Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

5 Risiko Usaha Franchise yang Jarang Dibahas, Jangan Salah Pilih Ya

Ilustrasi wanita di depan meja (pexel.com/ELEVATE)
Ilustrasi wanita di depan meja (pexel.com/ELEVATE)
Intinya sih...
  • Biaya awal tinggi, keuntungan belum pasti
  • Kebebasan bisnis terbatas oleh aturan pusat
  • Ketergantungan pada reputasi brand dan persaingan internal antar franchisee
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Usaha franchise sering dianggap jalan pintas buat jadi pengusaha. Dengan brand yang sudah dikenal dan sistem yang sudah terbukti, banyak orang merasa lebih aman mengambil franchise ketimbang membangun bisnis dari nol.

Tapi, kenyataannya tidak sesederhana itu. Ada beberapa risiko tersembunyi yang jarang dibicarakan, tapi bisa bikin usaha franchise nggak sesuai ekspektasi. Yuk, simak 5 risiko usaha franchise yang perlu kamu waspadai sebelum ambil Keputusan

1. Biaya awal yang tinggi tapi keuntungan belum pasti

Ilustrasi seorang perempuan memegang kalkulator (pexel.com/Mikhail Nilov)
Ilustrasi seorang perempuan memegang kalkulator (pexel.com/Mikhail Nilov)

Banyak orang tergiur karena melihat franchise menawarkan paket lengkap, mulai dari branding, bahan baku, sampai pelatihan. Namun, biaya awal yang harus dikeluarkan biasanya cukup besar. Masalahnya, tidak ada jaminan balik modal akan cepat terjadi, meskipun nama brand sudah terkenal.

Apalagi kalau lokasi dan manajemen nggak sesuai, kamu bisa saja mengeluarkan modal ratusan juta tapi keuntungan nggak sepadan. Jadi, penting banget buat riset apakah biaya yang kamu keluarkan realistis dengan potensi keuntungan di daerahmu.

2. Kebebasan bisnis yang terbatas

Ilustrasi perempuan di depan laptop (pexel.com/Kaboompics.com)
Ilustrasi perempuan di depan laptop (pexel.com/Kaboompics.com)

Franchise berarti kamu harus mengikuti aturan dari pusat. Mulai dari resep, branding, harga jual, sampai strategi marketing, semuanya sudah ditentukan oleh pemilik franchise.

Kalau kamu tipe orang kreatif yang suka bereksperimen atau ingin mengembangkan ide bisnis sesuai karakter pasar lokal, sistem ini bisa bikin frustrasi karena ruang gerakmu sangat terbatas. Misalnya, kamu ingin bikin promo unik yang sesuai dengan kebiasaan pelanggan di daerahmu, atau menambahkan variasi menu baru yang sedang tren.

Sayangnya, ide tersebut belum tentu diizinkan oleh pemilik franchise karena bisa dianggap melenceng dari standar brand. Akibatnya, meskipun secara teknis kamu pemilik usaha, sebenarnya kamu hanya menjalankan “aturan main” yang sudah dipaketkan oleh pusat.

Selain itu, keterbatasan ini juga bisa bikin kamu kesulitan beradaptasi dengan perubahan pasar. Misalnya, saat konsumen di daerahmu lebih suka produk dengan harga lebih murah atau varian rasa yang berbeda, kamu tidak bisa serta-merta menyesuaikan diri. Jadi, kalau kamu tipikal pengusaha yang ingin leluasa berinovasi, penting banget mempertimbangkan apakah sistem franchise sesuai dengan gaya bisnismu.

3. Ketergantungan pada reputasi brand

Ilustrasi pelanggan di kafe (pexel.com/Quark Studio)
Ilustrasi pelanggan di kafe (pexel.com/Quark Studio)

Keuntungan punya franchise adalah kamu ikut menumpang nama besar yang sudah dikenal banyak orang. Dengan begitu, kamu tidak perlu repot membangun brand awareness dari nol. Namun, hal ini juga bisa jadi pedang bermata dua. Kalau tiba-tiba brand pusat terkena masalah, dampaknya bisa langsung terasa ke semua cabang, termasuk punyamu, meskipun cabangmu tidak melakukan kesalahan apa pun.

Bayangkan kalau brand yang kamu pilih tersandung isu kualitas produk, pelayanan buruk, atau bahkan kasus hukum yang viral di media sosial. Walaupun cabangmu punya manajemen yang rapi dan pelayanan terbaik, persepsi buruk dari publik bisa bikin pelanggan enggan datang. Reputasi yang rusak di pusat hampir otomatis merembet ke seluruh jaringan franchise.

