Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

China Peringatkan Perusahaan Asing soal Penimbunan Bahan Tanah Jarang

ilustrasi area tambang (pexels.com/Tom Fisk)
ilustrasi area tambang (pexels.com/Tom Fisk)
Intinya sih...
  • Bahan tanah jarang penting untuk teknologi kendaraan listrik, turbin angin, ponsel pintar, dan peralatan militer. China mendominasi rantai pasok global dengan 70 persen penambangan dan 94 persen pasokan magnet permanen dunia.
  • Kebijakan China mendorong perusahaan Barat memindahkan produksi ke wilayah China untuk akses bahan tanah jarang yang stabil. Beberapa mencari pemasok alternatif di Australia, Kanada, dan AS.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times – China memperingatkan perusahaan asing agar tidak menimbun bahan tanah jarang atau rare earth. Peringatan ini muncul karena bahan tersebut menjadi penopang utama teknologi kendaraan listrik, turbin angin, ponsel pintar, hingga peralatan militer.

Otoritas di China menegaskan, perusahaan yang tetap menimbun bisa menghadapi pembatasan pasokan yang lebih ketat. Seorang sumber menjelaskan arahan pemerintah China kepada perusahaan asing.

“Beijing mengatakan kepada perusahaan bahwa mereka tidak boleh keluar dan membangun persediaan besar bahan tanah jarang, atau mereka akan menghadapi kekurangan,” ungkapnya menurut Fox Business, mengutip Financial Times.

Kebijakan ini ditujukan untuk menjaga stabilitas pasokan global yang tengah terguncang.

1. China kuasai pasar global rare earth

ilustrasi tambang (pexels.com/Vlad Chețan)
ilustrasi tambang (pexels.com/Vlad Chețan)

Bahan tanah jarang terdiri dari 17 jenis logam, termasuk 15 lantanida serta skandium dan yttrium. Logam ini sangat penting untuk memproduksi magnet permanen, konverter katalitik, laser, hingga sistem pertahanan canggih. Meski tidak terlalu langka di alam, penambangan ekonomisnya sulit dilakukan.

China kini mendominasi rantai pasok global dengan menguasai sekitar 70 persen penambangan, 85 persen pemrosesan oksida, dan 92 persen pengolahan material. Bahkan, 94 persen pasokan magnet permanen dunia berasal dari China berkat investasi panjang dan keahlian khusus.

Pada April 2025, setelah Amerika Serikat (AS) di bawah Presiden Donald Trump menerapkan tarif baru, China membatasi ekspor tujuh kategori rare earth menengah dan berat. Kebijakan ini langsung mengguncang industri otomotif dan tetap berlaku meski ada perpanjangan gencatan tarif 90 hari.

China juga sangat ketat mengatur produksi rare earth. Ekspor magnet permanen pada Juni 2025 mencapai 3.188 ton, naik dua kali lipat dibanding Mei, tetapi masih turun 38 persen dari tahun sebelumnya. Survei Dewan Bisnis AS-China (USCBC) menemukan setengah permohonan terkait rare earth ditolak atau tertunda, dengan pesanan besar diawasi ketat untuk mencegah penimbunan.

2. Perusahaan Barat pindahkan produksi demi akses rare earth

ilustrasi penambangan (pexels.com/Pixabay)
ilustrasi penambangan (pexels.com/Pixabay)

Kebijakan China mendorong sejumlah perusahaan Barat memindahkan sebagian produksi ke wilayah China. Langkah ini diambil agar mereka tetap mendapat akses ke pasokan bahan tanah jarang yang stabil. Kondisi ini sekaligus memperkuat ambisi Beijing untuk memusatkan rantai pasok rare earth di dalam negeri.

CEO Regal Rexnord Corp asal AS, Louis Pinkham mengaku intens berurusan dengan masalah ini.

“Selama empat bulan terakhir, saya mengikuti satu atau dua panggilan setiap minggu, bekerja dengan tim kami untuk mengelola situasi ini,” ujarnya dikutip dari Al Maydeen.

Ia menambahkan, tidak diragukan lagi kondisi tersebut bukan penggunaan waktu yang baik setelah memindahkan perakitan magnet ke China.

Sebagian perusahaan Barat berusaha mengurangi ketergantungan dengan mencari pemasok alternatif di Australia, Kanada, dan AS. Upaya lain juga dilakukan melalui investasi tambang, pemrosesan, daur ulang, hingga penelitian bahan pengganti. Namun, membangun rantai pasok mandiri menghadapi tantangan teknis dan biaya yang tinggi.

3. Dunia susun strategi hadapi dominasi China

Bendera China (pexels.com/aboodi vesakaran)
Bendera China (pexels.com/aboodi vesakaran)

Pada Juli 2025, para ahli menyampaikan kekhawatiran kepada Komite Urusan Luar Negeri DPR AS. Mereka menilai kendali China atas mineral penting merupakan persoalan hidup atau mati di abad ke-21.

“Kami memiliki blok bangunan di sana … untuk masuk ke permainan dengan sangat cepat,” kata Eks Senator Joe Manchin seraya mendorong produksi AS dan kerja sama dengan Jepang serta Korea Selatan.

Dilansir dari Discovery Alert, Negara-negara Barat kini menyiapkan cadangan strategis, legislasi baru, dan aliansi untuk memperkuat industri dalam negeri. Australia memperluas penambangan dan pemrosesan, sementara AS menghidupkan kembali tambang Mountain Pass. Kanada dan Eropa menjajaki urban mining serta deposit baru, didukung inovasi daur ulang dan pengganti material.

Potensi daur ulang diperkirakan mampu menyumbang 20–30 persen pasokan rare earth dalam satu dekade, meski penambangan primer tetap dibutuhkan. Permintaan yang terus meningkat membuat harga berfluktuasi dan menekan produsen non-China dengan biaya lebih tinggi. Para ahli memprediksi rantai pasok akan semakin beragam dalam 5–10 tahun, dengan perusahaan yang adaptif meraih keuntungan di tengah ketegangan dagang AS-China.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Jujuk Ernawati
EditorJujuk Ernawati
Follow Us