Christian Hadinata: Merah Putih di Tengah Gempuran Diskriminasi

Jakarta, IDN Times - Bulu tangkis menjadi cabang olahraga andalan Indonesia jika bicara dari segi prestasi. Bahkan, sebelum cabang olahraga tepok bulu ini dimainkan di panggung Olimpiade, tim Indonesia rutin menyumbang prestasi dan menjadi yang terbaik.
Indonesia jadi perkasa dan disegani dunia jika bicara bulu tangkis sejak era dulu. Peranan masyarakat keturunan Tionghoa, tak dapat dilepaskan dari perkembangan bulu tangkis di Tanah Air.
Nyatanya, kisah perjalanan mereka mengibarkan Merah-Putih tak semudah yang dirasakan atlet-atlet masa kini. Jika balik ke era saat masyarakat Tionghoa masih mendapat perlakuan diskriminasi di Tanah Air, wakil Indonesia di bulu tangkis juga banyak yang berdarah Tionghoa.
Saat turnamen tak menjanjikan hadiah uang sebesar saat ini, mereka semangat menjalani laga dengan satu misi utama: Mengibarkan Merah-Putih di tiap tiang tertinggi kejuaraan di dunia.
Beberapa waktu lalu, IDN Times berkesempatan berbincang tentang semangat nasionalisme dan idealisme atlet bulu tangkis era dulu, bersama legenda bulu tangkis Indonesia, Christian Hadinata.
Bagaimana rasanya menjadi atlet yang membela Indonesia pada era itu? Sempat merasakan membela Merah-Putih tapi tetap tak dianggap pribumi?

Bagi saya pribadi ya, mungkin bagi sebagian orang berbeda ya, tapi bagi saya pribadi saat itu menjadi atlet bulu tangkis, mewakili negara dan bangsa, itu (dalam) pertandingan di luar negeri, maupun pertandingan individu, maupun multievent, saya sih tidak ada merasa dibedakan.
Jadi paling penting dan paling inti itu ya, saya secara pribadi tentu kepengen merah-putih itu ada di tengah, terus lagu kebangsaan Indonesia Raya itu dinyanyikan, itu sudah segala-galanya. Bagi saya waktu menjadi atlet.
Jadi tidak ada sedikit pun pemikiran bahwa kita dibedakan atau apa. Dan kita pun berangkatkan istilahnya ada fasilitas negara juga. Ya kan? Jadi kembali tidak ada perbedaan sama sekali sih bagi saya.
Dan saya rasa justru masyarakat tetap menghargai prestasi kita dengan sangat baik. Artinya, setiap kali ketemu juga menyapa dengan baik, mengucapkan selamat, jadi menurut saya tidak ada masalah.
Saat kondisi sensitif waktu itu apa yang membuat koh Chris punya rasa cinta terhadap Indonesia sebesar itu?

Kita ambil contoh kan yang peristiwa pernah tahun berapa itu? 1996? Itu kan kita justru sedang lagi pertanding piala Thomas di Hong Kong, lagi seru-serunya. Jad justru terbalik tuh pemikirannya. Bahwa kita ingin menunjukkan pada dunia, khususnya di lingkungan bulu tangkis bahwa tidak semua orang itu seperti itu.
Kita sebagai atlet tetap ingin membawa nama baik negara dan bangsa, dan ada faktanya justru kita berhasil mempertahankan Piala Thomas, dan itu sangat mengherankan orang-orang luar itu. Pelatih dan pemain.
Mereka tahu kan kita tiap pagi juga disuguhin TV. Tiap makan, di lobby atau di dining hall itu isinya itu, kerusuhan-kerusuhan. Jadi mereka sangat appreciate bahwa kita kok bisa seperti itu.
Itu momen yang sangat mengharukan, setelah kita menang, tenaga-tenaga kerja kita yang ada di Hong Kong itu menyambut kita di luar dengan lagu Indonesia Raya, wah luar biasa banget.
Dan gak ada diskriminasi keturunan Tionghoa atau tidak?

Betul. Sama sekali. Itu tenaga-tenaga kerja yang bekerja di sana sangat mengelu-elukan, sangat berterima kasih. Jadi paling tidak kan bahwa dengan peristiwa rusuh-rusuh itu kita sedikit bisa menetralisir. Bisa membuktikan atau menyatakan bahwa itu perbuatan sebagian saja, yang lain-lainnya tidak seperti itu.
Malah prestasinya mau mempersatukan ya?
Iya, betul. Apalagi itu piala Thomas yang justru juga terdiri dari tidak hanya suku Tionghoa, tidak ada batas agama juga. Jadi semuanya bersatu untuk prestasi negara. Itu luar biasa banget.
Waktu yang rusuh masih harus bertanding gak takut koh dengan kondisi keluarga?
Team manager kita kan dulu dari angkatan (TNI/Polri). Jadi beliau sangat luar biasa. Minta alamat rumah kita masing-masing, daerah mana, dijagain. Bahkan, di hotel-hotel itu kita buka pos. Pos untuk sewaktu-waktu menanyakan kondisi keluarga. Sampai akhirnya berhasil.

