Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Apa Penyebab Penurunan Performa Aston Villa pada 2025/2026?

ilustrasi bendera Aston Villa
ilustrasi bendera Aston Villa (unsplash.com/@trungvnuk)
Intinya sih...
  • Tekanan aturan finansial membuat Aston Villa kesulitan mendatangkan pemain baru
  • Klub harus mematuhi Profit and Sustainability Rules (PSR) serta UEFA Squad Cost Ratio
  • Rasio gaji Villa bahkan mencapai 91 persen dari pendapatan, memaksa melepas pemain penting dan kepergian Monchi
  • Produktivitas Aston Villa menurun dengan hanya mencetak 1 gol dari 5 laga awal Premier League
  • Ollie Watkins dan Morgan Rogers mengalami penurunan performa drastis
  • Tim terjebak dalam siklus rendah diri dan kehilangan rasa percaya diri saat bermain
  • Dari tim elite pada musim lalu, Aston Villa kini malah terdampar
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Aston Villa memulai 2025/2026 dengan catatan yang jauh dari harapan. Tim asuhan Pelatih Unai Emery belum meraih kemenangan dalam lima laga awal English Premier League (EPL) dan hanya mampu mencetak satu gol. Padahal, beberapa bulan sebelumnya, The Villans masih mampu menyingkirkan Bayern Munich dan hampir menaklukkan Paris Saint-Germain (PSG) di perempat final Liga Champions Eropa.

Kondisi ini mengejutkan banyak pihak karena Aston Villa sempat dipandang sebagai calon penantang elite di level domestik maupun Eropa. Kini, mereka justru terpuruk di peringkat 18 klasemen sementara dengan tiga poin saja. Situasi tersebut menimbulkan pertanyaan besar mengenai faktor penyebab keterpurukan serta dampaknya terhadap persaingan kompetisi.

1. Tekanan aturan finansial membuat Aston Villa kesulitan mendatangkan pemain baru

Salah satu faktor utama penurunan performa Aston Villa yaitu tekanan aturan finansial. Klub harus mematuhi Profit and Sustainability Rules (PSR) serta UEFA Squad Cost Ratio, yang membatasi pengeluaran gaji di angka 70 persen dari pendapatan. Pada 2024/2025, rasio gaji Villa bahkan mencapai 91 persen dari pendapatan, sehingga mereka menerima denda 9,5 juta pound sterling (Rp213,7 miliar). Kondisi ini memaksa manajemen melepas pemain penting, seperti Jacob Ramsey kepada Newcastle United dengan nilai awal 39 juta pound sterling (Rp878 miliar), serta mengembalikan Marcus Rashford dan Marco Asensio yang berstatus pinjaman.

Selain kehilangan amunisi utama, Villa juga mengalami guncangan internal dengan perginya Ramon Rodriguez Verdejo, atau yang lebih dikenal Monchi, President of Football Operations Aston Villa, yang menjadi tangan kanan Unai Emery. Monchi berperan besar dalam membentuk strategi transfer dan keberhasilan merekrut pemain seperti Rashford musim sebelumnya. Kepergiannya menimbulkan kekosongan dalam pengambilan keputusan penting serta menciptakan ketidakpastian arah kebijakan rekrutmen.

Rata-rata usia skuad Aston Villa kini 28,5 tahun, tertua di Premier League. Kondisi tersebut membuat intensitas permainan menurun dan variasi taktik terbatas. Situasi ini juga menyulitkan tim untuk beradaptasi dengan tren strategi modern yang semakin cepat dan dinamis.

Emery sendiri mengakui, identitas timnya telah hilang. Ia bahkan tak segan menyebut para pemainnya terlalu malas dan tidak lagi menunjukkan soliditas serta determinasi yang pernah membuat Villa disegani. Identitas permainan yang dulu agresif kini tergantikan dengan performa lamban, kaku, dan jauh dari ekspektasi.

