Giant Sea Wall Jakarta: Solusi atau Ancaman bagi Ekosistem Pesisir?

- Jakarta menghadapi ancaman nyata dari banjir pesisir dan penurunan tanah yang terus berlanjut.
- Penurunan tanah dan perubahan iklim meningkatkan risiko banjir di Jakarta, mempercepat genangan di berbagai kawasan.
- Giant Sea Wall Jakarta menjadi solusi ambisius, namun masih menuai banyak perdebatan dalam efektivitasnya.
Jakarta menghadapi ancaman nyata dari banjir pesisir dan penurunan tanah yang terus berlanjut. Warga pesisir, terutama di Jakarta Utara, sering kali harus menghadapi genangan yang merendam rumah dan tempat usaha mereka. Dalam beberapa dekade terakhir, banjir semakin sering terjadi dan merusak infrastruktur kota.
Di tengah situasi ini, proyek Giant Sea Wall Jakarta muncul sebagai solusi ambisius untuk melindungi ibu kota dari tenggelam. Namun, bagaimana dampaknya terhadap ekosistem dan apakah ini benar-benar solusi yang efektif?
1. Penurunan tanah dan ancaman banjir

Salah satu ancaman terbesar bagi Jakarta adalah penurunan tanah atau land subsidence yang semakin parah. Menurut laporan dari Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) tahun 2021, perubahan iklim bisa menyebabkan kenaikan permukaan air laut hingga 1,8 meter dalam 50 tahun ke depan, yang berpotensi memperluas wilayah banjir rob di Jakarta hingga 37%.
Selain itu, penurunan tanah yang disebabkan oleh eksploitasi air tanah secara berlebihan semakin mempercepat proses tenggelamnya sebagian wilayah ibu kota. Dengan kondisi ini, keberadaan Giant Sea Wall sering dianggap sebagai solusi yang tidak bisa dihindari. Namun, apakah proyek ini akan cukup untuk mengatasi tantangan tersebut?
2. Ancaman banjir Jakarta disebabkan oleh berbagai faktor
Johan Risandi, Peneliti Bidang Teknik Pantai Pusat Riset Oseanografi, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), menyatakan bahwa masalah banjir di wilayah Jabodetabek tidak hanya disebabkan oleh penurunan tanah.
"Jadi (masalah banjir) ini multifaktor. Tidak cuma dari sisi land subsidance saja. Jika ada angin dan lain-lain, naiknya mungkin bisa lebih. Itu belum seberapa dibandingkan dengan sea level rise. Land subsidence itu juga kan terjadi secara terus menerus," jelas Johan saat diwawancarai IDN Times (7/3/2025)
Selain itu, buruknya sistem drainase perkotaan dan maraknya pembangunan tanpa perencanaan tata ruang yang matang memperburuk situasi. Hal ini menyebabkan air hujan sulit meresap ke dalam tanah dan mempercepat genangan di berbagai kawasan.
Selain faktor lokal, perubahan iklim juga memainkan peran besar dalam meningkatkan risiko banjir di Jakarta. Curah hujan yang semakin ekstrem akibat perubahan pola cuaca global sering kali menyebabkan luapan sungai dan genangan di berbagai titik.
"Jadi faktor-faktor ini bersatu padu untuk menenggelamkan Jakarta. Belum lagi water extraction dari perusahaan dalam jumlah besar, oil extraction juga memengaruhi itu," tambahnya.
Kombinasi antara kenaikan air laut, penurunan tanah, perubahan iklim, serta buruknya pengelolaan air menjadikan Jakarta salah satu kota dengan risiko banjir tertinggi di dunia.
3. Efektivitas dan kelayakan sangat dipertanyakan

