Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Kisah Dymasius Sitepu yang #KaburAjaDulu dan Sukses di Singapura

Sosok Dymasius Yusuf Sitepu yang #KaburAjaDulu dan menimba ilmu di Singapura (dok. Istimewa)
Intinya sih...
  • Dymasius #KaburAjaDulu untuk kuliah di NUS dan NTU
  • Dymasius tinggal di pinggir rel kereta api, membantu keluarga menjual susu kedelai, telur puyuh rebus, dan tahu goreng sebelum berjuang masuk universitas top dunia.

Jakarta, IDN Times - Tagar #KaburAjaDulu ramai diperbincangkan dan sering dianggap sebagai lambang keputusasaan generasi muda. Namun, lain halnya dengan kisah Dymasius Yusuf Sitepu yang justru menggambarkan sudut pandang berbeda.

Saat kecil, Dymasius tinggal di pinggir rel kereta api. Kesehariannya adalah membantu keluarga menjual susu kedelai, telur puyuh rebus, dan tahu goreng di sekolah maupun sekitar rumah.

Meski begitu, dorongan untuk berkembang yang begitu kuat memaksa dia “kabur” sementara ke Singapura. Hal itu dilakukan bukan untuk meninggalkan Tanah Air, melainkan guna memperkaya diri dengan wawasan dan jejaring internasional sebelum dibawa pulang kembali.

1. Berhasil menembus NUS dan NTU

Sosok Dymasius Yusuf Sitepu yang #KaburAjaDulu dan menimba ilmu di Singapura (dok. Istimewa)

Keputusan tersebut membuat Dymasius mesti berjuang keras. Untuk bisa menembus universitas top 8 dunia National University of Singapore (NUS) dan top 15 dunia Nanyang Technological University (NTU), dia mengikuti University Entrance Exam berbasis kurikulum Cambridge A-Level.

Selama hampir dua tahun, dia menjalani pelajaran nasional dan menuntaskan sesi A-Level. Singkat cerita, Dymasius berhasil diterima untuk menjalani program Engineering Science di NUS yang kemudian dilanjutkan menjadi Computational Engineering Science pada tahun ketiga.

Setelah itu, dia melanjutkan studi magister di bidang Financial Technology di NTU.

"Selama dua tahun persiapan, rasanya seperti hidup saya hanya untuk belajar, tapi saya tahu ini adalah tiket untuk menimba ilmu di kampus terbaik," kata Dymasius, dikutip Kamis (27/2/2025).

2. Tinggal dan menetap di Singapura

Potret Singapura (pexels.com/Kin Pastor)

Dymasius kini telah bekerja dan menetap di Singapura selama lebih dari tujuh hingga delapan tahun.

Saat merantau, Dymasius merasakan biaya hidup di Singapura yang tinggi. Contohnya untuk sewa rumah bisa melampaui 1.000 dolar Singapura per bulan. Selain itu, ada juga pengeluaran untuk ongkos transportasi dan harga kebutuhan pokok yang tinggi.

"Gaji memang relatif lebih besar, namun pengeluaran juga besar. Persaingan untuk kerja pun kian sengit karena perusahaan setempat mencari kandidat berkemampuan spesifik dan berpengalaman," ujar dia.

3. #KaburAjaDulu bukan sekadar pelarian

https://x.com/ismailfahmi

Bagi Dymasius, #KaburAjaDulu bukan sekadar bentuk pelarian dari realitas dalam negeri. Dia justru melihatnya sebagai sarana menimba pengetahuan terkini dari pusat kemajuan dunia, lalu menyebarkannya ke ekosistem lokal agar Indonesia semakin kompetitif.

Di sisi lain, Dymasius pun menyadari munculnya kekhawatiran terhadap brain drain, tetapi merasa optimistis jika putra-putri bangsa yang merantau bersedia berkontribusi sepulangnya, potensi digital dan ekonomi Indonesia akan semakin berkembang.

“Peluang bisa muncul di mana saja, tapi tanggung jawab kita adalah membawa pulang manfaat yang sudah kita pelajari, sehingga berguna bagi Tanah Air," kata dia.

Dymasius sendiri seolah ingin membuktikan bahwa nasionalisme bukan sekadar soal lama atau tidaknya seseorang di perantauan, melainkan keseriusan mengolah ilmu serta jejaring yang diperoleh agar bermanfaat bagi negeri sendiri.

“Kalau bukan kita, siapa lagi yang akan memajukan Indonesia?” tanya Dymasius.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Ridwan Aji Pitoko
EditorRidwan Aji Pitoko
Follow Us