11 Fakta Gelap Profesi Jurnalis, Berisiko Tinggi!

Kebebasan pers dan jurnalis di balik sebuah media sangat penting bagi negara demokrasi, tak terkecuali di Indonesia. Tanpa adanya informasi yang benar, warga tidak bisa memilih sesuatu yang benar untuk memperbaiki kehidupan mereka dan menjamin pemerintah untuk melayani kepentingan rakyat, bukan sebaliknya. Oleh karena itu, demokrasi yang sehat semestinya bisa memberikan rasa aman bagi jurnalis untuk melaksanakan tugas mereka.
Di sisi lain, karena berita yang disampaikan jurnalis bisa sangat akurat, ada beberapa pihak dan pemilik kepentingan yang terancam dengan profesi tersebut. Nah, mengingat fakta tersebut, tidak dipungkiri kalau jurnalis adalah profesi yang sangat berbahaya di seluruh dunia, terutama negara-negara otoriter. Jurnalis bahkan harus menghadapi risiko dalam pekerjaan mereka, seperti ancaman di tembak di zona perang hingga ancaman kekerasan dari psikopat. Lalu, seberapa berbahayanya profesi ini?
1. Jurnalis sering kali dilecehkan dan diancam

Terutama dengan maraknya media sosial, ancaman dan pelecehan terhadap jurnalis semakin meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Biasanya, korbannya adalah jurnalis perempuan. Mengapa demikian?
Pada 2017, UNESCO melaporkan satu contoh kasus yang dialami Maria Ressa, kepala eksekutif dan salah satu pendiri Rappler di Filipina. Di Facebook, jurnalis itu menerima sekitar 2.000 pesan yang melecehkannya atau bahkan pesan yang mengancam nyawanya. Kasus semacam ini tentu saja sangat mengguncang secara psikis.
Ada juga Bill Jaynes, editor Kaselehlie Press di Pohnpei. Ia menjelaskan kepada The Guardian, "Sekitar 15 tahun saya bekerja sebagai jurnalis, dan saya menerima ancaman pembunuhan."
Lalu ada jurnalis Joyce McClure yang bekerja di sebuah pulau terpencil di Pasifik. Ia membuat pengakuan yang meresahkan, "Ada ancaman terhadap nyawa saya, yang sangat sulit untuk saya tangani. Saya bahkan hidup dalam ketakutan, selalu was-was, selalu mengunci pintu, dan tidak mau keluar sendirian di malam hari."
2. Jurnalis mengalami kerusakan dan kehilangan harta benda yang mereka punya

Tidak hanya diancam lewat media sosial, jurnalis juga sering menjadi sasaran vandalisme, lho. Bahkan di wilayah Kepulauan Pasifik, jurnalis mengalami vandalisme terhadap barang-barang berharga mereka, seperti mobil. Bagaimana hal ini bisa terjadi?
Nah, salah satu kasus yang paling ekstrem menimpa seorang jurnalis anonim (yang tidak disebutkan namanya) dari Republik Fiji. Mobilnya dibobol dan dia diusir dari rumahnya, hanya karena mengajukan pertanyaan kepada seorang politisi. Ia pun merasa tidak mendapat keadilan.
Ada juga Joyce McClure, seorang jurnalis yang mengaku pernah dilecehkan, diludahi, diancam akan dibunuh, dan bahkan diancam sedang dimata-matai. Selain itu, ban mobil Joyce dirobek dengan senjata tajam pada malam hari. Hal serupa menimpa jurnalis Bill Jaynes.
3. Jurnalis perempuan sering kali dilecehkan dan diancam lewat media sosial

Jurnalisme bisa dibilang profesi yang bikin ketar-ketir, dan jurnalis perempuan bisa lebih berisiko dari pada laki-laki. Yap, mengingat seksisme lebih kental terasa di kalangan perempuan. Ketidakadilan ini pernah dirasakan Gharidah Farooqi dari News One di Pakistan. Ia menjelaskan kepada The Washington Post, kalau perempuan sering kali dilecehkan dan sering menjadi sasaran karena pandangan politiknya. Perempuan, ungkapnya, sering dilecehkan terkait bagian tubuhnya.
Lebih buruknya lagi, bahaya bagi jurnalis perempuan meningkat pesat dalam waktu kurang dari 10 tahun. Dikutip UNESCO, pada 2014, 23 persen jurnalis perempuan mengakui dalam sebuah survei bahwa mereka menerima ancaman atau intimidasi di media sosial, angka itu naik menjadi 73 persen dalam survei yang dilakukan UNESCO/ICFJ pada 2020. Di Indonesia sendiri, Aliansi Jurnalis Independen melakukan survei pada Agustus 2020 terhadap 34 jurnalis perempuan dari berbagai kota, dan ditemukan 25 di antaranya mengaku mengalami kekerasan seksual.
Pada 2017, hampir setengah dari semua korban yang terbunuh dalam profesi jurnalis ini sempat menerima ancaman di media sosial sebelum mereka kehilangan nyawa. Dua contoh kasus paling tragis adalah jurnalis Gauri Lankesh dari India dan Daphne Caruana Galizia dari Malta.
4. Jurnalis bisa diserang di lapangan