Koh Chris aslinya tidak berdarah Indonesia?
Tidak.
Berarti memilih untuk jadi Indonsia?

Iya, iya. Kalau dulu kan kalau warga keturunan tiga nama, terus ada peraturan harus ganti nama, itu saya ganti. Sejak disuruh milih itu langsung ganti nama.
Dari koh Chris, dari kecil memang ditanamkan saya orang Indonesia?
Iya. Waktu itu ada kalau gak salah aturan yang boleh memilih (kewarganegaraan)?
Waktu itu langsung saya ngurus surat kewarganegaraan. Kita langsung bikin.
Koh Christ aja atau sekeluarga?
Sekeluarga. Saudara-saudara juga. Langsung bikin.
Terdaftarnya langsung dengan nama Indonesia?
Iya, iya. Nama keluarga Chinese-nya tidak digunakan lagi.

Kalau kita ngelihat atlet sekarang, dorongan semangat mereka banyak seperti gelar, misalnya, turnamen-turnamen besarnya sudah lebih banyak juga. Terus fresh money-nya lebih banyak juga, bonus dari pemerintahnya. Kan dulu era koh Chris kayaknya tidak seperti itu ya?
Pasti, jauh sekali.
Benar tidak kalau kita bilang, kalau atlet dulu itu bertanding memang semangatnya ya buat merah putih gitu, bukan demi fresh money?
Iya betul, jadi itu memang idealis. Atlet dulu lebih idealis. Artinya sudah tidak berpikir yang lain-lain. Pikirnya gimana kita bisa juara saja. Mau seperti apa, meskipun hanya ucapan terima kasih itu sudah satu kehormatan, kebanggaan.
Ya paling penting kembali tadi, kita ingin merah putih ada di tengah, ada lagu Indonesia Raya. Itu sudah lebih dari segala galanya.
Memang kondisi tentu berbeda ya dengan sekarang. Tapi kalau dipikir-pikir kan seharusnya yang sekarang harus lebih baik lagi. Karena dengan segala fasilitas, dengan segala apa yang didapat itu kan luar biasa.
Lebih bisa. Artinya kan konsentrasinya, fokusnya, semangat latihannya. Karena sekarang kan mereka mendapat segala sesuatunya, semuanya itu memang dari bulu tangkis. Dari bulu tangkis, jadi selama mereka masih mampu, masih punya potensi menjadi juara, kenapa gak itu dipertahankan.
Dulu koh Chris pernah gak punya cabang olahraga lain yang diminati selain bulu tangkis?

Ya pada umumnya seperti laki-laki. Sepak bola.
Tapi pernah mau jadi atlet bola gak?
Oh gak sih, seneng aja. Karena kan kita main bareng-bareng, ramai-ramai. Dan dulu buat saya main bulu tangkis itu olahraga yang mahal.
Oh ya? Kenapa koh?
Ya gak ada biaya untuk beli raket, beli sepatu. Karena kan saya latar belakang keluarga sederhana. Ayah hanya guru SD, ibu hanya ibu rumah tangga yang buka warung nasi di rumah. Jadi gak mampu.
Makanya saya terus main bola. Kalau main bola kan gak berat. Misalnya beli bola, iuran, ramai-ramai, lebih murah. Bolanya awet. Sepatu awet. Dipakai. Sepatu, awet. Kalau rusak tinggal ditambal, disol.
Bulu tangkis kan gak bisa. Shuttlecock sekali pakai, buang. Senar putus, ganti. Raket patah, apalagi.
Berarti dulu main bolanya sama teman-teman di rumah?

Teman-teman sekolah. Teman-teman kampung juga. Di Purwokerto.
Lalu, raket pertama koh Chris beli dari nabung atau kado?
Gak, dapat hadiah dari kalau sekarang itu yang disebut itu Popnas. Pekan Olahraga Pelajar Nasional. Dapat karena juara.
Lalu koh Chris tandingnya pakai raket siapa?
Ya Pinjem. Pinjem dulu. Pinjem temen ada juga yang ikut pertanding, dia punya tiga atau empat raket. Saya pinjem dulu. Waktu itu menang, hadiahnya ya kaitannya dengan bulu tangkis. Raket, sepatu.
Bukan (uang). Masih pelajar. Itu senang banget, punya raket pribadi itu senang banget. Itu saat saya SMP ya. Kira-kira kelas tiga. Hampir mau ke SMA.
Terus masuk pelatnas, dulu impiannya apa?