Efektivitas Giant Sea Wall untuk mengatasi masalah banjir di Jakarta masih menuai banyak perdebatan, terutama dalam jangka panjang.
Menurut Dicky Muslim, pengajar di Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran, studi kasus dari luar negeri menunjukkan bahwa proyek serupa memiliki keterbatasan.
"Kalau kita lihat contoh di Tohoku, Jepang, yang dibuat khusus untuk menahan tsunami, ternyata tidak efektif. Jika tsunami setinggi 20–30 meter datang, sementara seawall hanya 10–20 meter, tetap saja air akan menerjang. Dan ini jadi hal yang tidak bisa diprediksi" jelasnya saat dihubungi IDN Times (20/3/2025).
Di sisi lain, Johan mempertanyakan aspek feasibility atau kelayakan dari pembangunan Giant Sea Wall ini.
"Secara logika ya bisa menahan air, dibuat hard structure. Tapi balik lagi, apakah ini perlu dibuat hard structure seperti itu. Ini juga pastinya akan membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Jadi memang harus banyak diskusi dan studi," ungkap Johan.
4. Diperlukan riset yang mendalam
Meskipun telah menjadi buah bibir, proyek Giant Sea Wall Jakarta masih belum mendapatkan kejelasan, terutama dalam hal kajian ilmiah yang mendalam. Para ahli menekankan bahwa pembangunan proyek sebesar ini membutuhkan riset yang komprehensif dan berbasis data terkini.
Sejauh ini, masih banyak informasi yang belum tersedia secara terbuka, termasuk detail pembangunan serta bentuk dari Giant Sea Wall itu sendiri. Menurut keterangan Johan, BRIN belum menerima informasi terkait studi lanjutan Giant Sea Wall.
Selain itu, dunia akademis juga menghadapi keterbatasan dalam melakukan penelitian lebih lanjut karena akses terhadap pendanaan dan data.
"Kalau kami di universitas, risetnya itu kan untuk ke pendidikan. Jadi tujuan risetnya kalau dari kita itu datanya itu diambil oleh sejumlah lembaga pemerintah karena mereka yang ada uangnya," ujar Dicky.
Dengan kondisi ini, penting bagi pemerintah untuk melibatkan lebih banyak pihak dalam kajian ilmiah. Ini berguna agar proyek Giant Sea Wall benar-benar didasarkan pada riset yang matang dan tidak sekadar menjadi proyek ambisius tanpa perhitungan yang tepat.
5. Dampak terhadap ekosistem laut dan pesisir

Pembangunan Giant Sea Wall tidak hanya berdampak pada perlindungan kota, tetapi juga membawa konsekuensi serius bagi ekosistem. Salah satu kekhawatiran utama adalah perubahan aliran air laut yang dapat memengaruhi ekosistem pesisir.
"Tantangannya adalah bagaimana menyelaraskan pembangunan seawall ini dengan ekosistem di wilayahnya. Karena kita kan menambahkan faktor baru dan mengubah ekosistem di satu wilayah," ujar Dicky.
Salah satu dampak potensial adalah terganggunya habitat mangrove dan ekosistem pantai yang menjadi tempat pemijahan ikan serta biota laut lainnya. Selain itu, Johan menungkapkan bahwa perubahan arus laut akibat seawall bisa menyebabkan stagnasi air, meningkatkan sedimentasi, dan menurunkan kualitas air.
"Asumsinya jika ini dibangun di samping pantai, pastinya akan ada perubahan karena ada struktur baru di situ. Kalau dari perspektif lingkungan pasti merusak,"
"Pastinya ekosistem akan berubah dan kemungkinan besar akan negatif," jelas Johan.
6. Bisa berdampak pada nelayan setempat
Proyek ini juga mendapat perhatian dari komunitas ilmuwan dan aktivis lingkungan. Banyak yang menilai bahwa pendekatan berbasis alam, seperti restorasi mangrove dan peningkatan sistem drainase, dapat menjadi solusi yang lebih ramah lingkungan.
Sementara itu, nelayan yang menggantungkan hidup pada perairan Jakarta tentunya bisa membatasi akses mereka ke laut.
Hal ini menambah daftar panjang tantangan yang harus diselesaikan sebelum proyek benar-benar diterapkan. Selain itu, beberapa pakar menilai bahwa investasi besar dalam proyek ini sebaiknya dialihkan ke solusi yang lebih berkelanjutan, seperti perbaikan tata kelola air tanah dan peningkatan infrastruktur drainase di dalam kota.
Lantas, apakah Giant Sea Wall akan menjadi solusi efektif atau justru membawa masalah baru? Kajian lebih lanjut dan keterlibatan berbagai pihak sangat diperlukan agar proyek ini tidak hanya melindungi Jakarta, tetapi juga tetap menjaga keseimbangan ekosistemnya. Keputusan yang diambil saat ini akan menentukan masa depan kota ini dalam menghadapi perubahan iklim yang semakin nyata.