Pemimpin yang otoriter sering kali menahan jurnalis yang dianggap sebagai ancaman terhadap kekuasaan mereka, tetapi ada juga yang masih memakai cara brutal. Beberapa insiden ekstrem terjadi di Uganda pada awal 2021, ketika puluhan jurnalis diserang oleh polisi saat meliput pemilu dan aksi protes warga. Amon Kayanja adalah salah satu korbannya. Ia menceritakan pengalamannya tersebut kepada VOA.
"Mereka memukuli kami. Kami bertanya mengapa mereka memukuli kami? Mereka tidak memberi tahu kami apa alasannya. Mereka merusak kamera saya. Ponsel saya hancur. Mereka membawa tongkat dan memukulkannya ke arah kami. Mereka mengusir kami. Kami tidak bisa berbuat apa-apa."
Jurnalis bukan saja diincar oleh aparat negara, tetapi mereka juga bisa diserang oleh preman bayaran atau bahkan warga yang marah. Hal serupa terjadi pada 2020 ketika tiga jurnalis India dipukuli oleh massa di New Delhi. Setelah itu, tiga jurnalis ini disandera selama satu jam hingga dibebaskan oleh polisi.
Di Indonesia sendiri, 11 orang jurnalis mendapat kekerasan dari aparat, seperti di intimidasi, di ancam mau dibunuh, kekerasan psikis hingga fisik yang mengakibatkan luka-luka berat. Hal ini terjadi ketika jurnalis meliput aksi Penolakan Revisi Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada) pada Kamis (22/8/2024), sebagaimana yang dilaporkan Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ).
5. Tidak semua jurnalis dapat asuransi

Seperti yang sudah kita bahas tentang bahaya profesi jurnalisme, terutama jurnalis yang ditugaskan meliput di negara-negara yang mengalami peperangan, seperti Libya dan Gaza. Meski begitu, media-media papan atas menyediakan beberapa pilihan polis asuransi bagi karyawan mereka yang meliput di zona perang. Asuransi tersebut meliputi asuransi kesehatan, jiwa, cacat, dan bahkan evakuasi darurat dari situasi yang sangat mematikan.
Namun, tidak semua jurnalis seberuntung itu. Faktanya, mayoritas pers di seluruh dunia, seperti di benua Asia, Afrika, dan Amerika Latin tidak punya asuransi, bahkan ketika meliput di zona perang, seperti yang dilaporkan oleh Slate. Para jurnalis yang sangat berani ini bahkan digaji tidak sepadan dengan pekerjaan mereka yang membahayakan nyawa.
Bayangkan saja, dalam perang Israel-Gaza, Committee to Protect Journalists melaporkan bahwa sampai pada 7 Februari 2025, ada 169 jurnalis dan pekerja media yang tewas saat bertugas. 161 di antaranya adalah warga Palestina, 2 warga Israel, dan 6 warga Lebanon. Terkadang, pasukan Israel memang dengan sengaja menargetkan jurnalis yang sedang meliput.
6. Jurnalis rentan dipenjarakan

Salah satu ancaman cukup berbahaya bagi jurnalis adalah hilangnya kebebasan mereka karena dijebloskan ke penjara. Bahkan, pihak berwenang sengaja membungkam anggota pers dengan memenjarakan mereka dan hal ini meningkat selama satu dekade terakhir. Pada Desember 2024, terdapat 550 jurnalis di seluruh dunia yang ditahan di balik jeruji besi, sebagaimana yang dilaporkan oleh Committee to Protect Journalists. Selain itu, Tiongkok menjadi negara pertama yang banyak memenjarakan jurnalis. Myanmar menjadi negara kedua yang paling banyak memenjarakan jurnalis dan sisanya ditahan oleh Israel, terkait konflik Israel-Gaza.
Di Indonesia, selama periode kedua pemerintahan Joko “Jokowi” Widodo, ada 3 jurnalis yang dijebloskan ke penjara karena melanggar Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Mereka adalah Muhammad Asrul, yang dituduh mencemarkan nama baik anak Wali Kota Palopo. Lalu ada Diananta, yang dianggap menulis berita yang mengandung SARA. Kemudian, Mohammad Sadli Saleh, yang dituduh menulis dan menyebarkan informasi yang mengundang kebencian di masyarakat. Pemenjaraan ini merupakan bentuk intimidasi terhadap jurnalis.
Republik Fiji juga memiliki badan legislatif yang menargetkan jurnalis dengan adanya Media Industry Development Decree. Jadi, jurnalis yang melanggar ketentuan hukum akan dipenjarakan selama 2 tahun. Selain itu, jurnalis yang dianggap melakukan penghasutan, akan dihukum hingga 7 tahun penjara.
7. Jurnalis berisiko gugur di medan perang

