RI Minat Gabung BRICS, CSIS: Indonesia Cukup Optimalkan G20

Jakarta, IDN Times - Direktur eksekutif Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Yose Rizal Damuri, mengatakan Indonesia sudah menjadi bagian dari geng elite G20, sehingga tidak lagi perlu bergabung ke BRICS. Saat ini hanya Indonesia satu-satunya negara di ASEAN yang menjadi anggota G20.
Sementara, Thailand, Vietnam, dan Filipina diketahui juga ikut mendaftar ke BRICS. Menurut Yose, Indonesia tinggal mengoptimalkan keanggotaannya di G20.
"Indonesia itu gak terlalu membutuhkan satu platform baru untuk mempunyai penampilan atau corong di tingkatan global. Kita sudah menjadi G20. Berbeda dengan negara seperti Malaysia, Vietnam, atau Thailand. Mereka kan tidak mempunyai corong atau channel di tingkatan global," ujar Yose ketika dihubungi, Sabtu (26/10/2024).
"Sehingga, Indonesia tetap stick saja di G20. Bahkan kalau perlu, kita membawa ASEAN untuk menjadi salah satu anggota G20 seperti Uni Afrika," tutur dia.
Menurut Yose, tujuan dibentuknya BRICS ke depan belum diketahui. Sehingga, dengan bergabung ke BRICS, dinilai kurang memberi keuntungan bagi Indonesia.
1. Indonesia didorong gunakan pendekatan pragmatis, gabung ke OECD dan BRICS sekaligus

Sementara, pandangan berbeda disampaikan peneliti kebijakan publik dari Paramadina Public Policy Institute, Wijayanto Samirin. Menurutnya, Indonesia bisa saja bergabung dengan dua organisasi sekaligus yakni OECD (Organization for Economic Co-operation and Development) dan BRICS (Brasil, Rusia, India, China dan Afrika Selatan). Keinginan Indonesia bergabung ke dalam dua organisasi ini sudah lama.
Wijayanto mendorong pemerintahan Prabowo Subianto segera mengambil keputusan. Sebab, bila terlalu lama memilah dan memilih, malah akan menghasilkan skenario terburuk bagi Indonesia, yakni bukan anggota dari kedua organisasi itu.
"Bila nantinya bergabung nantinya sangat terlambat, dan tidak ikut terlibat dalam diskursus penting penyusunan garis kebijakan keduanya," ujar Wijayanto kepada IDN Times melalui pesan pendek, Sabtu (26/10/2024).
Wijayanto menjelaskan menjadi anggota BRICS tidak serta merta diartikan menjaga jarak dengan Uni Eropa dan Amerika Serikat (AS). Sejumlah negara anggota di dalam BRICS notabene teman dekat Negeri Paman Sam.
"Sebaliknya, menjadi anggota OECD tidak berarti menjaga jarak dengan negara-negara BRICS terutama China dan Rusia," tutur dia.
Baik OECD maupun BRICS, kata Wijayanto, bukanlah blok yang rigid. Masing-masing anggota tetap bebas melakukan kerja sama.
"Oleh sebab itu, Indonesia seharus menggunakan pertimbangan lebih pragmatis bukan politis. Mana yang lebih memberikan keuntungan bagi Indonesia, itu lah yang akan dipilih," imbuhnya.
2. BRICS ingin buat terobosan agar lepas dari status quo negara barat

Lebih lanjut, Wijayanto melihat, OECD dan BRICS memiliki tujuan berbeda. OECD ingin mempertahankan status quo, di mana negara barat mendominasi ekonomi dunia. Termasuk dengan sistem perdagangan dunia dan moneter.
"USD menjadi reserve currency dunia. WTO (Badan Perdagangan Dunia) yang menjadi wadah," katanya.
Di sisi lain, kata Wijayanto, BRICS ingin membuat suatu terobosan. Yang paling ekstrem yakni membentuk mata uang alternatif sebagai pengganti Dollar Amerika Serikat (USD), yang sudah dipelopori China dan Rusia.
"Rusia semakin semangat mewujudkannya setelah negara barat membekukan aset-aset Rusia di luar negeri pasca konflik Ukraina. Banyak negara yang bertanya-tanya bila ini bisa menimpa Rusia, maka peristiwa serupa juga dapat terjadi pada mereka," tutur dia.
Maka, kata Wijayanto, agenda yang lebih moderat seperti kerja sama dagang dan pembentukan sistem pembayaran alternatif menggunakan mata uang lintas negara BRICS, bisa didukung Indonesia. Ide ini dimotori sejak awal oleh India.
3. Indonesia perlu dapat persetujuan negara anggota untuk gabung OECD

Sementara, sempat muncul spekulasi upaya Indonesia bisa masuk OECD bakal dipersulit Israel. Sebab, mereka juga ada di organisasi yang sama.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri ketika itu, Lalu Muhammad Iqbal, mengakui untuk bisa masuk OECD butuh persetujuan dari negara anggota, termasuk Israel. Tetapi, ia meminta publik ketika itu untuk tidak cemas terkait persyaratan bagi Indonesia bisa masuk OECD. Sebab, untuk bisa menjadi anggota OECD perlu melewati proses panjang.
"Kita tidak bisa berspekulasi dan tidak bisa membuat hipotesa bahwa ini akan pasti diveto (Israel). Perkembangan ke depan masih panjang, proses ini masih berlangsung," ujar Iqbal dalam sesi jumpa pers pada Mei 2024.
Iqbal menuturkan, Indonesia baru saja menerima peta jalan (roadmap) untuk masuk sebagai anggota OECD pada awal Mei 2024. Ia menyebutkan, Indonesia akan mempelajari roadmap tersebut, dan menyesuaikan norma maupun regulasi melalui penilaian mandiri (self-assessment).
Berdasarkan data Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, ada 250 standar dan rekomendasi yang harus dipenuhi Indonesia untuk menjadi anggota OECD. Pemenuhan standar praktis akan mengubah sejumlah regulasi.
"Jadi meng-assess di mana gap antara norm setting yang ada di OECD dengan norma-norma, regulasi, peraturan perundang-undangan di Indonesia. Setelah self assessment ini dilakukan, baru kita bisa menentukan target kita, apakah mau selesai 3 tahun, 5 tahun, atau 8 tahun," tutur Lalu.
Dia menyebut, proses penilaian mandiri ini adalah proses yang sangat menyeluruh, dan berkaitan dengan berbagai level regulasi di Indonesia.