Dulu akhirnya kan dibawa kakak ke Bandung. Saya punya kakak udah bekerja di Bandung. Jadi dibilang "Sudah kamu kesini aja, gak usah nerusin sekolah di Purwokerto".
Jadi saya ke Bandung. Terus awal mula itu masuk klub Mutiara. Sekarang masih ada. Itu awal mula karir saya. Terus setelah lulus.
Memang keinginan koh Chris atau dari kakak yang masukin ke klub?

Saya ingin juga, kakak juga tau bahwa saya senangnya bulu tangkis. Dan persis di depan rumah, tetangga seberang jalan aja. Yang saya tinggal bersama kakak di Bandung itu. Dekan sekolah tinggi olahraga Bandung. Kenal baik memang. Namanya dulu yang saya ingat itu Pak Irsan. Sekarang udah meninggal. Pak Irsan.
Pelatih fisik yang hebat sekali. Dia Dekan di STU. Jadi waktu itu kakak saya antar saya ke rumah beliau. Dia menyampaikan "adik saya pengen main ikut". Jawabannya "Oke, besok datang ke lapangan saya tes".
Itu untuk masuk ke Mutiara?
Belum, belum diterima. Belum diterima, masih dites. Beliau suruh satu dosen namanya Pak Soekartono. Dosen bulu tangkis juga, disuruh ngetes saya. Mungkin hanya setengah jam. Akhirnya, oke, kamu boleh masuk. Nah, itulah karirnya.
Dulu kan menjadi atlet itu tidak menjanjikan secara ekonomi. Tapi kenapa tetap dijalani?

Ya, artinya kan setiap kali habis pertandingan, misalnya berangkat All England. Setelah pulang, kembali ke klub. Iya, kuliah lagi. Gak ada pelantas kayak begini. Gak ada. Gak ada pelantas sepanjang tahun. Gak ada. Karena dulu kan pertandingannya jarang.
Jadi kayak beberapa cabang olahraga sekarang ya? Masuk Pelatnas hanya dipanggil kalau mau ada turnamen besar?
Iya. Jadi All England itu kan Maret. Nah, itu kita dipanggil pelantas dari Januari. Maret berangkat. Pertandingan selesai, pulang. Pulang ke klub.
Terus menunggu lagi pertandingan lagi. Kalau ada turnamen apa, SEA Games, ASIAN Games, atau pertandingan yang lain, khususnya bulu tangkis, dipanggil kumpul lagi.
Berjuang sendiri dong ya ko?
Iya. Tetap kuliah jalan, sambil latihan.
Kenapa atlet dulu tetap idealis koh? Maksudnya itu kan jadi berat sekali gitu sebenarnya menjadi atlet?

Ya utamanya sih justru karena jarang pertandingan ya. Jadi setiap kali kejuaraan tuh rasa mau menangnya tinggi. Gak mau menyia-nyiakkan. Karena sudah jarang pertanding kan.
All England saja itu baru Maret. Gak seperti sekarang. Januari ada, Februari ada, Maret ada. Terus-terusan.
Nah, jadi waktu itu ya berangkat All England. "Waduh, gak bisa ini kalau cuma main sekali, dua kali kalah", gitu.
Menang harga mati ya. Artinya kan kesempatan untuk dikirim tahun berikutnya tuh terbuka lagi. Karena dulu kan juga dari sisi keuangan, dana itu kan berat sekali.
Dulu kita berangkat-berangkat tuh bahkan tergantung dari 'belas kasihan' orang.
Sumbangan tiket, segalanya. Itu.
Tapi gak nyari sendiri kan, koh?
Gak, gak. Nah, itu juga memotivasi kita untuk mengembalikan si donator, si penyumbang itu. Apa? Kembalianya dengan prestasi. Supaya nanti tahun depan dikasih lagi. Seperti itu jalannya.
Jauh, berat sekali.
Lalu saat pensiun langsung diperhatikan federasi?

Ya artinya kita mesti pandai-pandailah. Maksudnya meskipun tidak banyak, tapi bisa nabung, bisa efisien. Karena memang dulu kan masalah-masalah seperti finansial itu kan tidak seperti sekarang.
Sekarang setiap kali juara dari klub dapet, dari pemerintah dapet, dari KONI dapet, dan seterusnya. Kalau dulu kan gak ada.
Jadi, ya itu tadi. Hadiah-hadiahnya itu ya dari itu tadi “belas kasihan”. Jadi yang memberi tiket kan seneng tuh. Wah, juara All England. Kadang suka diajak makan. Adalah uang sakunya.
Tapi pun seperti itu, misinya tetap yang penting juara?

Harus. Karena memang gak seberapa. Dan kalau juara itu kan segala-galanya.
Artinya kita tidak seperti penghargaan secara material. Tapi lebih kepada (secara) batinlah. Buat diri sendiri maupun bagi orang lain, maupun dari pengurus. Apalagi juga kalau kita mengingat juga organisasi, PBSI. Itu yang harus kita tinggikan.