Selain itu, ketergantungan ini juga membuat perkembangan usahamu tidak sepenuhnya ada di tanganmu. Kalau franchisor gagal menjaga konsistensi kualitas atau lambat beradaptasi dengan tren pasar, cabangmu juga akan ikut terkena imbas. Jadi, sebelum ambil franchise, penting banget buat melihat rekam jejak brand tersebut dalam jangka panjang, bukan hanya popularitas sesaat.

4. Persaingan antar sesama franchisee

Ilustrasi kafe di sebuah kota (pexel.com/Krisztina Papp)
Ilustrasi kafe di sebuah kota (pexel.com/Krisztina Papp)

Salah satu risiko yang sering luput dari perhatian calon franchisee adalah persaingan internal dengan sesama pemilik franchise dari brand yang sama. Dalam banyak kasus, pemilik franchise ingin memperluas jangkauan pasar secepat mungkin, sehingga mereka membuka banyak cabang di area yang sebenarnya masih terlalu sempit.

Akibatnya, bukannya mendominasi pasar, justru terjadi “kanibalisasi” antar-cabang. Pelanggan yang seharusnya terkonsentrasi ke satu outlet, malah terbagi-bagi ke beberapa cabang. Hal ini tentu bisa menurunkan omzet dan membuat balik modal jadi lebih lama dari yang diperkirakan.

Selain itu, kondisi pasar di setiap wilayah berbeda. Bisa saja satu cabang berada di lokasi yang sangat strategis, dekat pusat keramaian, sementara cabang lain hanya beberapa kilometer dari situ tapi kalah ramai. Alhasil, meskipun sama-sama membayar biaya franchise, hasil yang diperoleh bisa sangat timpang. Untuk itu, sebelum bergabung dengan sebuah franchise, penting banget menanyakan aturan tentang eksklusivitas wilayah kepada pemilik franchise. Pastikan ada batasan jarak antar-cabang supaya kamu tidak perlu bersaing langsung dengan “saudara” sendiri.

5. Kontrak yang rumit dan mengikat

Ilustrasi laki-laki membaca laporan (pexel.com/Michael Burrows)
Ilustrasi laki-laki membaca laporan (pexel.com/Michael Burrows)

Salah satu hal yang sering bikin calon franchisee kewalahan adalah kontrak kerja sama yang sangat detail dan panjang. Biasanya kontrak mencakup banyak aturan, mulai dari kewajiban membeli bahan baku hanya dari pusat, pembayaran biaya royalti rutin, hingga aturan ketat terkait desain interior dan standar pelayanan.

Kalau tidak dibaca dengan teliti, ada pasal-pasal yang bisa jadi beban keuangan di kemudian hari. Misalnya, biaya pembaruan kontrak yang mahal, penalti jika terjadi keterlambatan pembayaran, atau larangan menjual produk di luar ketentuan pemilik franchise. Hal-hal kecil yang terlewat bisa menimbulkan masalah besar setelah usaha berjalan.

Masalah lain, kontrak franchise umumnya mengikat dalam jangka waktu lama, bisa 5 sampai 10 tahun. Artinya, selama periode itu kamu harus patuh penuh pada semua aturan yang ditetapkan, bahkan jika kondisi pasar berubah atau bisnismu mengalami penurunan.

Jika ingin keluar lebih cepat, biasanya ada penalti dengan nominal besar. Situasi ini bisa membuat kamu serba salah, tetap bertahan meskipun rugi, atau berhenti dengan konsekuensi finansial yang berat. Karena itu, sebelum menandatangani kontrak, sangat disarankan untuk berkonsultasi dengan ahli hukum atau orang yang sudah berpengalaman agar tidak terjebak di dalam perjanjian yang justru merugikan.

Franchise memang bisa jadi jalan cepat untuk masuk ke dunia bisnis, tapi bukan berarti tanpa risiko. Ada banyak faktor yang perlu kamu perhatikan, mulai dari biaya, aturan, sampai dampak jangka panjang. Jadi, sebelum memutuskan ambil franchise, pastikan kamu sudah riset mendalam dan nggak cuma ikut-ikutan tren. Ingat, keputusan bisnis harus diambil dengan matang biar nggak berujung penyesalan.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Jujuk Ernawati
EditorJujuk Ernawati
Follow Us

Latest in Business

See More

Tesla Sukses Genjot Penjualan di AS berkat Kredit Pajak Mobil Listrik

04 Okt 2025, 23:55 WIBBusiness