Zona perang merupakan lingkungan yang sangat berbahaya bagi siapa pun, tak terkecuali para awak media. Dari tahun 2006—2024, lebih dari 1.700 jurnalis di seluruh dunia tewas saat meliput, dan sekitar 85 persen kasusnya tidak masuk ke pengadilan, seperti yang ditujukan oleh laporan UN Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO). Di sisi lain, Gaza yang sedang dilanda perang menjadi contoh utamanya, ketika para jurnalis ini sengaja dibunuh oleh tentara Israel. Hal ini pun menjadi kasus tertinggi perihal jurnalis yang gugur di medan perang.
8. Jurnalis yang meliput politik sama berbahayanya dengan yang bekerja di zona perang

Tak hanya berisiko di medan perang, jurnalis juga bisa menjadi musuh politik dan berada di bawah ancaman pembunuhan. Dalam sebuah wawancara dengan CNN, Jodie Ginsberg menjelaskan, "Meliput politik, kejahatan, dan korupsi bisa sama atau lebih mematikannya saat meliput perang."
Fakta mengerikan ini juga dikonfirmasi oleh statistik. Antara 2012—2025, 131 jurnalis tewas saat meliput politik, sebagaimana yang dinyatakan dalam laporan Committee to Protect Journalists. Di Indonesia, ada nama Fuad Muhammad Syafruddin alias Udin, wartawan asal Yogyakarta yang dibunuh oleh sekelompok orang. Udin sendiri dikenal sebagai jurnalis yang kritis karena sering mengangkat isu-isu politik, baik masalah korupsi dan kebobrokan pejabat di daerahnya.
9. Pelaku pembunuhan jurnalis sering kali tidak diadili

Pelaku pembunuhan jurnalis sering kali tidak diadili. Misalkan pelakunya tertangkap, mereka hanya mendapat hukuman yang ringan dan bahkan kebal hukum. Sebagian besar pembunuhan jurnalis terjadi di negara-negara Irak, Sudan, Myanmar, Ukraina, Suriah, Gaza, Pakistan, Bangladesh, Tiongkok, Belarus, dan Israel. Sementara itu, di Meksiko, jurnalis dibunuh terkait dengan aktivitas kriminal kartel.
10. Jurnalis berisiko disiksa bahkan dibunuh dengan cara kejam

Meskipun ada banyak profesi berbahaya di seluruh dunia, jurnalisme adalah salah satu dari sedikit profesi yang menghadapi penyiksaan dan bahkan pembunuhan yang benar-benar biadab. Salah satu contoh yang paling memilukan terjadi pada 2018 dengan dibunuhnya Jamal Khashoggi di konsulat Saudi di Turki. Para pelakunya bahkan memutilasi tubuh Jamal Khashoggi.
Beberapa jurnalis juga disiksa dan dibunuh secara brutal oleh pihak berwenang di Myanmar dan Afghanistan. Di Myanmar, jurnalis Ko Aung Kyaw selamat dari penyiksaan yang diterimanya. Ada pula Fatema Hosseini, yang menyaksikan penyiksaan terhadap rekan-rekannya yang dilakukan oleh Taliban.
11. Industri surat kabar berada di titik kritis karena pergeseran tren dan budaya

Selain resiko cedera dan kematian, terancamnya profesi jurnalisme surat kabar akibat perubahan tren di dunia modern juga semakin mengkhawatirkan. Banyak surat kabar yang gulung tikar di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Tak hanya itu, jurnalis perorangan jumlahnya juga terus menurun.
Alasan utama mengapa media cetak banyak yang tutup adalah pergeseran budaya dan tren. Masyarakat lebih senang melihat informasi berupa video ketimbang membaca. Apalagi semenjak adanya tren TikTok. Nah, kamu sendiri, tipe yang suka membaca atau menonton video, nih? Semoga warga Indonesia lebih meningkatkan minat bacanya lagi, ya!
Jurnalis berpotensi menghadapi begitu banyak risiko yang dapat mencederai mental dan fisik. Bekerja di bawah tekanan juga menjadi salah satu tantangannya. Semoga peran jurnalis bisa lebih dihargai lagi ke depannya demi menyampaikan kebenaran untuk sesama.