4 Prinsip Psikologi yang Diterapkan di UX Writing

Sadarkah kalau interface pada aplikasi yang kamu gunakan sehari-hari itu penuh dengan teks? Kamu bisa menemukan teks sebagai judul, instruksi, notifikasi, tombol, dan lain-lain. Teks-teks itu disebut UX writing, yang berperan untuk menavigasi perjalanan kamu dalam menggunakan aplikasi. Sayangnya, semua teks itu tidak ada artinya kalau tidak bisa membantu pengguna mendapatkan apa yang mereka inginkan dari penggunaan aplikasi. berbicara kepada pengguna dan tidak menyampaikan pesan yang diinginkan.
UX writing bukan hanya proses teknis. Kamu menulis untuk manusia yang memiliki kebutuhan, motivasi, frustrasi, dan perilaku. Penulis juga harus memahami cara berpikir dan perasaan pengguna untuk menciptakan pengalaman emosional yang tepat. Sebagai penulis UX, inilah alasannya mengapa kamu harus mempelajari psikologi agar dapat membantu dirimu lebih memahami pengguna. Yuk, pelajari empat prinsip psikologi yang diterapkan di UX Writing!
1. Manusia cenderung bertindak sesuai intuisi
Intuisi adalah kemampuan untuk mengetahui suatu kebenaran tanpa bukti atau penjelasan. Bisa dikatakan seperti perasaan dalam hati yang membimbing kamu untuk berperilaku dengan cara tertentu, tanpa sepenuhnya memahami alasannya.
Suatu interface yang baik harus bersifat intuitif, yaitu ketika model mental seseorang sesuai dengan model konseptual produk. Contohnya, ketika berbelanja secara online, pengguna akan melihat banyak barang dengan kategori yang beragam. Kemudian, mereka memilih produk, memasukkan ke keranjang, checkout, melakukan pembayaran, dan mendapatkan struk belanja. Semua aktivitas tersebut menyesuaikan dengan kenyataannya ketika mereka berbelanja di supermarket.
Sederhananya, interface yang intuitif membuat pengguna merasa seolah-olah mereka sudah tahu cara menggunakan produk karena cara kerjanya terasa alami dan sesuai ekspektasi mereka. Dari perspektif UX writing, interface yang intuitif harus mampu berbicara kepada pengguna dalam bahasa yang relevan dengan mereka.
2. Manusia secara alami tertarik pada pola
Seringkali manusia berperilaku berdasarkan pengalaman sebelumnya, dan setiap kali menghadapi tantangan baru, mereka mencari pola. Otak manusia selalu mencari cara paling familiar untuk menyelesaikan tugas. Contohnya, setiap kali pengguna mengunjungi sebuah website, mereka pasti akan mencari tombol Log In dan Sign Up pada bagian kanan atas layar. Jika posisi tombol-tombol tersebut diubah, maka pengguna akan kesulitan menemukannya dan merasa frustrasi. Hal ini sesuai dengan teori Nick Babich yang mengatakan bahwa pengguna tidak menyukai kejutan. Pengguna tidak suka situasi ketika mereka mengharapkan satu hal, tapi malah mendapatkan hal yang lain.
Prinsip yang sama juga berlaku dalam perspektif UX writing. Kamu harus menghindari atau bahkan tidak boleh menulis teks yang “unik” di elemen standar. Kenapa? Karena kamu akan menambah cognitive load dan waktu untuk pengguna mengambil keputusan. Sementara, setiap manusia memiliki batasan kognitif mereka sendiri yang berkaitan dengan kemampuan memahami dan memproses informasi. Kesimpulannya, elemen-elemen standar yang seringkali pengguna temui haruslah memiliki karakteristik yang sama. Kamu harus menulis teks yang umum pada elemen-elemen standar.
3. Otak manusia dirancang untuk mudah teralihkan
Penelitian terbaru menyatakan kalau fokus otak manusia mirip lampu sorot yang kedip-kedip, redup nyala redup nyala. Otak bekerja dalam "ledakan-ledakan" perhatian, bukan fokus terus-menerus. Dengan kemampuan fokus otak seperti ini membantu manusia menyadari, waspada, dan bereaksi terhadap lingkungan. Kalau fokus otak manusia tanpa henti, ketika menyeberang maka akan jalan terus saat ada mobil yang datang. Artinya, otak manusia memang dirancang untuk mudah teralihkan sebagai mekanisme bertahan hidup.
Seorang psikolog bernama Susan Weinschenk juga mengemukakan bahwa manusia cenderung menghindari bekerja atau berpikir lebih dari yang diperlukan. Atas dasar pengetahuan-pengetahuan inilah, penulis UX jangan membuat pengguna berpikir keras saat menggunakan produk.
