Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Poin-Poin Berpolemik di RUU HPP yang Disahkan Hari Ini

Ilustrasi Penerimaan Pajak. (IDN Times/Arief Rahmat)

Jakarta, IDN Times - Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) bakal mengesahkan Rancangan Undang Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (RUU HPP) menjadi Undang Undang dalam Sidang Paripuran yang digelar hari ini atau Kamis (7/10/2021).

RUU HPP memuat sejumlah ketentuan atau peraturan baru terkait perpajakan yang akan berlaku mulai tahun depan. Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menegaskan bahwa kehadiran RUU HPP ini adalah sebagai suatu upaya pemerintah mereformasi sistem perpajakan di Indonesia.

"RUU ini merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari rangkaian panjang reformasi perpajakan yang telah dan sedang dilakukan selama ini, baik reformasi administrasi maupun reformasi kebijakan, dan akan menjadi batu pijakan yang penting bagi proses reformasi selanjutnya," kata Sri Mulyani dalam keterangan tertulis, Sabtu (2/10/2021).

Oleh sebab itu, ada sejumlah poin-poin baru dan penting terkait perpajakan di dalam RUU HPP tersebut. Berikut ini beberapa poin baru dan penting tersebut.

1. Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

Ilustrasi Uang. (IDN Times/Aditya Pratama)

Poin penting pertama dari RUU HPP yang akan segera berubah menjadi UU adalah kenaikan tarif pajak pertambahan nilai atau PPN. Dalam RUU tersebut, tarif PPN direncanakan naik dari 10 persen menjadi 11 persen dan mulai berlaku sejak 1 April 2022.

"Tarif Pajak Pertambahan Nilai yaitu: a. sebesar 11 persen yang mulai berlaku pada tanggal 1 April 2022," bunyi pasal 7 ayat (1) poin a seperti yang dikutip dari draf RUU HPP, Jumat (1/10/2021).

Kemudian, dalam beleid tersebut juga disebutkan bahwa pemerintah akan menaikkan lagi tarif PPN menjadi 12 persen yang berlaku paling lambat pada Januari 2025.

Di sisi lain, pemerintah mengusulkan ada 3 kegiatan ekspor yang dibebaskan dari PPN alias dikenakan tarif 0 persen. Kebijakan itu berlaku untuk ekspor barang kena pajak berwujud, ekspor barang kena pajak tidak berwujud, dan ekspor jasa kena pajak.

"Tarif Pajak Pertambahan Nilai sebesar 0 persen diterapkan atas:
a. ekspor Barang Kena Pajak Berwujud; b. ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud; dan c. ekspor Jasa Kena Pajak," bunyi pasal 7 ayat (2).

Selain itu, dalam RUU tersebut pemerintah juga menyusun skema pengenaan tarif PPN paling rendah dan paling tinggi.

"Tarif Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diubah menjadi paling rendah 5 persen dan paling tinggi 15 persen," bunyi pasal 7 ayat (3).

Selain itu, ada beragam jenis barang yang terbebas dari PPN seperti tercantum di dalam Pasal 16B RUU HPP.

Pada salah satu poin yang ada di pasal tersebut dikatakan bahwa pajak terutang tidak dipungut sebagian atau seluruhnya atau dibebaskan dari pengenaan pajak guna mendukung tersedianya barang dan jasa tertentu yang bersifat strategis dalam rangka pembangunan nasional.

Adapun pasal tersebut mengatur delapan jenis barang dan jasa yang terbebas dari PPN. Mereka adalah barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan rakyat banyak (sembako), jasa pelayanan kesehatan medis, jasa pelayanan sosial, jasa keuangan, jasa asuransi, jasa pendidikan, jasa angkutan umum, dan jasa tenaga kerja.

2. Pajak penghasilan orang pribadi (PPh OP)

(IDN Times/Aditya Pratama)

Di dalam RUU HPP, pemerintah menambah lapisan (bracket) pajak penghasilan orang pribadi (PPh OP) dari yang tadinya hanya empat menjadi lima.

