Penjualan Ritel China Tumbuh Cepat, Capai Rp9,3 Kuadriliun

- Penjualan ritel China tumbuh 6,4 persen pada Mei 2025, mencapai Rp9,3 kuadriliun
- Produksi industri dan properti China masih lesu, investasi aset tetap hanya tumbuh 3,7 persen
- China andalkan konsumsi domestik untuk jaga target PDB, tingkat pengangguran perkotaan turun ke 5 persen
Jakarta, IDN Times – Penjualan ritel China tumbuh 6,4 persen pada Mei 2025 dibandingkan tahun sebelumnya, mencapai 4,13 triliun yuan China atau sekitar Rp9,3 kuadriliun. Angka ini melampaui ekspektasi analis sebesar 5 persen, dan merupakan pertumbuhan tercepat sejak Desember 2023. Kenaikan ini juga lebih tinggi dari pertumbuhan bulan sebelumnya sebesar 5,1 persen.
Dikutip dari CNBC Internasional, juru bicara Biro Statistik Nasional China (NBS), Linghui Fu mengatakan, peningkatan konsumsi didorong program tukar tambah barang konsumsi yang sedang berlangsung, lonjakan belanja daring menjelang festival e-commerce “618”, serta kenaikan jumlah wisatawan asing karena kebijakan bebas visa.
Lonjakan penjualan ritel ini memberi angin segar bagi ekonomi China yang selama ini dihantui deflasi. Para analis menilai, data ini menjadi sinyal positif di tengah tekanan global dan perlambatan domestik yang masih membayangi.
1. Produksi industri dan properti China masih lesu pada Mei 2025

Meski konsumsi meningkat, beberapa sektor utama lainnya menunjukkan perlambatan pada Mei tahun ini. Output industri tahunan China tumbuh 5,8 persen, turun dari 6,1 persen pada bulan sebelumnya, dan di bawah ekspektasi pasar sebesar 5,9 persen. Sementara itu, investasi aset tetap hingga Mei hanya tumbuh 3,7 persen, lebih rendah dari perkiraan 3,9 persen.
Kontraksi investasi di sektor properti menjadi salah satu penekan utama, dengan penurunan mencapai 10,7 persen dalam lima bulan pertama 2025. Harga rumah baru juga terus turun, termasuk di kota-kota besar seperti Beijing dan Shanghai. Di kota tier 1, harga rumah turun 1,7 persen, sedangkan kota tier 2 dan 3 masing-masing anjlok 3,5 persen dan 4,9 persen.
Pejabat NBS mencatat, diperlukan lebih banyak upaya untuk menghentikan kemerosotan di pasar properti.
2. Ekspor China tertolong kesepakatan tarif dan diversifikasi pasar

Kesepakatan tarif sementara antara China dan Amerika Serikat (AS) pada Mei memberikan ruang bernapas bagi perdagangan. Banyak perusahaan mempercepat pengiriman sebelum masa penangguhan 90 hari berakhir, sekaligus memperluas ekspor ke pasar alternatif seperti Asia Tenggara, Uni Eropa, dan Afrika. Namun, ekspor ke AS tetap anjlok lebih dari 34 persen, menjadi penurunan terbesar sejak Februari 2020.
Ekonom Goldman Sachs mencatat, ekspor China secara keseluruhan tetap tangguh meski ada tekanan bilateral. Fu mencatat diversifikasi dan pertumbuhan perdagangan pada Mei mencerminkan ketahanan ekonomi, dengan ekspor produk berteknologi tinggi meningkat dan perdagangan tumbuh dengan negara-negara ASEAN serta mitra Inisiatif Sabuk dan Jalan.
3. China andalkan konsumsi domestik untuk jaga target PDB

Tingkat pengangguran perkotaan turun ke 5 persen pada Mei, terendah sejak November tahun lalu. Namun, permintaan domestik masih lesu dengan inflasi konsumen negatif selama empat bulan berturut-turut, termasuk penurunan 0,1 persen pada Mei. Harga produsen pun anjlok 3,3 persen dari tahun sebelumnya, memperdalam tekanan deflasi.
Pemerintah China diperkirakan belum akan meluncurkan stimulus besar dalam waktu dekat. Goldman Sachs menyebut ekonomi masih di jalur untuk tumbuh lebih dari 5 persen pada paruh pertama 2025. Namun, ekonom Tianchen Xu memperingatkan risiko konsumsi akan terbebani oleh berakhirnya festival belanja “618”, penundaan subsidi, dan kebijakan pembatasan makan malam resmi.
Fu mencatat kinerja ekonomi China pada Mei tetap stabil, didukung oleh kebijakan yang efektif, produksi dan ekspansi permintaan yang stabil, peningkatan lapangan kerja, dan momentum dalam pendorong pertumbuhan baru. Sektor seperti manufaktur teknologi tinggi dan produk digital mencatat pertumbuhan masing-masing 8,6 persen dan 9,1 persen, jauh melampaui rata-rata industri.
Profesor Cong Yi dari Tianjin School of Administration menilai penguatan permintaan domestik menjadi kunci.
“Skala besar China, populasi yang besar, dan demografi berpenghasilan menengah membentuk dasar permintaan domestiknya, penyangga kritis terhadap guncangan eksternal,” katanya dikutip dari Global Times, Selasa (17/6/2025).
Sementara itu, Robin Xing dari Morgan Stanley memprediksi stimulus fiskal tambahan baru akan datang jika pertumbuhan turun di bawah 4,5 persen pada kuartal mendatang.