Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Ekonom Sarankan Prabowo Urungkan Niat RI Gabung BRICS, Kenapa?

Presiden Prabowo Subianto berikan pidato usai dilantik sebagai presiden terpilih periode 2024-2029 di Gedung MPR/DPR pada Minggu (20/10/2024). (youtube.com/MPRGOID)
Intinya sih...
  • Indonesia semakin tergantung pada China melalui keanggotaan BRICS.
  • Ketergantungan Indonesia pada China menimbulkan kekhawatiran terkait kerja sama bilateral, masalah lingkungan, dan tenaga kerja.

Jakarta, IDN Times - Center of Economic and Law Studies (Celios) menilai langkah Indonesia di bawah pemerintahan Presiden Prabowo Subianto mendaftar keanggotaan BRICS semakin memperlihatkan ketergantungan Indonesia terhadap China.

BRICS adalah aliansi ekonomi yang terdiri dari lima negara berkembang besar, yakni Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan. Menurut Direktur Eksekutif Celios, Bhima Yudhistira mengatakan, meski tanpa BRICS, posisi China dalam sektor investasi dan perdagangan Indonesia sudah sangat dominan.

Hal itu terlihat dari lonjakan impor Indonesia dari China yang meningkat 112,6 persen dalam sembilan tahun terakhir, dari 29,2 miliar dolar AS pada 2015 menjadi 62,1 miliar dolar AS pada 2023.

"Sementara investasi dari China melonjak 11 kali di periode yang sama. Indonesia juga tercatat sebagai penerima pinjaman Belt and Road Initiative terbesar dibanding negara lainnya pada 2023," kata Bhima dalam keterangan tertulis, Sabtu (26/10/2024).

1. Indonesia disarankan perkuat diversifikasi negara mitra

ilustrasi ekspor impor (IDN Times/Aditya Pratama)

Bhima menyebut, ketergantungan Indonesia pada China membawa kekhawatiran, terutama terkait potensi duplikasi kerja sama bilateral dan masalah lingkungan serta tenaga kerja dari proyek-proyek investasi China di Indonesia.

Dia menggarisbawahi insiden kecelakaan kerja di Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) mencerminkan lemahnya standar dan pengawasan investasi China, yang kontras dengan upaya Indonesia untuk meningkatkan kualitas nilai tambah komoditasnya.

Menurutnya, ketergantungan tersebut juga membuat ekonomi Indonesia rentan, terutama di tengah proyeksi penurunan ekonomi China sebesar 3,4 persen dalam empat tahun mendatang.

"Kondisi ini idealnya direspon dengan penguatan diversifikasi negara mitra diluar China bukan malah masuk menjadi anggota BRICS,” sebut Bhima.

2. Urgensi Indonesia bergabung ke BRICS dirasa tidak ada

Menteri Luar Negeri RI Sugiono di KTT BRICS Rusia. (dok. Kemlu RI)

Direktur China-Indonesia Desk Celios, Muhammad Zulfikar Rakhmat menyatakan  tidak ada urgensi bagi Indonesia untuk bergabung dengan BRICS, mengingat keberadaan China dalam aliansi tersebut dapat mengancam independensi Indonesia dalam berbagai isu strategis.

"Salah satunya merespon manuver China di kawasan Laut China Selatan," ujar Zulfikar.

Dia menjelaskan, konflik perbatasan antara China dan India di wilayah Himachal Pradesh, Uttarakhand, dan Arunachal Pradesh dapat mengganggu stabilitas hubungan kedua negara, yang pada akhirnya berpotensi memengaruhi kemitraan dalam BRICS.

Peneliti Celios, Yeta Purnama menambahkan, insiden kapal China yang masuk ke wilayah Natuna Utara saat pelantikan presiden menunjukkan keraguan pemerintah dalam bersikap, terutama di tengah keinginan untuk bergabung dengan BRICS.

"Belum ada tanggapan langsung dari Presiden Indonesia terkait isu tersebut, ini menjadi sebuah bukti bahwa pemerintah tengah bimbang bersikap ditengah keinginan bergabung ke BRICS," ucap Yeta.

3. Indonesia dianggap lebih pas bergabung dengan OECD

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto dalam Workshop Proses Aksesi Indonesia dalam OECD. (Dok/Istimewa).

Selain itu, keputusan Indonesia untuk bergabung dengan BRICS juga dinilai bisa menghambat peluang aksesi Indonesia ke Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). Organisasi tersebut dianggap lebih relevan untuk mendukung pertumbuhan berkelanjutan dan upaya Indonesia menuju status negara maju.

Yeta mengungkapkan bergabung dengan OECD lebih mendesak bagi Indonesia, karena aliansi tersebut menawarkan mitra yang lebih beragam dan tidak terlalu bergantung pada China.

"Energi dan fokus pemerintahan baru jika harus bergabung dalam banyak kerjasama multilateral akan sangat mahal termasuk soal biaya keanggotaan. Jauh lebih efektif fokus ke kemitraan yang sudah ada,” kata Yeta.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Trio Hamdani
EditorTrio Hamdani
Follow Us