Berdasarkan Pasal 17 Undang-Undang (UU) Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, terdapat empat lapisan tarif PPh orang pribadi. Sementara itu, dalam RUU HPP hal tersebut menjadi lima lapisan.

Pertambahan lapisan tersebut adalah untuk mengakomodir PPh yang mesti dibayarkan Wajib Pajak (WP) OP dengan penghasilan di atas Rp5 miliar per tahunnya.

Lima lapisan terbaru PPh OP yang diatur dalam RUU HPP adalah sebagai berikut.

  • Penghasilan sampai dengan Rp60 juta kena tarif 5 persen.
  • Penghasilan di atas Rp60 juta - Rp250 juta kena tarif 15 persen.
  • Penghasilan di atas Rp250 juta - Rp500 juta kena tarif 25 persen.
  • Penghasilan di atas Rp500 juta - Rp5 miliar kena tarif 30 persen.
  • Penghasilan di atas Rp5 miliar kena tarif 35 persen.

3. Tax amnesty

Ilustrasi Tax Amnesty (IDN Times/Aditya Pratama)

Poin penting lainnya di dalam RUU HPP adalah pelaksanaan kembali program pengampunan pajak atau tax amnesty yang di dalam RUU tersebut dikatakan sebagai Program Pengungkapan Sukarela Wajib Pajak.

Program tax amnesty jilid II ini akan mulai berlangsung pada 1 Januari 2022 mendatang. Pemerintah pun telah mengatur skema tarif pajak yang berlaku pada tax amnesty jilid II ini.

Bagi WP yang memiliki harta bersih (nilai harta dikurangi nilai utang) sejak 1 Januari 1985 sampai 31 Desember 2015, maka harta bersih tersebut dianggap sebagai tambahan penghasilan dan dikenai Pajak Penghasilan (PPh) yang bersifat final.

WP tersebut dikenakan tarif PPh final di kisaran 6-11 persen. Besaran tarif ditentukan dengan kesediaan WP menginvestasikan dananya di kegiatan sektor tertentu maupun surat berharga negara (SBN).

Adapun, skemanya adalah sebagai berikut. Pertama, tarif enam persen atas harta bersih di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan ketentuan diinvestasikan pada kegiatan usaha sektor pengolahan sumber daya alam atau sektor energi terbarukan di NKRI, dan/atau di SBN.

Kedua, tarif delapan persen atas harta bersih yang berada di wilayah NKRI dan tidak diiventasikan pada kegiatan usaha sektor pengolahan sumber daya alam (SDA) atau sektor energi terbarukan di wilayah NKRI dan/atau SBN.

Ketiga, tarif enam persen atas harta bersih yang berada di luar wilayah NKRI dengan ketentuan dialihkan ke dalam wilayah NKRI dan diinvestasikan pada kegiatan usaha sektor pengolahan SDA atau sektor energi terbarukan di wilayah NKRI, dan/atau SBN.

Keempat, tarif enam persen atas harta bersih yang berada di luar wilayah NKRI dengan ketentuan dialihkan ke dalam wilayah NKRI dan tidak diinvestasikan pada kegiatan usaha sektor pengolahan sumber daya alam atau sektor energi terbarukan di wilayah NKRI, dan/atau SBN.

Kelima, tarif 11 persen atas harta bersih yang berada di luar wilayah NKRI dan tidak dialihkan ke dalam wilayah NKRI.

Kemudian, bagi WP orang pribadi (OP) yang memiliki harta sejak 1 Januari 2016 sampai 31 Desember 2020, maka harta bersih tersebut juga dianggap sebagai tambahan penghasilan yang dikenakan PPh final.

Adapun tarif PPh yang dikenakan tertuang dalam pasal 9 ayat (3). Berikut rinciannya:

Pertama, tarif 12 persen atas harta bersih yang berada di wilayah NKRI dengan ketentuan diinvestasikan pada kegiatan usaha sektor pengolahan SDA atau sektor energi terbarukan di wilayah NKRI, dan/atau SBN.

