Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Menilik Investasi usai Pelantikan Trump dan Gencatan Senjata Gaza

Donald Trump (youtube.com/EL PAIS)
Intinya sih...
  • Pertumbuhan ekonomi global diproyeksikan melambat pada 2025, di tengah lonjakan inflasi dan ketidakpastian geopolitik.
  • Proyeksi pertumbuhan ekonomi 2025 sebesar 3,3 persen oleh IMF, dengan AS dan China diproyeksikan melambat menjadi 2,7 persen dan 4,6 persen.

Jakarta, IDN Times - Pascapandemik COVID-19 melanda dunia, tantangan ekonomi global menjadi tidak mudah. Harga komoditas naik drastis di tengah produksi yang sangat terbatas. Masalah tersebut diperparah dengan konflik Rusia versus Ukraina dan Israel versus Palestina di Gaza.

Dunia belum bergeliat, tetapi lonjakan inflasi menjadi penghambat pertumbuhan ekonomi global. Namun, babak baru eskalasi dunia pada 2025 mulai memicu dinamika terutama setelah pelantikan Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat (AS) yang baru.

Setelah dilantik, Trump mengumumkan sejumlah terobosan dalam hal kebijakan termasuk menginisiasi gencatan senjata di Gaza. Gencatan senjata tersebut disambut dengan optimisme oleh banyak pihak karena dianggap dapat meredakan ketegangan geopolitik sekaligus memberikan harapan bagi perbaikan situasi ekonomi global. 

Di tengah harapan terhadap kebijakan global yang lebih stabil, Ekonom Center of Macroeconomics & Finance Indef, Abdul Manap Pulungan menilai gencatan senjata memang bisa sedikit meredakan. Namun, itu belum cukup untuk memulihkan ekonomi dunia yang masih rapuh terlebih saat ini prospek ekonomi global masih belum membaik.

IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi 2025 mencapai 3,3 persen. Sementara untuk AS dan China diproyeksikan melambat menjadi 2,7 persen dan 4,6 persen.

"Gencatan senjata sedikit mendinginkan gejolak ekonomi global. Namun, pascapandemi terdapat persoalan kronis di sektor ketenagakerjaan dan investasi, apalagi pengangguran dunia sangat tinggi dan investasi kini dihadapkan pada tingginya suku bunga kredit. Terlebih IMF memprediksi lalu lintas perdagangan dunia mungkin akan melambat menjadi 3,2 persen pada 2025," ujar Abdul dalam pernyataan resminya kepada IDN Times, Jumat (24/1/2025).

1. Gejolak geopolitik global tantangan besar perekonomian dunia

Ekonom Center of Macroeconomics & Finance INDEF, Abdul Manap Pulungan (dok. INDEF)

Abdul menilai, gejolak geopolitik global dinilai masih menjadi tantangan besar bagi perekonomian dunia. Ketegangan yang terjadi antara negara-negara besar seperti AS, China, Rusia, dan Uni Eropa, ditambah dengan konflik-konflik lain seperti Taiwan-China dan Korea Selatan-Korea Utara bisa semakin memperburuk ketidakpastian global.

"Kondisi ini dapat menyebabkan ketidakpastian global semakin tinggi," ujar dia.

Di tengah situasi ekonomi seperti ini, Abdul pun menganalisis sektor ekonomi yang diuntungkan. Pertama, sektor yang terhubung langsung dengan ekonomi global seperti pertanian dan komoditas. Kedua, sektor ekonomi hijau.

“Untuk itu, Indonesia perlu memanfaatkan potensi sektor-sektor tersebut di tengah progres hilirisasi yang telah dilakukan agar mendapatkan nilai tambah yang lebih optimal,” kata Abdul.

2. Peluang investasi aset saham dan obligasi menengah

Co-Founder Tumbuh Makna (TMB), Benny Sufami (dok. TMB)

Di sisi lain, Co-founder Tumbuh Makna (TMB), Benny Sufami memiliki pandangan yang lebih mendalam di sektor domestik. Menurutnya, di situasi seperti ini, peluang aset di sektor saham dan obligasi jangka waktu menengah serta panjang dapat membawa angin segar bagi investor.

“Saat ini terindikasi mengalami perbaikan di awal tahun, meski baru tahap awal, tapi bisa dibilang saat ini menjadi awal yang baik pada tahun 2025. Apalagi didukung dengan konflik geopolitik yang mereda,” kata dia. 

Dalam pandangannya, investor perlu memanfaatkan momentum fluktuasi Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang sempat berada di bawah 7.000. Hal itu disebut Benny membuka peluang bagi investor untuk meningkatkan exposure ke kelas aset tersebut.

“Sebelumnya mungkin wait and see, tetapi saat ini kita bisa mulai meningkatkan secara bertahap untuk menambah aset kelas tersebut,” ujarnya.

3. Investor perlu menyimak kebijakan BI

Konferensi Pers Rapat Dewan Gubernur BI edisi Desember. (IDN Times/Triyan)

Terlebih lagi, sambung Benny, investor perlu melihat kebijakan Bank Indonesia (BI) yang menurunkan suku bunga acuan sebesar 0,25 persen menjadi 5,75 persen dan dianggap mampu memberikan dorongan untuk ekonomi domestik.

Sebab penurunan suku bunga mencerminkan inflasi masih akan tetap rendah sehingga sektor otomotif dan properti bisa diharapkan mendapatkan momentum untuk bisa mengalami perbaikan.

“Kebijakan ini membantu industri pembiayaan untuk kembali mendorong penjualan properti dan kendaraan bermotor. Sektor perbankan juga diuntungkan karena biaya pendanaan mereka menjadi lebih murah,” kata Benny.

Benny melihat, BI masih memiliki ruang untuk menurunkan suku bunga di semester II-2025. Jika hal itu terjadi, sambung Benny, penurunan suku bunga diharapkan akan mendorong peningkatan daya beli dan konsumsi publik, yang dimana terdapat potensi peningkatan penyaluran kredit.

“Kredit akan naik, dan ini akan mendorong gairah aktivitas ekonomi di masyarakat tentunya,” kata dia.

4. Perhatikan saham perbankan, otomotif, dan properti

ilustrasi pergerakan harga saham (IDN Times/Aditya Pratama)

Adapun di sektor domestik, Benny melihat adanya momentum yang bisa dimanfaatkan investor lokal. Penurunan valuasi aset kelas saham selama tiga bulan terakhir membuka peluang strategis bagi investor domestik untuk masuk ke saham perbankan, otomotif, dan properti.

“Dengan adanya potensi pemulihan, sektor-sektor ini juga menawarkan kesempatan untuk memperkuat portofolio yang dapat memberikan keuntungan jangka panjang,” ujar dia.

Namun, dalam memanfaatkan peluang investasi ini, penting bagi setiap investor untuk menerapkan prinsip 2L, yakni Logis dan Legal. 

Logis, kata Benny secara sadar memastikan setiap keputusan didasarkan pada analisis yang rasional dan data yang valid. Sementara Legal selalu mematuhi regulasi yang berlaku demi menjaga keamanan investasi.

“Dengan prinsip ini, investor dapat membangun portofolio yang kokoh, berkelanjutan, dan berdaya saing,” kata dia.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Jujuk Ernawati
EditorJujuk Ernawati
Follow Us