Bayangkan pengguna yang sedang menghadiri online meeting dan tiba-tiba koneksinya terputus. Mereka membaca pesan instruksi untuk mengkonfigurasikan pengaturan jaringan nirkabel. Dalam situasi panik bahkan terburu-buru, pengguna tidak akan bisa langsung menangkap maksud pesan dengan cepat. Padahal, solusinya hanya dengan memastikan bahwa koneksi internetnya aktif, lalu mereka bisa coba menyambungkan kembali ke online meeting.
Ketika tidak bisa menemukan solusi cepat dan sederhana, harus menggunakan logika dan kesadaran pengguna untuk menyelesaikan tugas dalam suatu sistem, mereka merasa frustrasi dan cenderung meninggalkan produk tersebut. Dengan fokus otak manusia yang mudah teralihkan, kamu seharusnya tidak membuat pengguna berpikir lebih dari yang dibutuhkan. Lalu, apa yang bisa dilakukan untuk mencegah hal ini terjadi?
Hal ini bisa dicegah dengan cara selalu memprioritaskan bahasa yang sederhana, jelas, dan familiar untuk pengguna. Penerapannya seperti menghindari menggunakan jargon atau istilah teknis yang membingungkan, tidak menulis kalimat yang panjang dan bertele-tele, dan fokus pada solusi. Contohnya, membuat nama fitur yang deskriptif sehingga pengguna bisa memahami fungsi fitur dengan cepat. Jika fungsi fitur untuk mengirim uang ke rekening bank, berikan namanya “Transfer” saja, jangan dibuat “Memindahkan Dana”.
4. Manusia membutuhkan validasi sosial
Manusia pada dasarnya adalah makhluk sosial yang tidak bisa lepas dari interaksi dan pengaruh orang lain dalam kehidupan sehari-hari. Menurut psikologi sosial, perilaku manusia dipengaruhi oleh faktor eksternal (budaya, peran sosial, kehadiran orang lain) dan internal (sifat bawaan dan kepribadian individu). Hal ini menjelaskan mengapa seringkali seseorang berperilaku berdasarkan reaksi atau tindakan orang lain di sekitar. Terutama ketika berada dalam situasi yang membingungkan, seseorang cenderung melihat apa yang dilakukan oleh orang lain sebagai acuan. Dalam psikologi, fenomena ini disebut “Validasi Sosial”.
Kamu cenderung ingin melakukan hal yang dianggap “benar” karena mengikuti apa yang dilakukan oleh kebanyakan orang. Hal ini terjadi dalam berbagai situasi, seperti saat kamu ingin membeli produk, memilih tempat makan, atau menentukan destinasi liburan. Dengan kata lain, lingkungan memiliki peran besar dalam membentuk cara berpikir dan bertindak.
Prinsip psikologi inilah yang diterapkan ke dalam banyak produk digital melalui rating, review, dan testimoni. Ketiga hal ini menjadi elemen penting dalam mempengaruhi kepercayaan konsumen. Ketika melihat banyak orang memberikan rating tinggi atau ulasan positif terhadap suatu produk, pengguna cenderung lebih percaya dan merasa aman untuk membelinya. Keputusan orang lain ”memvalidasi” bahwa produk tersebut layak untuk mereka beli.
Dari perspektif UX writing, kamu bisa memanfaatkan fenomena validasi sosial ini untuk mengarahkan pengguna dalam mengambil keputusan. Ketika pengguna membaca “Tersisa 1 kamar”, frasa ini memberikan sinyal kepada mereka bahwa kamar tersebut paling banyak diminati. Ditambah lagi dengan menciptakan rasa urgensi, pengguna merasa perlu untuk segera mengambil keputusan sebelum kehabisan.
Contoh lainnya, teks “Ditonton 1 juta kali” dapat mempengaruhi pengguna untuk menonton sebuah film. Teks tersebut bisa meyakinkan pengguna bahwa film itu layak ditonton, memiliki kualitas yang bagus, sehingga mereka merasa bisa mengurangi risiko salah pilih film.
Empat prinsip psikologi yang diterapkan di UX Writing bisa membantumu menulis lebih baik, lho! Tulisan yang baik pada produk bisa memberikan pengalaman yang tepat untuk pengguna. Dampaknya, pengguna merasa dimengerti dan nyaman dengan produk, bahkan bisa merekomendasikannya kepada orang lain. Pada akhirnya, tulisan kamu bisa meningkatkan kepuasan pengguna, loyalitas, dan pertumbuhan bisnis. Sudah siap menulis teks yang powerful?