Kedua, tarif 14 persen atas harta bersih yang berada di dalam wilayah NKRI dan tidak diinventasikan pada kegiatan usaha sektor pengolahan SDA atau sektor energi terbarukan di wilayah NKRI, dan/atau SBN.

Ketiga, tarif 12 persen atas harta bersih yang berada di luar wilayah NKRI dengan ketentuan dialihkan ke wilayah NKRI, dan diinvestasikan pada kegiatan usaha sektor pengolahan SDA atau sektor energi terbarukan di wilayah NKRI, dan/atau SBN.

Keempat, tarif 14 persen atas harta bersih yang berada di luar wilayah NKRI dengan ketentuan dialihkan ke wilayah NKRI dan tidak diiventasikan pada kegiatan usaha sektor pengolahan SDA atau sektor energi terbarukan di wilayah NKRI, dan/atau SBN.

Kelima, tarif 18 persen atas harta bersih yang berada di luar wilayah NKRI dan tidak dialihkan ke dalam wilayah NKRI.

WP OP tersebut wajib mengungkapkan harta bersih melalui surat pemberitahuan pengungkapan harta dan disampaikan kepada Direktur Jenderal Pajak sejak 1 Januari 2022 sampai 30 Juni 2022.

WP OP yang punya harta di luar wilayah NKRI wajib mengalihkan hartanya ke wilayah NKRI paling lambat 30 September 2022. WP OP yang menyatakan menginvestasikan harta bersihnya pada kegiatan usaha sektor pengolahan sumber daya alam atau sektor energi terbarukan di wilayah NKRI dan/atau ke SBN, wajib menginvestasikan harta bersih dimaksud paling lambat 30 September 2023.

4. Peniadaaan AMT

Ilustrasi Pajak (IDN Times/Arief Rahmat)

Poin penting berikutnya yang ada di dalam RUU HPP adalah peniadaan atau penghapusan alternative minimum tax (AMT) atau pajak minimum sebesar satu persen untuk WP badan atau perusahaan yang merugi.

Sebelumnya, di dalam draft RUU KUP yang hadir sebelum diubah namanya menjadi RUU HUP, pemerintah berniat mengenakan tarif minimum sebesar satu persen dari dasar pengenaan pajak berupa penghasilan bruto kepada badan usaha yang merugi.

Sri Mulyani pun mengemukakan alasan di balik keinginan pemerintah mengenakan tarif minimum satu persen kepada WP badan yang merugi. Menurut dia, banyak WP badan yang merugi melakukan penghindaran pajak.

"Masih banyak WP Badan yang menggunakan skema penghindaran pajak, sementara di sisi lain Indonesia masih belum memiliki instrumen penghindaran pajak (GAAR) yang komprehensif," kata Sri Mulyani, dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI, Senin (28/6/2021).

Sri Mulyani juga menyatakan banyak perusahaan yang melaporkan mengalami kerugian sejak 2012 silam. WP Badan yang melaporkan rugi menunjukkan tren meningkat sejak 2012 yang mencapai delapan persen hingga 2019 sebesar 11 persen.

WP Badan yang melaporkan rugi dalam lima tahun berturut-turut jumlahnya meningkat dari 5.199 WP pada 2012-2016 menjadi 9.496 WP pada 2015-2019.

"WP ini melaorkan rugi terus menerus, tetapi tetap beroperasi dan bahkan mereka mengembangkan usahanya di Indonesia. Kami tidak akan melakukan pemungutan pajak yang tidak adil, kami ingin lakukan suatu compliance yang adil," tutur Sri Mulyani.

Kendati demikian, pada akhirnya keiginan pemerintah tersebut urung terlaksana. Pemerintah telah menjalin komunikasi dengan berbagai pihak yang kemudian menghasilkan keputusan untuk menghapus poin AMT dalam RUU HPP agar tidak memberatkan badan usaha.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Anata Siregar
EditorAnata Siregar
Follow Us