2. Produktivitas Aston Villa menurun dengan baru mencetak 1 gol dari 5 laga awal Premier League

Keterbatasan finansial, skuad menua, dan hilangnya identitas permainan menciptakan efek domino yang sangat ketara di lapangan. Aston Villa menjadi tim Premier League pertama sejak Crystal Palace pada 2017/2018 yang gagal mencetak gol dalam empat laga pembuka. Gol pertama mereka baru lahir lewat sepakan jarak jauh Matty Cash pada pekan kelima melawan Sunderland, yang mengakhiri puasa 427 menit di liga.

Produktivitas lini depan mengalami penurunan drastis. Ollie Watkins, pencetak 16 gol musim lalu, kini hanya mencatatkan satu gol dalam sepuluh pertandingan terakhir. Morgan Rogers, pemain muda terbaik PFA musim lalu, juga gagal mengulangi performa gemilangnya. Tambahan amunisi seperti Evann Guessand yang diboyong dengan biaya 26 juta pound sterling, baru menghasilkan dua tembakan tepat sasaran. Statistik BBC mencatat, Villa hanya mampu melepaskan 12 tembakan tepat sasaran dalam lima laga awal, terendah di Premier League.

Selain faktor teknis, persoalan mental turut memperburuk situasi. Mengutip Sky Sports, menurut psikolog olahraga, Matt Shaw, para pemain Villa kini terjebak dalam siklus rendah diri. Rasa takut gagal membuat mereka berpikir terlalu lama sebelum menembak atau malah memilih opsi yang salah. Alhasil, permainan terlihat canggung, penuh keraguan, dan kehilangan kreativitas. Rasa percaya diri yang dulu muncul saat menghadapi tim besar kini tergantikan oleh rasa frustrasi. Unai Emery sendiri mengeluhkan para pemain tampak tidak memiliki daya juang dan gagal menunjukkan karakter ketika menghadapi duel penting.

3. Dari tim elite pada musim lalu, Aston Villa kini malah terdampar di papan bawah liga

Hanya dalam hitungan bulan, status Aston Villa berubah drastis dari penantang elite Eropa menjadi tim yang terancam di liga domestik. Padahal, pada 2024/2025 mereka mampu menyingkirkan Bayern Munich dan nyaris menundukkan PSG yang akhirnya menjadi juara Liga Champions. Kini, mereka terdampar di papan bawah, sejajar dengan Wolverhampton Wanderers sebagai satu-satunya tim tanpa kemenangan setelah lima laga.

Kekalahan intensitas terlihat jelas ketika menghadapi Sunderland, tim promosi yang harus bermain dengan sepuluh orang selama lebih dari 60 menit. Alih-alih mendominasi, Villa justru ditekan dan hanya mampu mencatat dua tembakan tepat sasaran sepanjang laga. Sunderland bahkan menciptakan dua kali lebih banyak tembakan tepat sasaran meski bermain dengan kekurangan pemain. Situasi ini memperlihatkan, Villa kehilangan keunggulan dasar yang biasanya membedakan tim papan atas dengan tim papan bawah.

Kondisi ini tentu berdampak kepada peta persaingan Premier League dan Eropa. Rival-rival seperti Newcastle United, Tottenham Hotspur, dan AFC Bournemouth justru berbenah dengan rekrutan segar, sementara Villa tertinggal karena stagnasi transfer dan masalah identitas. Jika tren ini berlanjut, Villa bukan hanya gagal mengulang pencapaian di zona Eropa, tetapi juga berpotensi terjebak di papan tengah atau bahkan zona degradasi. Ini menjadi PR besar bagi Unai Emery untuk menemukan kembali gaya bermain yang solid jika tidak ingin seluruh fondasi yang sudah dibangun sejak 2022 runtuh begitu saja.

Penurunan performa Aston Villa menunjukkan bagaimana faktor finansial, struktur skuad, dan mentalitas bisa berkelindan dalam menjatuhkan sebuah tim. Jika tidak segera berbenah, Villa berisiko kehilangan statusnya sebagai penantang elite dan hanya menjadi tim biasa di Premier League.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Kidung Swara Mardika
EditorKidung Swara Mardika
Follow Us

Latest in Sport

See More

Bomber Persija Diare Jelang Lawan Borneo FC

24 Sep 2025, 16:30 WIBSport