7 Barang Mahal Ini Kerap Disangka Aset, padahal Jadi Beban Finansial!

Banyak orang mengira kalau punya barang mahal itu tandanya sedang menuju kehidupan yang mapan. Padahal, gak semua barang dengan harga tinggi bisa disebut sebagai aset, lho. Beberapa justru bisa jadi beban finansial yang diam-diam menguras dompet kamu dari berbagai sisi, mulai dari biaya perawatan, penyusutan nilai, sampai dengan biaya tambahan lainnya.
Masalahnya, barang-barang ini sering kali dibeli dengan alasan 'investasi'. Padahal, kalau dihitung-hitung, nilainya justru terus turun dan gak memberikan penghasilan apa pun. Yuk, cek apakah kamu punya salah satu dari tujuh hal yang mahal dan sering disangka aset tapi ternyata malah jadi beban finansial!
1. Rumah dengan renovasi berlebihan

Mempercantik rumah memang bisa bikin nyaman, tapi jangan sampai kalap, ya. Renovasi rumah yang terlalu mewah justru jarang balik modal.
Menurut laporan Cost vs. Value dari Remodeling Magazine, proyek renovasi seperti dapur besar hanya mengembalikan sekitar 54-77 persen dari biaya awal. Bahkan, penambahan kamar mandi cuma punya ROI sekitar 54 persen.
Masalah utamanya adalah over-improvement, ketika rumah kamu jadi terlalu 'wah' dibanding rumah di sekitar. Akhirnya kalau dijual pun, harga rumah tetap ditentukan oleh lingkungan sekitar, bukan semata dari hasil renovasi.
Jadi kalau mau renovasi, cukup yang fungsional dan sesuai kebutuhan aja. Misalnya ganti cat, tambah pencahayaan, atau perbaiki halaman depan. Gak perlu sampai bikin rumah jadi istana.
2. Mobil baru yang cepat menyusut nilainya

Punya mobil baru memang bikin senang, tapi faktanya, nilai mobil langsung turun 20-30% begitu keluar dari dealer. Dalam lima tahun, nilai mobil bisa turun sampai 60%. Apalagi kalau kamu beli mobil mewah, depresiasinya malah bisa lebih parah karena biaya perawatan dan pergantian model yang cepat.
Selain itu, ada biaya lain seperti bunga cicilan, pajak, servis, dan asuransi. Mobil harga Rp600 juta bisa saja bikin kamu keluar uang lebih dari Rp750 juta selama lima tahun. Jadi kalau bisa, pilih mobil bekas berkualitas yang sudah terbukti awet dan hemat biaya.
3. Gelar pendidikan tinggi yang gak sebanding dengan hasil

Sekolah tinggi memang penting, tapi gak semua gelar bisa kasih pengembalian yang setimpal. Biaya kuliah naik terus, dan kalau jurusan yang dipilih gak punya prospek gaji besar, kamu bisa terjebak utang pendidikan bertahun-tahun.
Menurut data dari Federal Reserve Bank of New York, lulusan kuliah memang rata-rata punya penghasilan lebih tinggi dari lulusan SMA, sekitar $24.000 per tahun lebih banyak. Tapi ini gak berlaku merata. Bidang seperti seni atau humaniora sering kali gak memberikan penghasilan besar yang bisa nutupin biaya kuliah dan hidup selama kuliah.
Pilihlah jurusan dan kampus dengan bijak. Hitung biaya versus potensi pendapatan setelah lulus, terutama jika kamu harus pinjam uang untuk kuliah.
4. Kendaraan rekreasi seperti RV dan kapal

Punya Recreational Vehicle (RV) atau kapal buat liburan bareng keluarga kedengarannya seru banget. Tapi kenyataannya, barang-barang ini cepat banget turun nilainya dan tetap butuh biaya besar untuk dirawat.
Rata-rata RV turun 20-30% nilainya dalam lima tahun. Belum lagi biaya penyimpanan bisa sampai Rp15 juta-Rp45 juta per tahun, asuransi yang mahal, dan perawatan tahunan.
Daripada beli, kadang lebih bijak untuk sewa saja saat dibutuhkan. Kamu tetap bisa liburan seru tanpa beban finansial jangka panjang.
5. Barang branded seperti baju dan perhiasan mahal

Banyak yang mikir beli baju branded atau perhiasan mahal itu investasi. Tapi faktanya, kebanyakan langsung turun nilainya begitu dibeli. Baju bisa rusak, gaya bisa ketinggalan zaman, dan perhiasan biasa jarang naik nilainya.
Ada sih pengecualian, seperti tas vintage edisi terbatas atau jam tangan langka. Tapi itu butuh pengetahuan khusus dan gak bisa asal beli.
Lebih baik beli barang berkualitas menengah yang tahan lama dan punya desain timeless. Lebih hemat dan tetap terlihat keren.
6. Elektronik canggih dengan umur pakai pendek

Setiap tahun, ada aja teknologi baru yang bikin kita tergoda buat upgrade. Tapi kenyataannya, barang elektronik seperti smartphone dan laptop premium cepat banget jadi usang. Nilainya langsung turun drastis begitu keluar versi terbaru.
Selain itu, produsen kadang sengaja bikin perangkat gak tahan lama atau gak bisa diperbaiki, biar kamu beli baru lagi. Strategi ini dikenal dengan istilah planned obsolescence dan cukup umum di industri teknologi.
Kamu bisa lebih hemat dengan beli produk mid-range yang fungsinya hampir sama. Atau tunggu beberapa bulan setelah peluncuran produk baru untuk beli versi sebelumnya dengan harga lebih murah.
7. Timeshare atau properti liburan yang jarang dipakai

Timeshare sering dijual sebagai “investasi liburan”, tapi kenyataannya, ini lebih mirip utang daripada aset. Begitu kamu beli, nilainya langsung turun, dan kamu masih harus bayar biaya tahunan yang terus naik.
Bahkan menurut American Resort Development Association, timeshare lebih cocok dianggap sebagai pembelian gaya hidup, bukan investasi. Jadi, kamu sebaiknya beli kalau memang niatnya untuk dipakai, bukan berharap dapat keuntungan.
Properti liburan yang jarang ditempati pun bisa jadi beban. Biaya perawatan, pajak, dan pengelolaan sering kali gak sebanding dengan pemasukan dari sewa. Kalau memang mau punya properti, mending yang bisa disewakan aktif dan punya lokasi strategis. Jangan cuma karena pengin punya rumah liburan sendiri.
Gak semua hal mahal layak disebut sebagai aset. Banyak yang sebenarnya justru bikin kamu rugi pelan-pelan tanpa sadar. Boleh aja punya barang-barang ini, asal kamu sadar kalau mereka lebih ke arah gaya hidup, bukan investasi.
Kalau tujuanmu membangun kekayaan jangka panjang, fokuslah pada hal-hal yang nilainya naik seiring waktu, seperti investasi saham, properti produktif, atau bisnis. Dan yang gak kalah penting, jaga gaya hidup tetap sesuai kemampuan. Karena, kadang yang bikin kita merasa kaya bukan apa yang kita punya, tapi apa yang gak perlu kita beli.