Ini Sederet Kendala yang Bikin BBM Subsidi Rawan Salah Sasaran

- Revisi Perpres 191 Tahun 2014 belum rampung, menghambat distribusi BBM bersubsidi.
- Regulasi belum jelas untuk konsumen pengguna jenis BBM khusus penugasan (JBKP) dan solar.
Jakarta, IDN Times - Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) mengungkapkan, belum rampungnya revisi Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014 menjadi kendala utama dalam pengaturan distribusi bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi.
Kepala BPH Migas, Erika Retnowati menyebutkan, revisi aturan tersebut telah diusulkan sejak 2022, namun hingga kini belum diterbitkan.
"Regulasi yang mengatur konsumen pengguna, yaitu Perpres 191 Tahun 2014 ini masih perlu disempurnakan. Ini sudah kami usulkan dari sejak tahun 2022 tetapi memang sampai sekarang ini belum diterbitkan," kata dia dalam rapat kerja dengan Komisi XII, Senin (10/2/2025).
1. Aturan saat ini belum mengatur kriteria pengguna secara tegas

Erika mengungkapkan, salah satu kelemahan regulasi saat ini adalah tidak adanya ketentuan yang secara jelas mengatur konsumen pengguna jenis BBM khusus penugasan (JBKP), seperti Pertalite. Akibatnya, Pertalite masih dapat digunakan oleh siapa saja tanpa pembatasan.
"Kita hanya bisa mengimbau karena memang aturannya tidak ada, siapa sebetulnya yang boleh (menggunakan Pertalite), yang berhak untuk menggunakan JBKP," tuturnya.
Selain itu, kriteria konsumen pengguna jenis BBM tertentu (JBT) seperti solar dinilai masih terlalu umum. Untuk itu, dalam usulan revisi yang diajukan, BPH Migas telah merinci kategori konsumen dengan lebih detail agar distribusi solar subsidi lebih tepat sasaran.
2. Terdapat kendala di lingkup eksternal BPH Migas

Erika mengungkapkan adanya ketidaksinkronan dalam kebijakan terkait konsumen bahan bakar bersubsidi. Dia mencontohkan pemberian hibah kapal kepada nelayan yang menggunakan minyak tanah.
"Padahal kan di dalam aturan kita, minyak tanah itu digunakan untuk rumah tangga," ujarnya.
Selain itu, terdapat hibah kendaraan yang tidak memiliki tanda nomor kendaraan, yang menyulitkan proses pendaftaran QR Code untuk pengawasan distribusi BBM.
Di samping itu, permasalahan kebijakan, BPH Migas juga menghadapi kendala dalam infrastruktur dan akses telekomunikasi. Erika menjelaskan, belum semua SPBU di Indonesia dapat terdigitalisasi dan terhubung ke pusat data.
"Mereka punya catatan tetapi harus kita lihat di tepat catatan-catatannya," ujarnya.
3. Keterbatasan SDM dan kantor perwakilan jadi salah satu kendala

Dia mengungkapkan, keterbatasan sumber daya manusia (SDM) menjadi salah satu kendala dalam pengawasan distribusi bahan bakar bersubsidi. Menurutnya, jumlah personel yang tersedia saat ini masih belum mencukupi.
Sementara itu, pihaknya tidak memiliki kewenangan untuk merekrut pegawai secara langsung dan harus mengikuti mekanisme pengadaan SDM di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
"Dan tentu saja itu tergantung dari kuota yang diberikan oleh Kemenpan-RB (Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi)," ucap dia.
Selain itu, BPH Migas juga menghadapi tantangan dalam menjangkau seluruh wilayah Indonesia karena tidak memiliki kantor perwakilan di daerah.
"Sehingga dari Jakarta kami harus menjangkau seluruh wilayah NKRI sampai ke pelosok-pelosok daerah 3T (daerah tertinggal, terdepan, dan terluar)," tuturnya.