Industri Kretek Meradang, Regulasi Rokok Elektrik Perlu Dikaji Ulang

- Perlu kajian ulang regulasi promosi rokok elektrik
- Mayoritas pengguna baru, usia 18-22 tahun, preferensi sistem pod
- Rokok elektrik menjadi alternatif murah akibat harga rokok legal yang tinggi
Jakarta, IDN Times - Pusat Penelitian Kebijakan Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya (PPKE FEB UB) merekomendasikan pemerintah untuk menetapkan regulasi terkait rokok elektrik yang lebih seimbang dalam aspek harga, promosi, dan area penggunaan.
Dalam hasil kajiannya, Direktur PPKE FEB UB, Candra Fajri Ananda, mengatakan adanya ketidakseimbangan regulasi pada produk rokok elektrik selama ini menciptakan insentif konsumsi yang lebih tinggi dibandingkan rokok tembakau konvensional, sehingga mendorong pergeseran perilaku konsumen.
"Regulasi yang seimbang akan membuat produk elektrik tidak lagi dipersepsikan lebih aman atau menarik dibandingkan produk tembakau legal," kata Candra saat paparan hasil kajian PPKE FEB UB bertajuk 'Dinamika Regulasi dan Masa Depan Industri Hasil Tembakau (IHT) di Indonesia, dikutip Senin (29/9/2025).
1. Kajian ulang pengaturan promosi rokok

Studi PPKE FEB UB juga menyoroti pentingnya pengkajian ulang pengaturan promosi rokok elektrik di media sosial dan platform daring yang menjadi hal mendesak, mengingat segmen utama yang disasar adalah kelompok usia muda.
Pembatasan akses pembelian online juga perlu ditegakkan agar penjualan produk tidak terkontrol. Selain itu, peningkatan tarif cukai terhadap rokok elektrik harus diiringi dengan pembatasan area penggunaan, sama halnya dengan regulasi rokok tembakau.
"Kebijakan ini akan membantu mencegah persepsi keliru di masyarakat, rokok elektrik adalah produk bebas risiko, sekaligus menekan prevalensi penggunaannya di kalangan generasi muda," ujar Candra.
2. Sebagian besar pengguna rokok elektrik terhitung baru

Hasil survei yang dilakukan dalam kajian PPKE FEB UB juga menunjukkan, sebagian besar pengguna rokok elektrik (64 persen) baru mulai mengonsumsinya dalam rentang waktu satu sampai tiga tahun terakhir. Hal ini adalah fenomena yang masih relatif baru dan sedang berkembang di masyarakat. Dari sisi usia, mayoritas pengguna memulai konsumsi rokok elektrik pada rentang usia 18–22 tahun dengan persentase mencapai 51 persen.
"Temuan ini mengindikasikan, remaja akhir hingga dewasa muda merupakan kelompok dominan dalam adopsi awal penggunaan rokok elektrik," kata Candra.
Sementara, dari jenis produk yang digunakan, sistem pod menjadi pilihan paling populer dengan dominasi Pod system/open pod sebesar 53 persen dan Pod System/closed pod sebesar 30 persen. Fakta ini menunjukkan, sistem pod khususnya yang terbuka lebih disukai karena fleksibilitasnya dalam penggunaan.
"Data ini menggambarkan, rokok elektrik merupakan tren baru yang terutama digerakkan oleh kelompok usia muda dengan preferensi kuat terhadap sistem pod sebagai bentuk konsumsi utama," ujar Candra.
3. Perbandingan biaya konsumsi rokok

Candra mengungkapkan, apabila dilihat dari perbandingan biaya konsumsi rokok berdasarkan hasil survei, terdapat perbedaan beban pengeluaran bulanan antara rokok tembakau legal dan rokok elektrik. Rokok tembakau legal menimbulkan pengeluaran bulanan tertinggi, yakni antara Rp525 ribu hingga Rp1,08 juta per bulan.
Sementara itu, rokok elektrik berada pada posisi menengah dalam hal biaya bulanan, dengan kisaran Rp500 ribu hingga Rp750 ribu. Hal ini menjadikan rokok elektrik sebagai alternatif yang semakin berkembang di pasar konsumen.
Perbedaan biaya tersebut memperlihatkan bagaimana kebijakan harga sangat memengaruhi perilaku konsumen. Saat harga rokok legal terus meningkat dan pengawasan terhadap peredaran rokok ilegal belum optimal, konsumen cenderung mencari alternatif yang lebih murah, baik melalui pasar rokok ilegal maupun melalui konsumsi rokok elektrik.
Temuan ini sekaligus menegaskan adanya hubungan langsung antara kebijakan fiskal di sektor tembakau dengan dinamika pasar yang berkembang di masyarakat.
"Ketidakseimbangan regulasi antara rokok kretek dan elektrik, ditambah dukungan sosial terhadap produk elektrik, menjadi faktor penting yang menggeser konsumsi dari konvensional ke elektrik sehingga berdampak langsung pada keberlangsungan industri kretek yang selama ini memberikan kontribusi ekonomi dan fiskal bagi negara," kata Candra.