubuh akan jadi kurang efektif karena datang terlambat. Bahkan bahasa tubuh bisa kehilangan maknanya karena sudah didahului oleh suara atau ucapan. Bisa dibilang, dunia akan jadi tempat di mana suara mendominasi hampir semua bentuk komunikasi.
5. Ilmu pengetahuan dan teknologi akan berkembang secara berbeda

Banyak teknologi kita sekarang, seperti teleskop, kamera, dan sensor bergantung pada cahaya untuk membaca data. Tapi kalau cahaya lebih lambat dari suara, pengamatan berbasis visual jadi kurang bisa diandalkan. Para ilmuwan mungkin lebih fokus mengembangkan alat yang membaca gelombang suara atau gelombang lain yang lebih cepat. Dunia penelitian berubah arah, dari melihat ke mendengar.
Misalnya, astronomi bisa jadi lebih menekankan gelombang radio dan suara bintang (seperti gelombang gravitasi) daripada cahaya bintang itu sendiri. Dalam bidang medis, CT scan dan MRI mungkin kalah penting dari alat pemantau suara tubuh. Teknologi komunikasi pun akan berkembang lebih ke arah audio ketimbang visual. Dunia akan disusun ulang dengan logika baru—logika yang mendahulukan suara dibanding cahaya.
Membayangkan cahaya lebih lambat dari suara memang seperti melanggar aturan dasar fisika. Nah justru dari pertanyaan-pertanyaan aneh seperti ini, kita bisa melihat bagaimana realitas yang kita anggap “normal” sangat bergantung pada kecepatan cahaya. Jika konstan itu diubah, hampir semua aspek kehidupan ikut berubah.
Dari cara kita melihat, bergerak, berkomunikasi, sampai membangun teknologi, semuanya akan bergeser drastis. Itulah keindahan dari sains dan imajinasi: mereka mengajak kita untuk berpikir di luar kebiasaan.